20.3.25

Si Katak dan Batu Besar - Dongeng

 Si Katak dan Batu Besar - Dongeng


Di sebuah kolam yang tenang, hiduplah si Katak yang dikenal oleh semua hewan sebagai katak yang penuh semangat, tapi sedikit terlalu percaya diri. Setiap hari, ia melompat ke sana kemari, berbicara tentang mimpi-mimpinya yang besar dan tak terbatas. Ia sering berkata, “Saya bisa melakukan apapun yang saya inginkan, dan tak ada yang bisa menghentikan saya!”

Suatu pagi, saat burung-burung menyambut matahari, Katak melihat sebuah batu besar di tengah kolam. Batu itu sangat besar, sehingga hampir menutupi seluruh permukaan air. Katak, yang selalu percaya bahwa tidak ada yang tak bisa ia capai, memutuskan untuk melompat ke atas batu itu, dengan anggapan ia akan terlihat lebih hebat dan mungkin bisa menjadi pusat perhatian.

Dengan percaya diri, ia melompat. Namun, batu itu sangat licin dan keras. Katak tergelincir dan jatuh ke dalam air dengan suara yang sangat keras, memercikkan air ke mana-mana. Semua hewan di sekitar kolam tertawa terbahak-bahak.

“Aduh, Katak! Apa yang kau pikirkan?” tanya Burung Hantu, yang selalu bijak.

Katak terdiam sejenak, merasa malu. Namun, ia tidak mau mengakui kekalahannya. Ia berdiri dan berkata, “Aku hanya ingin melompat lebih tinggi dari siapapun! Apa yang salah dengan itu?”

Burung Hantu mengangguk pelan dan kemudian berkata dengan bijak, "Kehidupan bukan tentang seberapa tinggi kita bisa melompat, tapi tentang seberapa banyak kita belajar dari setiap kali kita jatuh."

Katak merasa sedikit tersinggung, tetapi ia tidak ingin mengakui bahwa ia telah salah. "Aku hanya butuh sedikit lebih banyak usaha, itu saja!" jawab Katak sambil mencoba melompat lagi ke batu besar itu.

Namun kali ini, ia melompat terlalu keras, dan begitu ia mendarat di atas batu, batu itu terbalik dan jatuh ke dalam air. Katak tercebur kembali ke kolam, lebih dalam dari sebelumnya, dan kini benar-benar basah kuyup. Semua hewan di sekitar kolam tertawa lebih keras lagi.

“Wah, Katak, bukankah itu yang disebut dengan 'harapan yang terlalu tinggi'?” tanya Kelinci dengan senyum lebar. “Sepertinya kita perlu mengingat bahwa 'tidak semua yang kita impikan harus kita coba dengan cara yang sama.'"

Katak merasa malu, tetapi kali ini ia lebih bijak. Ia mengangguk dan berkata, "Mungkin benar, aku terlalu terobsesi dengan menjadi yang terbesar dan melompati batas yang tidak perlu kutuju."

Saat itulah Burung Hantu menyarankan, "Jika kamu ingin melompat tinggi, jangan lupa bahwa tujuanmu bukan untuk menunjukkan betapa hebatnya kamu, tapi untuk melihat sejauh mana kamu bisa melangkah tanpa melukai dirimu sendiri."

Katak terdiam, merenung. Ia akhirnya merasa sadar, bahwa keinginannya untuk selalu menjadi yang terbesar, yang paling menonjol, justru membuatnya sering terjatuh. Ia kemudian memutuskan untuk lebih hati-hati dan melompat dengan bijak, tanpa melupakan bahwa kadang-kadang yang lebih penting adalah memikirkan langkah berikutnya, bukan hanya melihat batu besar di depan.

Lama-kelamaan, Katak menjadi lebih tenang dan bijaksana. Ia tidak lagi terlalu berambisi untuk melompat setinggi mungkin, tapi ia lebih memperhatikan tempat dan cara melompat yang lebih aman. Ia bahkan mulai membantu teman-temannya untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi batu-batu besar di kehidupan mereka.

Moral cerita:
Kadang, ambisi yang terlalu besar bisa membawa kita pada kegagalan, tetapi kebijaksanaan terletak pada kemampuan untuk belajar dari setiap kegagalan dan melangkah lebih hati-hati. Seperti kata orang bijak: "Jangan terlalu cepat mengejar kesuksesan tanpa memperhitungkan risikonya. Lebih baik meraih sedikit demi sedikit, daripada jatuh dengan keras."

Quotes bijak yang terkait:

"Kehidupan bukan tentang seberapa tinggi kita bisa melompat, tapi tentang seberapa banyak kita belajar dari setiap kali kita jatuh."


"Tidak semua yang kita impikan harus kita coba dengan cara yang sama."


"Jika kamu ingin melompat tinggi, jangan lupa bahwa tujuanmu bukan untuk menunjukkan betapa hebatnya kamu, tapi untuk melihat sejauh mana kamu bisa melangkah tanpa melukai dirimu sendiri."


"Jangan terlalu cepat mengejar kesuksesan tanpa memperhitungkan risikonya. Lebih baik meraih sedikit demi sedikit, daripada jatuh dengan keras."


19.3.25

Orca yang Tak Dianggap - Dongeng anak

Orca yang Tak Dianggap - Dongeng anak

 


Di lautan luas, hiduplah seekor paus orca bernama Odi. Ia gagah, kuat, dan berenang lebih cepat dari kebanyakan ikan lain.

Namun, ada satu masalah: ia tidak dianggap sebagai bagian dari kelompok mana pun.

“Kamu bukan ikan seperti kami,” kata Kawanan Tuna.

“Tapi kamu juga bukan paus sejati seperti Paus Biru,” kata Paus Biru dengan suara dalam.

Bahkan Hiu Putih yang selalu tampak angkuh berkata, “Kamu terlalu ramah untuk jadi predator.”

Tak peduli ke mana ia pergi, Odi selalu dianggap ‘bukan bagian dari mereka.’

Lama-lama, ia merasa tidak punya tempat di lautan ini.

Bahaya Datang ke Lautan

Suatu hari, para nelayan mulai memasang jaring raksasa di perairan itu.

Awalnya, kawanan ikan tidak peduli. “Kami sudah biasa menghadapi jaring,” kata Ikan Kerapu.

Tapi kali ini berbeda. Jaringnya lebih besar dan lebih kuat!

Ikan-ikan mulai panik.

Hiu mencoba menggigit jaring… tapi gagal!
Paus Biru mencoba mendorongnya… tapi tetap tidak bergerak!

Mereka terperangkap.

Odi melihat itu dari kejauhan. Ia punya tubuh kuat dan otak yang cerdas.

Tapi… apakah mereka mau mendengarnya?

“Tidak peduli apakah mereka menganggapku bagian dari mereka atau tidak… aku tidak bisa diam saja.”

Menjadi Pahlawan di Tengah Keraguan

Odi menyelam cepat dan menggunakan ekornya untuk menciptakan arus kuat.

Jaring mulai bergoyang. Tapi belum cukup.

Lalu ia berenang berputar cepat di sekitar jaring, menciptakan pusaran air yang besar.

KRAKK!
Tali-tali jaring mulai melonggar!

Ikan-ikan kecil berhasil lolos!

Paus Biru dan Hiu bekerja sama dengan Odi, mendorong jaring dari sisi lain.

BREEEETT!!
Jaring akhirnya robek!

Semua ikan, hiu, dan paus berhasil melarikan diri.

Mereka semua terdiam, lalu menatap Odi dengan kagum.

Paus Biru yang bijaksana berkata, “Aku salah. Kau lebih dari sekadar paus atau ikan. Kau adalah penyelamat kita.”

Hiu yang sombong kini berkata pelan, “Aku belum pernah melihat kekuatan dan kecerdasan seperti itu.”

Bahkan Kawanan Tuna yang dulu menolaknya kini berkerumun di sekeliling Odi, “Terima kasih… Tanpa kamu, kami takkan selamat.”

Odi tersenyum. Ia tak butuh pengakuan. Tapi kini ia tahu…

Bukan tentang menjadi bagian dari kelompok tertentu.
Tapi tentang menjadi berguna bagi semua.

Moral Cerita:

Kadang dunia mencoba mengkotak-kotakkan kita. Tapi yang terpenting bukanlah masuk ke dalam satu kelompok, melainkan menjadi diri sendiri dan membawa manfaat untuk semua.

18.3.25

Gajah yang Tak Pernah Didengar - Dongeng Anak

Gajah yang Tak Pernah Didengar - Dongeng Anak

 


Di tengah hutan yang luas, hiduplah seekor gajah bernama Gani. Ia besar, kuat, dan memiliki suara lantang.

Namun ada satu masalah: tidak ada yang mau mendengarkannya.

Ketika ia berbicara di pertemuan hutan, Burung Beo langsung memotong pembicaraannya.
Ketika ia ingin memberi saran, Monyet langsung tertawa dan berkata, "Gajah itu lambat, pasti pemikirannya juga lambat!"

Bahkan Rubah, yang terkenal licik, sering berkata, "Kenapa harus dengar Gani? Dia cuma bisa menyemburkan air dan menginjak tanah!"

Lama-lama, Gani lelah mencoba.
Ia pun berpikir, "Mungkin aku harus berhenti berbicara. Percuma saja, tidak ada yang mau mendengar."

Bencana Datang ke Hutan

Suatu hari, Gani mencium bau aneh di udara.

Ia mengendus lagi… lalu melihat ke kejauhan.

"Asap!" pikirnya panik.

Ia segera berlari ke tengah hutan dan berteriak, "Ada kebakaran! Kita harus pergi dari sini!"

Namun seperti biasa… tak ada yang mendengarkan.

Burung Beo malah menirukan suaranya, “Ada kebakaran! Ada kebakaran!” lalu tertawa.

Monyet bergelantungan santai, "Ah, Gani pasti hanya berlebihan seperti biasa."

Rubah mengibas ekornya, "Gajah memang suka cari perhatian."

Gani frustrasi. Tapi ia tahu ini bukan saatnya menyerah.

Tindakan Lebih Kuat dari Kata-Kata

Tanpa menunggu mereka sadar, Gani menggunakan belalainya untuk menyemprotkan air ke api yang mulai menjalar.

Ia menginjak tanah keras-keras untuk membuat suara gemuruh, menakuti hewan-hewan agar sadar bahwa ada bahaya.

Dan akhirnya—mereka melihat api yang mendekat!

Panik melanda. Semua hewan mulai berlarian ke arah sungai.

Rubah yang tadi sombong kini berteriak, "Gani benar! Gani benar! Cepat selamatkan diri!"

Monyet gemetar, "Gani, tolong kami!"

Tanpa ragu, Gani membantu membawa hewan-hewan kecil dengan belalainya dan memandu kawanan ke tempat aman.

Setelah api padam dan semua selamat, hutan menjadi hening.

Semua mata tertuju pada Gani.

Burung Beo menunduk malu, "Maaf, aku selalu menirukan suaramu tanpa berpikir."

Monyet menggaruk kepalanya, "Ternyata kamu tidak lambat, kamu yang paling sigap."

Dan bahkan Rubah, si cerdik yang tak pernah mau mengakui kesalahan, akhirnya berkata,
"Kami bodoh telah mengabaikanmu, Gani. Hari ini kau telah menyelamatkan kami semua."

Gani hanya tersenyum. Ia tak perlu membalas dendam atau marah.

Kini ia tahu, kata-kata memang penting, tapi tindakan jauh lebih berharga.

Moral Cerita:

Kadang dunia menolak mendengarkan kebenaran, bahkan mengejeknya. Tapi pada akhirnya, kebenaran akan terbukti lewat tindakan. Jangan berhenti berbuat baik hanya karena orang lain tidak langsung percaya.

Sang Penolong - Cerpen

Sang Penolong - Cerpen


Bagian 1 - Sang Penolong

Hujan rintik-rintik membasahi jalanan sore itu. Langit kelabu, udara dingin, dan aroma aspal basah menambah kesan dramatis pada suasana kota. Rian berjalan tergesa-gesa menuju kampus, hoodie-nya sedikit basah karena lupa membawa payung.

Matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang familiar di depannya. Seorang gadis berdiri di tepi trotoar, menunggu waktu yang tepat untuk menyeberang. Dina. Cewek paling populer di kampus—bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga karena sikapnya yang anggun dan ramah. Semua orang mengenalnya, termasuk Rian, meskipun mereka belum pernah benar-benar berbicara.

Lalu, semuanya terjadi dalam sekejap.

Sebuah mobil melaju kencang dari kejauhan, rodanya menyentuh genangan air dan menciptakan cipratan yang tinggi. Pengemudinya tampak tidak fokus. Dina, tanpa menyadari bahaya, melangkahkan kakinya ke jalan tepat saat mobil itu mendekat.

Rian tidak berpikir. Instingnya bergerak lebih cepat dari pikirannya.

Dengan sekuat tenaga, ia berlari dan menarik Dina ke belakang. Tubuh mereka terjatuh ke trotoar—keras, kasar, dan sedikit menyakitkan. Kepala Dina hampir membentur aspal, tetapi Rian dengan refleks melindunginya, mengorbankan tangannya yang tergesek permukaan jalan. Luka gores terasa perih, darah mulai merembes di kulitnya, tetapi ia tidak peduli.

Suara mobil yang melaju menjauh bercampur dengan pekikan orang-orang yang melihat kejadian itu. Beberapa pejalan kaki berkerumun, ingin menolong mereka.

Dina mengerjapkan matanya, napasnya tersengal, tubuhnya masih lemas karena syok.

Saat kesadarannya kembali, seorang pemuda lain tiba-tiba menerobos kerumunan. Aldo.

“Dina! Astaga, kamu nggak apa-apa?” Suaranya panik, tangannya langsung meraih Dina dengan ekspresi penuh kekhawatiran.

Dina menatapnya, masih setengah bingung. Samar-samar, ada bayangan lain di benaknya—seseorang yang menolongnya, seseorang dengan tangan terluka.

Namun, saat ini, hanya Aldo yang ada di hadapannya.

Sementara itu, Rian sudah berdiri, menepuk-nepuk celananya yang kotor. Ia tidak mengatakan apa pun. Tidak meminta pengakuan. Tidak menunggu ucapan terima kasih. Tujuannya hanya satu—menyelamatkan Dina. Itu saja.

Tanpa menoleh lagi, ia memasukkan tangannya yang berdarah ke dalam saku hoodie dan berjalan pergi di bawah gerimis sore.

*i*

Dina masih duduk di trotoar, napasnya tersengal, otaknya mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Mobil yang hampir menabraknya sudah menghilang di tikungan, dan di depannya kini berdiri Aldo—cowok tampan, populer, dan sempurna di mata banyak orang.

Aldo menatapnya dengan ekspresi panik yang terlihat begitu tulus. Dengan sigap, ia berjongkok dan menyentuh pundak Dina.

“Dina, kamu nggak apa-apa? Aku lihat kamu hampir ditabrak!” Suaranya terdengar penuh perhatian, hampir seperti seorang pahlawan yang datang tepat waktu.

Dina masih bingung. Kepalanya terasa ringan, dan pikirannya samar-samar menangkap bayangan seseorang yang menolongnya—bukan Aldo. Ada tangan yang melindungi kepalanya, dan yang paling ia ingat, tangan itu terluka.

Namun, saat Dina menoleh ke sekeliling, sosok yang seharusnya ada di sana sudah menghilang.

Di sisi lain, Aldo dengan cekatan menarik sapu tangannya dan mengulurkannya kepada Dina. Gerakannya penuh pesona, seakan dunia berputar lebih lambat saat dia melakukannya.

“Sini, aku bantu kamu berdiri.” Ia tersenyum hangat, senyum yang selama ini membuat banyak wanita di kampus jatuh hati.

Dina meraih tangan Aldo dan bangkit, masih merasa sedikit goyah. Sementara itu, Aldo melirik sekeliling, memastikan semua mata tertuju padanya. Beberapa mahasiswa yang kebetulan lewat mulai berbisik-bisik.

“Cowok yang benar-benar gentle…”

“Pasti dia datang buat nolong Dina!”

Aldo mendengar bisikan itu, dan seperti aktor kawakan, ia memainkan perannya dengan sempurna. Dengan lembut, ia melepaskan jaketnya dan menyampirkannya di bahu Dina.

“Kamu pasti kedinginan. Jaketku bisa buat kamu lebih hangat.”

Dina mengangguk pelan. Entah kenapa, ada sesuatu yang terasa ganjil, tapi otaknya masih terlalu sibuk memproses kejadian tadi. Lagipula, siapa lagi kalau bukan Aldo yang menyelamatkannya?

Di kejauhan, hujan rintik-rintik masih turun, membasahi jalan yang kini kembali sepi. Dan di balik semua perhatian manis yang Aldo tunjukkan, terselip sesuatu yang tidak terlihat oleh siapa pun—sebuah senyum tipis yang penuh perhitungan.

Hari ini, dia bukan hanya sekadar cowok populer. Hari ini, dia adalah pahlawan. Dan dia tahu, semua orang akan mengingatnya sebagai itu.

*q*

Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu. Kampus kembali dipenuhi hiruk-pikuk mahasiswa baru yang masih dalam masa adaptasi. Suasana semester awal terasa begitu segar—penuh obrolan ringan, candaan khas mahasiswa, dan tentu saja… kisah-kisah baru yang mulai berkembang.

Dina duduk di taman kampus, menikmati angin sejuk sambil membaca catatan di ponselnya. Di seberangnya, Aldo duduk dengan posisi santai, menatapnya dengan tatapan penuh perhatian.

“Aku masih kepikiran kejadian tempo hari, Dina.” Aldo menghela napas dramatis, ekspresi wajahnya tampak tulus. “Kalau aku nggak cepat ke sana, mungkin kamu sudah terluka parah.”

Dina menoleh, sedikit tersentak oleh kata-kata itu. Kenangan samar-samar tentang seseorang dengan tangan terluka kembali muncul di benaknya. Tapi begitu ia menatap Aldo—dengan wajah tampannya, sorot matanya yang penuh kelembutan—keraguan itu perlahan sirna.

“Iya… untung banget ada kamu.” Dina tersenyum tipis, meski dalam hati ia merasa ada sesuatu yang janggal.

Di sisi lain kampus, Rian sedang sibuk mengerjakan tugas kelompok di sudut perpustakaan. Tangannya yang sudah hampir sembuh tersembunyi di balik lengan jaket panjangnya. Bukan karena dia malu, hanya saja… dia malas menjelaskan.

Saat itu, Dina kebetulan lewat dan melihatnya. Entah kenapa, ada sesuatu yang menarik dari pria ini. Dia tidak sekeren Aldo, tidak setampan cowok-cowok populer di kampus, tapi caranya berpikir, cara dia berbicara saat berdiskusi… ada daya tarik tersendiri.

“Hei, Rian.” Dina menyapanya dengan senyum ringan.

Rian menoleh, sedikit kaget. “Oh, hai.”

“Kamu sibuk?” Dina melirik tumpukan buku di mejanya.

“Lumayan. Deadline tugas ini kayak mantan yang nggak mau move on, selalu ngejar.” Rian menghela napas, membuat Dina terkekeh.

“Kamu selalu ada aja ya, jokes-nya.”

Rian mengangkat bahu santai. “Hidup sudah cukup serius, nggak ada salahnya ditambah sedikit komedi.”

Dina tertawa kecil, lalu tanpa sadar pandangannya jatuh ke tangan Rian yang sedikit bergerak keluar dari balik lengan jaketnya. Ada bekas luka yang mulai pudar di sana.

Seketika, hatinya berdebar. Bayangan samar-samar tentang seseorang yang melindunginya dari kecelakaan itu kembali muncul. Dan kali ini, ia mulai bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang menolongnya hari itu?

*n*

Senja mulai turun di kampus, menciptakan semburat oranye yang hangat di langit. Beberapa mahasiswa masih berkeliaran, sibuk dengan tugas atau sekadar menikmati udara sore. Di sudut taman belakang perpustakaan, seorang pria jongkok sambil membuka bungkus makanan kucing. Seekor kucing belang tiga dengan ekor melingkar mendekatinya, mengeong manja.

"Sabar, bos. Ini lagi gue tuangin," gumam Rian sambil menuangkan makanan ke piring kecil bekas. Seekor kucing lain, berwarna abu-abu dengan mata tajam, ikut mendekat.

Tanpa Rian sadari, seseorang berdiri tak jauh darinya, memperhatikannya dengan ekspresi tak percaya.

"Kamu suka kucing?"

Rian menoleh cepat. Dina berdiri di sana dengan mata berbinar, jelas terkejut dan… entah kenapa, senang.

"Hah? Oh, iya." Rian mengangkat bahu. "Kenapa? Ada aturan di kampus yang melarang mahasiswa suka kucing?"

Dina terkikik. "Nggak sih. Aku juga suka kucing. Tapi nggak nyangka aja, anak dingin kayak kamu ternyata punya sisi lembut juga."

"Dingin?" Rian mengerutkan dahi, berpura-pura tersinggung. "Gue tuh hangat, Dina. Cuma paket hemat, nggak pake promo berlebihan."

Dina tertawa, lalu berjongkok di sampingnya. Ia mengelus kepala si kucing belang tiga yang sekarang sibuk makan.

"Kucing ini sering keliaran di kampus. Aku pernah kasih nama, tapi lupa," katanya.

Rian melirik kucing itu dan tersenyum tipis. "Gue panggil dia Si Mpus. Nama universal."

Dina kembali tertawa. Entah kenapa, percakapan kecil ini terasa menyenangkan. Tanpa ia sadari, matanya melirik tangan Rian yang kini tak lagi tersembunyi di balik lengan jaketnya. Ada bekas luka yang mulai memudar.

"Eh, tangan kamu kenapa?" tanyanya spontan.

Rian menoleh ke arah tangannya, lalu dengan santai memasukkannya kembali ke dalam saku.

"Oh, ini?" Ia tersenyum simpul. "Kecelakaan kecil. Nggak penting, kok."

"Serius? Kok aku merasa pernah lihat luka itu…" Dina menyipitkan mata, mencoba mengingat.

Rian hanya tersenyum samar. Ia tidak ingin Dina menghubungkan luka itu dengan kejadian di jalan tempo hari. Ia tidak butuh terima kasih atau utang budi.

Dina masih menatapnya, curiga tapi tidak mendesak.

Di kejauhan, di balik pepohonan taman kampus, sepasang mata tajam memperhatikan mereka dengan ekspresi tak terbaca. Aldo berdiri di sana, tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, rahangnya mengeras.

Hari ini, ia baru tahu satu hal: Rian harus disingkirkan.

Bagian 2 - Cemburu

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di sekitar kampus saat Dina berjalan ke taman belakang perpustakaan. Biasanya, ia akan menemukan kucing-kucing liar yang sering berkeliaran di sana. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda.

Di bawah bangku kayu yang biasa ditempati Si Mpus, seekor kucing tergeletak tak bergerak. Bulunya yang belang tiga tampak kusut, dan di dekatnya ada noda merah kecoklatan yang mulai mengering di tanah.

Dina terdiam. Sekujur tubuhnya terasa dingin.

"Mpus…?" Suaranya nyaris bergetar. Dengan tangan gemetar, ia berjongkok dan menyentuh tubuh kecil itu. Dingin.

Ia mundur selangkah, kedua matanya memanas. Perasaan sesak tiba-tiba menghantam dadanya. Si Mpus yang kemarin masih mengeong dan bermain, sekarang tergeletak tak bernyawa.

Langkah cepat mendekatinya. "Dina, kenapa?"

Dina menoleh. Rian berdiri di sana, ekspresinya sulit dibaca. Begitu melihat ke arah tubuh kucing itu, matanya langsung meredup. Ia berjongkok, menyentuh kepala kecil yang tak lagi bergerak itu.

"Dia mati." Suara Rian terdengar datar, tapi ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang dingin dan terpendam.

Dina menggigit bibir, menahan isak. "Siapa yang bisa melakukan ini?"

Rian tidak menjawab. Matanya menelusuri sekitar, mencari petunjuk. Tidak ada tanda-tanda kecelakaan. Tidak ada jejak hewan liar yang mungkin menyerang. Ini bukan kematian alami.

"Ini sengaja," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Dina menoleh, kaget. "Maksudmu…?"

Rian mengembuskan napas pelan. "Ada orang yang sengaja membunuhnya."

Dina menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi… buat apa? Siapa yang tega?"

Rian mengalihkan pandangannya ke kejauhan. Ia punya firasat buruk tentang ini, tapi belum punya bukti. Hanya satu yang pasti: seseorang mengirim pesan.

Dan pesan itu ditujukan untuknya.

Di sisi lain kampus, Aldo bersandar santai di kursi kafe sambil mengaduk kopinya dengan sendok perak kecil. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat dengan jelas ekspresi terpukul Dina saat menatap bangkai kucing itu.

Ia tersenyum tipis, hampir tak terlihat.

"Lihat saja, Rian," gumamnya pelan. "Aku akan membuatmu tidak punya tempat di sini."

*a*

Hari-hari berlalu seperti biasanya di kampus. Aldo tetap dengan pesonanya—selalu tampak sempurna dalam setiap kesempatan. Ia tahu cara berbicara, tahu kapan harus tersenyum, tahu bagaimana membuat siapa pun yang mendengarnya merasa istimewa.

Dina masih sering bersamanya. Tidak ada alasan baginya untuk menjauhi Aldo. Semua orang menyukai Aldo—para dosen, teman-teman, bahkan satpam kampus pun selalu menyapanya dengan ramah. Ia terlalu sopan, terlalu romantis, terlalu ideal untuk dicurigai.

Tapi di tempat lain, seseorang juga mulai menarik perhatian.

Rian.

Bukan dengan kata-kata manis atau senyuman yang dibuat-buat, tapi dengan caranya sendiri. Cara yang tidak semua orang bisa mengerti.

Seorang gadis dengan rambut hitam sebahu dan mata berbinar perlahan mulai mendekatinya. Vety.

Gadis itu bukan tipe yang akan duduk diam menunggu. Ia aktif, penuh semangat, dan selalu punya cara untuk mendekati sesuatu (atau seseorang) yang menarik perhatiannya. Dan saat ini, yang menarik perhatiannya adalah Rian.

"Kamu sibuk?" Vety muncul tiba-tiba di sampingnya saat Rian sedang membaca di perpustakaan.

Rian menutup bukunya dengan santai. "Nggak juga."

"Bagus! Berarti kamu bisa ngajarin aku."

Rian mengangkat alis. "Ngajarin apa?"

"Kamu kan pinter, aku butuh bimbingan." Senyumnya penuh harap.

Rian menatapnya sejenak, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata itu. Tapi Vety terlihat benar-benar tulus.

"Oke." Jawabannya singkat, tanpa ekspresi berlebihan.

Tapi bagi Vety, itu sudah cukup.

Ia tersenyum kecil. Ia tahu, Rian bukan cowok yang gampang didekati. Tapi justru itulah yang membuatnya makin tertarik.

Dingin? Mungkin. Tapi Vety tahu, di balik tatapan tenang itu, ada seseorang yang jauh lebih menarik daripada pria mana pun di kampus ini.

***

Meskipun Aldo masih sering bersama Dina, ada satu hal yang mulai berubah—Dina dan Rian semakin sering berinteraksi.

Bukan karena Rian mencoba mendekatinya. Tidak, Rian bukan tipe pria yang akan berusaha keras untuk menarik perhatian seseorang. Hubungan mereka terjadi begitu saja, mengalir seperti air yang menemukan jalannya sendiri.

Mereka sering bertemu di tempat yang tidak disengaja—di perpustakaan, di taman kampus, bahkan di kantin saat Rian sedang menikmati kopi hitamnya yang pahit.

Hari itu, Dina melihat Rian duduk sendirian di bawah pohon, buku terbuka di pangkuannya. Cahaya matahari sore menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan abstrak di wajahnya yang tenang.

"Sendirian lagi?" Dina tersenyum, duduk di sampingnya tanpa menunggu undangan.

Rian menutup bukunya perlahan. "Kelihatannya begitu."

Dina tertawa kecil. "Kamu nggak keberatan kan kalau aku nemenin?"

Rian mengangkat bahu. "Kalau aku keberatan pun, kamu tetap bakal duduk di sini, kan?"

Dina terkekeh. "Mungkin."

Hening sejenak. Angin bertiup pelan, membawa aroma rumput basah setelah hujan pagi tadi.

"Kenapa kamu suka kucing?" tiba-tiba Dina bertanya, mengingat bagaimana mereka pertama kali benar-benar mengobrol saat Rian memberi makan kucing liar di kampus.

Rian menatapnya sebentar, seolah mempertimbangkan jawabannya. "Karena mereka nggak berpura-pura."

Dina menoleh padanya, sedikit terkejut dengan jawabannya yang sederhana tapi penuh makna. "Maksudnya?"

"Kucing nggak pura-pura suka sama seseorang. Kalau mereka nyaman, mereka bakal mendekat. Kalau enggak, mereka bakal pergi." Rian menatap lurus ke depan. "Manusia nggak selalu begitu."

Dina terdiam. Entah kenapa, kalimat itu terasa berat.

Di kejauhan, seseorang sedang mengamati mereka. Aldo.

Tatapan matanya yang biasa lembut dan penuh pesona kini berubah tajam. Sesuatu di dalam dirinya mulai terusik.

***

Aldo melihat semuanya.

Dari kejauhan, matanya tidak lepas dari Dina dan Rian yang duduk bersama di bawah pohon. Mereka terlihat santai, seperti dunia di sekitar mereka tidak lagi ada.

Aldo menggenggam gelas kopinya lebih erat. Dina tidak pernah terlihat setenang itu saat bersamanya. Dia selalu tampak waspada, ingin selalu tampil sempurna di hadapannya. Tapi dengan Rian… dia berbeda. Seolah-olah dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi.

Aldo tidak menyukai itu.

Di sisi lain, seorang gadis juga merasakan hal yang sama.

Vety.

Gadis manis yang selalu tersenyum setiap kali berbicara dengan Rian. Dia tidak peduli meskipun Rian terlihat cuek dan dingin. Justru sikap dingin itulah yang membuatnya semakin tertarik.

Namun, hari ini, Vety melihat sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.

Dina.

Vety memperhatikan bagaimana Dina tertawa kecil di samping Rian, bagaimana Rian—meskipun tetap dengan ekspresi datarnya—terlihat lebih santai saat berbicara dengannya.

Vety menggigit bibirnya. Itu seharusnya bukan Dina. Itu seharusnya dirinya.

Dua orang yang berbeda, tapi merasakan hal yang sama.

Aldo menatap Rian dengan mata penuh perhitungan.

Vety menatap Dina dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Dalam diam, keduanya sadar—ada sesuatu yang mengganggu mereka. Sesuatu yang tidak bisa mereka biarkan begitu saja.

***

Langit mulai meredup saat Rian duduk sendirian di sudut kampus, sebuah buku terbuka di tangannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di halaman yang dia baca.

Beberapa menit lalu, dia tanpa sengaja mendengar sesuatu.

Dua mahasiswa senior berbicara dengan suara pelan di pojokan kantin. Mereka tidak menyadari bahwa Rian ada di dekat mereka, asyik dengan pembicaraan mereka sendiri.

"Serius lo? Aldo? Emang lo liat sendiri?"

"Gue gak punya bukti, tapi temen gue pernah ngelihat dia masuk ke mobil orang yang katanya bukan orang sembarangan."

"Terus? Itu bukan bukti juga, kan?"

"Iya sih, tapi... beberapa waktu lalu ada anak cewek yang tiba-tiba keluar dari kampus ini tanpa alasan jelas. Katanya, dia deket sama Aldo sebelum tiba-tiba hilang. Gak ada kabar sama sekali."

Rian berpura-pura tidak tertarik, tapi otaknya mencatat semuanya.

Aldo.

Nama itu sudah sering didengarnya, bukan hanya karena popularitasnya, tapi juga karena ada sesuatu yang terasa… aneh. Seperti ada bagian dari Aldo yang tidak bisa dilihat semua orang.

Rian tidak tahu apakah kabar buram itu benar atau hanya gosip murahan. Tapi satu hal yang dia tahu, firasatnya tidak pernah salah.

Di tempat lain, Vety memperhatikan Dina dengan tatapan tajam.

Dina sedang tersenyum saat berbicara dengan seorang teman, wajahnya tampak damai, seolah-olah hidupnya tanpa masalah.

Vety tidak bisa menahan rasa sesak di dadanya.

Dia mengamati cara Aldo selalu berada di sekitar Dina, bagaimana dia memperlakukannya dengan begitu sempurna—terlalu sempurna.

Tapi yang membuatnya lebih penasaran adalah bagaimana Dina juga bisa terlihat nyaman di dekat Rian.

Rian… seseorang yang dia inginkan, tapi sepertinya hatinya mulai condong ke arah lain.

Sementara itu, Rian menutup bukunya perlahan, matanya sedikit menyipit.

Jika Aldo memang memiliki sisi gelap yang tidak diketahui banyak orang, cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar.

***

Langit sore mulai berubah jingga saat Vety berjalan menuju sudut kampus yang jarang dilewati orang. Di sana, berdiri seseorang yang tengah bersandar santai di tiang lampu taman. Aldo.

"Jadi, lo setuju?" tanya Vety pelan, suaranya penuh kehati-hatian.

Aldo menoleh, senyumnya tipis. "Tergantung. Lo maunya apa?"

Vety menghela napas, berusaha menyusun kata-kata dengan hati-hati. "Gue cuma gak suka liat Dina makin dekat sama Rian. Kita berdua tahu kalau cowok itu bukan siapa-siapa. Lo lebih pantas buat Dina."

Aldo terkekeh kecil, ekspresinya tetap tenang. "Oh? Lo peduli sama gue sekarang?"

"Jangan geer." Vety melipat tangan di dadanya. "Gue cuma gak mau cowok kayak Rian merebut posisi lo. Lo tahu kan, dia makin sering bareng Dina? Lo gak masalah?"

Aldo menatap jauh ke arah gedung kampus. Sorot matanya sulit ditebak.

"Gue gak masalah," katanya, lalu menatap Vety dengan intens. "Tapi gue juga gak sebodoh itu."

Vety sedikit mengernyit. "Maksud lo?"

Aldo tersenyum miring. "Kita sepakat buat menjauhkan Dina dari Rian. Tapi gue punya rencana sendiri. Lo cukup jalani bagian lo. Sisanya, biar gue yang urus."

Ada sesuatu dalam nada bicara Aldo yang membuat Vety merasakan hawa dingin di tengkuknya.

Tapi dia mengabaikan firasat itu.

"Oke," katanya akhirnya. "Gue bakal bikin Dina ragu sama Rian."

Aldo mengangguk kecil. "Bagus. Gue juga punya cara sendiri buat ngejauhin mereka berdua. Tapi..."

Dia berhenti sejenak, lalu menatap Vety dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Gue harap lo gak terlalu percaya sama gue."

Vety menegang. Tapi Aldo sudah berbalik, melangkah pergi dengan santai, meninggalkan Vety dalam kebingungan dan rasa penasaran yang makin dalam.

Di balik senyumnya yang sempurna, ada sesuatu yang misterius dalam pikirannya. Sesuatu yang hanya dia sendiri yang tahu.

Bagian 3 – Dijebak

Pagi itu, kampus terasa seperti biasa. Mahasiswa berlalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi di balik semua itu, sebuah rencana sedang berjalan dengan sangat rapi.

Vety duduk di kantin bersama beberapa teman perempuannya. Pembicaraan mereka terdengar santai, tapi sebenarnya setiap kata yang keluar dari mulut Vety sudah dirancang dengan cermat.

"Serius, lo belum denger?" ujar Vety dengan nada sedikit terkejut, matanya melirik Dina yang duduk tak jauh dari mereka.

"Denger apa?" salah satu temannya bertanya.

Vety tersenyum tipis, seolah-olah enggan untuk membicarakannya, tapi justru itu yang membuat orang-orang makin penasaran. "Ya... soal Rian."

Dina yang tadinya sibuk dengan ponselnya, kini tanpa sadar memasang telinga.

"Gue denger dia sering deketin cewek-cewek buat manfaatin mereka," lanjut Vety, suaranya dibuat cukup pelan agar terdengar seperti rahasia besar. "Ada yang bilang dia pintar bersikap baik, tapi sebenernya dia cuma mainin perasaan orang."

Salah satu temannya terkesiap. "Masa sih? Tapi dia kan kelihatannya pendiam."

Vety terkekeh. "Justru itu. Tipe cowok kayak dia kelihatannya baik, tapi siapa yang tahu aslinya?"

Dina terdiam. Otaknya mencoba menyaring informasi itu.

Rian memang pendiam dan tertutup. Tapi sejak kejadian kucing mati itu, dia mulai merasa bahwa ada sesuatu di balik sikapnya yang dingin. Dina juga tahu bahwa Rian sering menolong orang—termasuk dirinya. Tapi, bagaimana kalau yang dikatakan Vety benar?

Bagaimana kalau selama ini Rian hanya bersikap baik karena ada maksud tersembunyi?

"Oh iya, ada yang lihat dia jalan bareng cewek lain beberapa hari lalu," tambah Vety santai. "Kayaknya deket banget. Kasihan sih cewek-cewek yang percaya sama dia."

Dina menunduk, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Vety melirik Dina sekilas. Dia tahu ucapannya mulai bekerja.

Saat itu juga, Aldo masuk ke kantin, langsung menuju ke arah Dina.

"Hey, tadi gue liat Rian di taman belakang sama seorang cewek. Mereka kelihatan akrab banget," ujar Aldo dengan nada ringan, seolah-olah hanya ingin berbagi informasi biasa.

Vety tersenyum dalam hati.

Sekarang, benih keraguan sudah tertanam di pikiran Dina.

***

Dina duduk diam di bangku taman kampus, menatap layar ponselnya yang gelap. Pikirannya sibuk. Kata-kata Vety dan Aldo masih terngiang-ngiang di kepalanya.

"Rian cuma manfaatin cewek-cewek…"
"Dia kelihatan akrab banget sama cewek lain…"

Dina menggigit bibirnya. Seharusnya dia tidak terlalu memikirkan ini. Lagipula, apa hubungannya dengan dirinya? Tapi entah kenapa, ada perasaan tidak nyaman di dadanya.

Tapi semakin lama dia merenung, semakin terasa ada sesuatu yang janggal.

Pertama, dia tahu Rian bukan tipe orang yang suka membanggakan diri atau mencari perhatian. Kalau benar dia sekadar memanfaatkan cewek, kenapa dia justru sering terlihat sendirian?

Kedua, Rian memang tidak banyak bicara, tapi setiap kali mereka mengobrol, kata-katanya selalu terasa tulus. Tidak ada nada merayu seperti yang sering Aldo lakukan, tidak ada basa-basi murahan yang biasanya digunakan cowok untuk menarik perhatian cewek.

Ketiga, soal cewek lain… ya, Dina memang pernah melihat seorang gadis mendekati Rian. Tapi dari kejauhan, Rian justru terlihat sedikit menghindar. Bukan seperti seseorang yang sedang "memainkan" perasaan orang lain.

Dina menghela napas panjang.

Dia tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Tapi di sisi lain, dia juga tidak bisa mengabaikan perasaan ragu yang sudah mulai muncul.

Dina menatap langit yang mendung. Hatinya terasa seperti cuaca hari itu—kelabu, tidak pasti.

***

Suasana kampus yang biasanya tenang mendadak menjadi kacau. Bisik-bisik dan tatapan penuh rasa ingin tahu menyebar seperti api yang membakar rerumputan kering.

Beberapa mahasiswa yang sedang duduk di koridor saling berbisik.

"Serius, Rian? Kok bisa?"
"Katanya dia ketahuan punya barang itu di tasnya..."
"Wah, enggak nyangka! Padahal dia kelihatan pinter dan kalem..."

Di tengah keramaian itu, seorang pemuda tampak berdiri tegak di antara beberapa petugas polisi berseragam. Wajahnya tetap datar, meskipun jelas ada amarah yang berusaha dia tahan. Rian.

Dua polisi memeriksa tasnya yang tadi ditemukan di loker kampus. Salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah plastik kecil berisi serbuk putih dari dalamnya.

"Kami mendapat laporan bahwa ini milik Anda," kata salah satu polisi dengan suara tegas.

Rian menatap benda itu dengan tajam. Jantungnya berdegup cepat, tapi bukan karena panik—melainkan karena marah.

"Loker itu bisa diakses siapa saja," jawabnya dingin. "Ada banyak mahasiswa yang lewat di sana."

"Tapi nama Anda ada dalam laporan ini. Anda harus ikut dengan kami untuk penyelidikan lebih lanjut."

Saat polisi memborgol tangannya, tatapan orang-orang di sekitar semakin penuh dengan dugaan dan prasangka.

Dina yang baru saja tiba di tempat kejadian membeku di tempatnya. Mata besarnya menatap Rian yang sedang dibawa pergi.

"Rian…" bisiknya, hampir tanpa suara.

Sementara itu, tak jauh dari sana, Aldo berdiri dengan senyum tipis di wajahnya.

Di sudut lain, Vety memandang kejadian itu dengan wajah pucat. Dadanya terasa sesak. Ini bukan yang dia inginkan. Dia hanya ingin menjauhkan Dina dari Rian, bukan menghancurkan hidup Rian seperti ini.

Tapi sekarang semuanya sudah terjadi.

Dan Vety tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

***

Suasana ruang sidang terasa begitu mencekam. Semua mata tertuju pada satu sosok yang berdiri di tengah ruangan dengan tangan terborgol. Rian.

Dia tetap diam, hanya menatap lurus ke depan dengan ekspresi tanpa emosi, meskipun dalam hatinya, kemarahan dan ketidakpercayaan berkecamuk.

Jaksa berdiri dengan percaya diri. "Yang Mulia, semua bukti sudah jelas. Barang bukti ditemukan di loker yang dikunci dengan nomor loker atas nama terdakwa. Saksi-saksi juga menyatakan bahwa terdakwa kerap terlihat bertemu dengan orang-orang mencurigakan di sekitar kampus."

Hakim mengetuk palunya sekali. "Terdakwa, apakah Anda memiliki pembelaan?"

Rian menarik napas dalam. "Saya tidak tahu siapa yang menjebak saya, tapi saya tidak pernah menyentuh barang itu. Loker saya bisa saja dimasuki siapa pun."

"Tapi sidik jari Anda ada di tas tempat barang itu ditemukan," sergah jaksa.

Rian mengepalkan tangannya. Dia tahu itu bisa saja terjadi. Lagipula, itu memang tasnya—sesuatu yang bisa dengan mudah dimanipulasi oleh orang yang cukup licik.

Dari kursi pengunjung, Dina menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang terasa janggal. Rian memang bukan orang yang terbuka, tapi dia bukan orang seperti itu. Apalagi setelah apa yang terjadi dengan kucing liar yang mereka rawat. Seseorang yang menyayangi makhluk kecil tak bersalah, rasanya mustahil tega merusak hidup orang lain dengan barang haram.

Tapi semua bukti seakan mengarah ke satu kesimpulan.

Di sisi lain ruangan, Aldo duduk dengan wajah serius. Tidak ada senyum licik di bibirnya. Tidak ada ekspresi berlebihan. Hanya tatapan datar, seakan dia adalah penonton netral dari sebuah pertunjukan yang menarik.

Vety, yang duduk tak jauh dari sana, menundukkan kepalanya. Tangannya mencengkeram rok yang dikenakannya, berusaha menyembunyikan kegelisahan.

Hakim akhirnya mengetukkan palunya. "Setelah menimbang bukti yang ada, pengadilan memutuskan bahwa terdakwa bersalah atas kepemilikan dan pengedaran obat terlarang."

Seakan seluruh ruangan tertelan keheningan yang menyesakkan.

"Dengan ini, terdakwa dijatuhi hukuman dua tahun penjara."

Rian tidak bereaksi. Dia hanya menatap lurus ke depan, seakan sudah tahu bahwa ini akan terjadi.

Di luar ruang sidang, Dina berdiri dengan tatapan kosong.

Aldo berjalan melewatinya, menyempatkan diri berhenti sejenak untuk menatap wajahnya yang masih shock.

"Jangan sedih, Dina," katanya lembut. "Mungkin ini memang sudah takdirnya."

Dina tidak menjawab, hanya mengepalkan tangannya.

Sementara itu, Vety berdiri di sudut lorong, menyadari satu hal yang menyakitkan.

— Bahwa dia telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih kejam dari yang pernah dia bayangkan.

***

Penjara bukan tempat yang ramah, apalagi bagi seseorang yang dicap sebagai pengedar obat terlarang. Rian menyadari hal itu sejak hari pertama ia melangkah ke dalam blok tahanan.

Tatapan dingin, penuh curiga, bahkan benci, langsung menyambutnya. Bagi para tahanan, ada dua jenis orang yang paling dibenci di tempat ini: pemerkosa dan pengedar narkoba. Dan kebetulan, Rian masuk ke dalam kategori kedua—setidaknya menurut vonis hakim.

Hari-hari pertamanya dipenuhi gangguan. Beberapa tahanan senior sengaja mencari gara-gara. Ada yang menyenggol bahunya dengan sengaja saat lewat. Ada yang mencibir setiap kali ia berjalan di lorong. Yang lebih parah, beberapa kali makanannya dirampas begitu saja tanpa ada yang peduli.

Tapi Rian bukan tipe orang yang mudah mengeluh.

Ketika seseorang berusaha memprovokasinya, dia memilih diam. Saat makanannya dirampas, dia tidak membalas dengan kemarahan, melainkan hanya duduk kembali dan makan apa pun yang tersisa. Dia tahu aturan tempat ini—orang yang marah tanpa perhitungan hanya akan berakhir sebagai korban berikutnya.

Namun, penjara bukan hanya tentang kekerasan. Ada juga mereka yang hanya ingin menjalani hukuman tanpa mencari masalah.

Rian mulai diperhatikan oleh beberapa tahanan yang lebih tua, mereka yang sudah terlalu lama hidup di dunia ini untuk sekadar membenci tanpa alasan.

"Kenapa lu nggak pernah balas?" tanya seorang pria tua, mantan pejabat yang terjebak kasus korupsi kecil-kecilan.

Rian mengangkat bahu. "Kalau gua balas, gua jadi sama aja kayak mereka."

Hari demi hari berlalu. Keadaan tetap keras, tapi Rian perlahan beradaptasi. Dia mulai membangun sedikit kepercayaan dengan membantu mereka yang lebih lemah, tanpa meminta imbalan apa pun.

Ketika seorang napi muda dipukuli karena berhutang rokok pada geng tertentu, Rian membantunya bangkit dan merawat lukanya. Ketika seorang tahanan tua yang sakit-sakitan kesulitan membawa makanannya, Rian membantunya tanpa banyak bicara.

Keberanian dan ketegarannya diperhatikan oleh banyak orang, termasuk mereka yang berkuasa di dalam penjara.

"Anak baru ini bukan tipe sembarangan," bisik salah satu tahanan senior pada kawannya. "Dia bukan pengecut, tapi juga bukan orang bodoh yang main pukul sembarangan."

Suatu hari, gangguan itu mencapai puncaknya. Seorang tahanan bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya sengaja menantang Rian.

"Hei, bocah. Lu sok suci di sini? Hah?!"

Rian menatapnya dengan tenang. Tidak takut, tapi juga tidak menantang.

Saat pukulan pertama hampir mengenai wajahnya, Rian menghindar dengan cepat dan menahan tangan lawannya. Dalam sekejap, ia membalikkan posisi dan menjatuhkan pria besar itu ke lantai dengan teknik sederhana tapi efektif.

Semua orang terdiam.

Tidak ada teriakan. Tidak ada balasan provokasi dari Rian. Dia hanya berdiri tegak, lalu berjalan pergi tanpa berkata apa-apa.

Sejak hari itu, gangguan mulai berkurang. Rian tidak hanya bertahan, tapi juga mulai mendapat tempat di antara mereka yang lebih bijak dan kuat.

Dia berubah. Tidak menjadi jahat, tapi menjadi lebih kuat.

Bukan hanya fisiknya, tapi juga pikirannya.

***

Di antara para tahanan yang mendekam di penjara itu, ada satu nama yang selalu dibicarakan dengan suara pelan dan penuh waspada. Guntur.

Seorang narapidana yang dijatuhi hukuman seumur hidup karena kasus pembunuhan berantai. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan sorot matanya tajam seperti binatang buas. Tak ada satu pun tahanan yang berani menentangnya. Bahkan sipir pun lebih memilih menghindari konflik dengannya.

Dan sejak kedatangan Rian, Guntur membencinya.

Bagi Guntur, orang seperti Rian adalah sampah—seseorang yang masih berusaha "bersih" di dunia yang penuh kotoran. Rian tidak pernah membalas saat dihina, tidak pernah melawan saat dijahili. Itu membuat Guntur muak.

"Dasar sok suci," dengusnya suatu hari saat melihat Rian membantu napi tua membawa nampan makanannya.

Tapi waktu berlalu, dan sesuatu mulai mengusik benak Guntur.

Hari itu, seorang napi muda yang sering jadi korban perundungan hampir dikeroyok di pojokan blok tahanan. Dia lemah, tak bisa melawan, dan jelas akan menjadi bulan-bulanan. Namun sebelum pukulan pertama mendarat, seseorang berdiri di depannya.

Rian.

Tanpa ragu, tanpa ketakutan.

"Tinggalkan dia," kata Rian, suaranya tenang tapi tegas.

Tahanan yang hendak memukul itu menertawakannya. "Oh, pahlawan kesiangan, ya? Mau jadi jagoan?"

Rian tidak menjawab.

Pukulan itu akhirnya melayang ke arahnya. Satu, dua, tiga... Rian jatuh tersungkur, darah merembes dari bibirnya. Tapi dia tetap berdiri lagi. Berkali-kali.

Guntur, yang menyaksikan semua itu dari kejauhan, awalnya hanya mendecak. Tapi ketika melihat bagaimana Rian terus bangkit meskipun tubuhnya sudah babak belur, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya—sesuatu yang sudah lama mati dalam dirinya.

Saat salah satu napi hendak menghantam Rian dengan kursi, Guntur berdiri.

"Sudah cukup."

Seketika, suasana mencekam. Para napi langsung mundur begitu melihat siapa yang berbicara.

Guntur berjalan mendekat, menatap Rian yang masih terhuyung. "Kenapa lu nggak lari?"

Rian mengusap darah di sudut bibirnya. "Kalau gue lari, nggak ada yang bakal nolong dia."

Guntur terdiam sejenak. Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik pergi.

Namun sejak hari itu, sesuatu berubah.

Guntur mulai memperhatikan Rian. Melihat bagaimana dia membantu tahanan lain tanpa mengharapkan imbalan. Melihat bagaimana dia tetap bertahan meskipun berkali-kali diperlakukan tidak adil.

Dan tanpa sadar, Guntur mulai melunak.

Dia tidak lagi memusuhi Rian. Bahkan, dia mulai berbicara dengannya—walaupun dengan nada kasar.

"Lu bego atau gimana, sih? Ngapain nolongin orang-orang yang jelas-jelas udah busuk?"

Rian hanya tersenyum kecil. "Mungkin gue cuma nggak mau ikut busuk."

Jawaban itu membuat Guntur terdiam lama.

Hari-hari berlalu, dan perlahan, mereka menjadi teman.

Bukan pertemanan biasa—lebih seperti saling menghormati. Guntur, yang dulu membenci Rian, kini justru sering duduk bersamanya, mendengarkan ceritanya, dan bahkan tanpa sadar melindunginya dari napi lain yang masih mencari gara-gara.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Guntur merasakan sesuatu yang dulu ia pikir sudah hilang: rasa hormat terhadap seseorang yang lebih kuat darinya, bukan karena kekerasan, tapi karena keteguhan hati.

***

Hari-hari di penjara yang awalnya begitu menyiksa mulai terasa berbeda bagi Rian.

Bukan karena tempat itu berubah menjadi nyaman—tidak, penjara tetaplah penjara, penuh dengan kepahitan, ketidakadilan, dan aturan rimba. Tapi sekarang, dia tidak lagi sendiri.

Bersama Guntur dan beberapa napi lain yang mulai menghormatinya, Rian belajar bertahan, tidak hanya secara mental, tapi juga fisik.

Setiap pagi, dia ikut dalam rutinitas latihan para napi yang ingin memperkuat diri—bukan untuk jadi preman, tapi untuk bertahan. Push-up, sit-up, angkat beban dari barang-barang seadanya. Semuanya terasa berat di awal, tapi seiring waktu, tubuhnya mulai terbiasa. Otot-ototnya lebih terbentuk, refleksnya semakin cepat.

"Lu udah nggak kayak mahasiswa cupu lagi," celetuk Guntur suatu hari, melihat Rian mengangkat barbel buatan dari kaleng semen.

Rian hanya tersenyum. "Gue juga nggak nyangka bakal sampai di titik ini."

Namun bukan hanya fisiknya yang ditempa.

Di bengkel kecil yang ada di dalam penjara—tempat para napi bekerja untuk mendapatkan sedikit pemasukan—Rian menemukan sesuatu yang benar-benar menarik minatnya. Servis mesin.

Awalnya, dia hanya membantu napi-napi yang lebih tua, menyapu lantai atau mengambilkan alat. Tapi semakin lama dia mengamati, semakin dia penasaran.

"Kalau lu mau belajar, duduk sini," kata seorang napi tua yang sudah puluhan tahun jadi mekanik sebelum masuk penjara. Namanya Pak Burhan.

Rian tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Setiap hari, setelah menyelesaikan tugasnya, dia duduk di samping Pak Burhan, memperhatikan setiap gerakan tangan lelaki tua itu saat membongkar mesin motor atau mobil.

Perlahan, dia mulai mengerti. Cara kerja karburator, bagaimana mengganti busi yang aus, bagaimana mendeteksi masalah hanya dari suara mesin. Tangannya yang dulu hanya memegang buku dan pulpen, kini terbiasa kotor oleh oli dan gemuk.

"Gue nggak nyangka lu bakal sekeren ini," kata Guntur, suatu hari melihat Rian memperbaiki mesin yang sebelumnya gagal diperbaiki napi lain.

Rian terkekeh. "Gue juga nggak nyangka bakal jadi montir di penjara."

"Jangan salah," Pak Burhan menyela. "Keterampilan kayak gini bakal lebih berguna dari yang lu kira. Mungkin suatu hari, ini yang bakal nolongin lu keluar dari tempat sialan ini."

Rian tak menjawab, tapi kata-kata itu tertanam dalam benaknya.

Hari-hari berlalu, dan tanpa ia sadari, ia mulai berubah.

Bukan lagi mahasiswa yang terjebak dalam tuduhan palsu dan hanya bisa meratapi nasib.

Kini, dia adalah seseorang yang lebih kuat, lebih siap.

Dan mungkin, lebih berbahaya bagi mereka yang telah menjebaknya.

Bagian 4 – Pak Napi yang Aneh

Di antara para narapidana yang Rian kenal, ada satu yang paling unik—seorang lelaki tua yang dipanggil Pak Surya.

Pak Surya tidak seperti napi lain. Dia tidak kasar seperti Guntur, tidak juga pendiam seperti Pak Burhan. Dia tenang, berwibawa, dan selalu terlihat rapi. Walaupun sudah bertahun-tahun di penjara, posturnya masih tegap, dan matanya masih tajam seperti seseorang yang selalu berpikir beberapa langkah ke depan.

"Pak Surya itu orang kaya," bisik seorang napi kepada Rian suatu hari. "Tapi dia nggak pernah mau beli kebebasannya."

Rian mengernyit. "Beli kebebasan?"

"Ya, kalau dia mau, dia bisa pakai duitnya buat suap hakim atau pengacara kelas atas. Tapi dia nggak pernah mau."

Awalnya, Rian mengira itu hanya gosip. Tapi semakin lama dia mengenal Pak Surya, semakin dia sadar ada yang berbeda dari pria itu.

Pak Surya tidak pernah mengeluh tentang keadaan di penjara. Dia juga tidak pernah berusaha mencari perlindungan atau menjilat sipir seperti napi lain yang punya uang. Sebaliknya, dia lebih suka duduk di sudut lapangan penjara dengan secangkir kopi, membaca buku yang entah bagaimana selalu berhasil ia dapatkan.

Suatu hari, saat Rian sedang membongkar mesin motor di bengkel penjara, Pak Surya berdiri di dekatnya, mengamati dengan senyum kecil.

"Kamu punya bakat, Nak," katanya.

Rian tertawa kecil. "Bakat jadi montir di penjara?"

"Lebih baik punya keterampilan daripada tidak sama sekali," balas Pak Surya. "Penjara itu tempat yang keras. Tapi dunia luar lebih keras lagi."

Rian berhenti bekerja sejenak dan memandang pria itu. "Pak Surya pernah jadi apa di luar sana?"

Pak Surya menghela napas pelan. "Dulu, aku pengusaha. Kemudian aku mencoba masuk ke politik. Kesalahan besar."

"Kenapa?"

"Sederhana. Karena aku tidak mau ikut permainan kotor mereka," jawabnya, tatapan matanya menerawang ke kejauhan. "Aku tidak pernah korupsi, tapi tetap dijebak. Teman-teman yang dulu memujiku, sekarang bahkan tidak berani menyebut namaku."

Rian terdiam. Ada sesuatu dalam suara Pak Surya yang membuatnya merasa... terhubung.

"Apa Bapak nggak kepikiran buat keluar dari sini?" tanya Rian.

Pak Surya tersenyum tipis. "Untuk apa? Dunia luar lebih busuk daripada tempat ini. Di sini, aku tahu siapa kawan dan siapa lawan. Di luar sana, kau bahkan tidak bisa membedakan mana yang akan menusukmu dari belakang."

Rian menggenggam kunci inggris di tangannya. Kata-kata itu... mengingatkannya pada sesuatu. Atau seseorang.

Aldo.

Entah kenapa, selama ini Rian selalu punya firasat buruk tentang Aldo. Tapi dia tidak pernah punya bukti, hanya sekadar perasaan. Apalagi, semua bukti telah mengarah kepadanya saat dia dijebak.

"Kenapa wajahmu tiba-tiba tegang begitu?" tanya Pak Surya, mengamatinya dengan sorot mata tajam.

Rian menggeleng cepat. "Nggak, cuma mikir aja... kalau saya juga dijebak, seperti Bapak."

Pak Surya terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kalau begitu, satu-satunya hal yang bisa kau lakukan adalah mencari kebenaran. Dan saat kau menemukannya... pastikan kau siap untuk membalasnya."

Rian tidak menjawab, tapi dalam hatinya, kata-kata itu telah terpatri.

Dunia luar lebih kejam dari penjara.

Dan jika dia ingin bertahan—jika dia ingin mendapatkan kembali hidupnya—dia harus bersiap menghadapi neraka yang sesungguhnya.

***

Hari demi hari berlalu, dan Pak Surya semakin akrab dengan Rian. Lelaki tua itu seperti melihat bayangan dirinya sendiri saat muda dalam sosok Rian—keras kepala, berprinsip, dan tidak mudah menyerah.

"Rian," katanya suatu hari saat mereka duduk di sudut lapangan penjara. "Aku tahu kau bukan orang jahat."

Rian hanya tersenyum miring. "Hanya saja dunia menganggap saya begitu."

Pak Surya tertawa kecil. "Sama seperti yang mereka lakukan padaku dulu."

Sejak hari itu, Pak Surya memperlakukan Rian seperti anaknya sendiri. Ia sering memberikan nasihat, berbagi pengalaman, bahkan membimbing Rian dalam berpikir lebih strategis.

"Kau pintar, Nak," katanya suatu malam ketika mereka berbincang di sel. "Tapi kepintaran saja tidak cukup. Kau harus tahu kapan harus menyerang, kapan harus bertahan. Dunia luar itu permainan catur, dan hanya mereka yang bisa melihat tiga langkah ke depan yang akan bertahan."

Rian mendengarkan dengan seksama.

"Aku pernah seperti dirimu," lanjut Pak Surya. "Sendirian, melawan dunia yang penuh kepalsuan. Aku percaya pada keadilan, tapi ternyata keadilan itu tidak ada jika kau tidak cukup kuat untuk memperjuangkannya."

Rian mengepalkan tangan. Kata-kata itu menusuk ke dalam hatinya.

"Jadi, apa yang Bapak lakukan?"

Pak Surya tersenyum tipis. "Aku bertahan. Dan aku menunggu waktu yang tepat."

Rian terdiam.

Pak Surya menghela napas. "Aku tidak punya anak, Rian. Dan jujur, aku tidak pernah ingin punya. Tapi kalau aku boleh memilih seseorang yang bisa kupanggil anak..." Ia menatap Rian dengan mata penuh makna. "Aku akan memilih seseorang sepertimu."

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hati Rian terasa hangat. Sejak kecil, dia sudah terbiasa sendiri. Yatim piatu sejak bayi, hidup berpindah-pindah dari satu panti asuhan ke panti lainnya. Dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki sosok ayah.

Dan sekarang, di tempat yang seharusnya menjadi neraka, ia justru menemukan seseorang yang memperlakukannya seperti keluarga.

Rian tersenyum kecil. "Kalau begitu... saya juga nggak keberatan punya orang tua seperti Bapak."

Pak Surya terkekeh. "Hati-hati dengan kata-katamu, Nak. Aku bisa saja benar-benar menganggapmu anakku."

Dan sejak saat itu, hubungan mereka bukan lagi sekadar teman sesama napi.

Pak Surya bukan hanya menjadi pelindung Rian, tapi juga mentornya. Orang yang mengajarkannya bagaimana bertahan di dunia yang penuh kebusukan.

Dan bagi Rian, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa tidak benar-benar sendirian.

Bagian 5 – Bebas

Penjara mengubah banyak hal dalam diri seseorang. Setahun berada di dalamnya, Rian belajar mengendalikan kemarahan, menerima takdir, dan berusaha berdamai dengan keadaan. Ia mencoba bersyukur—setidaknya hukumannya hanya dua tahun, bukan lima, sepuluh, atau bahkan seumur hidup.

Namun, hari itu, sebuah kejutan datang.

Pak Surya terlihat sedang menelepon seseorang. Biasanya, lelaki tua itu tidak terlalu peduli dengan dunia luar, tapi kali ini ekspresinya serius. Seolah ada sesuatu yang besar akan terjadi.

Beberapa hari kemudian, seorang tamu datang untuk menemui Rian. Ia bukan sembarang orang—seragamnya, tatapannya yang tajam, serta cara berbicaranya yang tegas menunjukkan bahwa ia adalah seorang petugas kepolisian.

"Rian Pratama?"

Rian menatapnya curiga. "Iya, saya."

"Ikut saya. Atasan saya ingin bertemu denganmu."

Mereka membawanya ke ruang interogasi, tetapi suasananya berbeda. Tidak ada tekanan, tidak ada tuduhan. Hanya seorang perwira polisi dengan sorot mata penuh ketertarikan.

"Aku sudah mempelajari kasusmu, Rian," kata polisi itu, menyilangkan tangan. "Dan ada banyak hal yang tidak masuk akal."

Rian diam, membiarkan pria itu berbicara.

"Bukti-bukti terlalu rapi. Kesaksian para saksi seolah sudah diatur. Semua terlalu sempurna untuk menjeratmu."

Rian mengepalkan tangannya. Ia tahu itu, tapi tanpa bukti, ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Aku ingin menawarkan sesuatu padamu," lanjut polisi itu. "Aku bisa membantumu keluar dari sini. Tapi dengan satu syarat."

Rian menaikkan alisnya. "Apa?"

"Kami butuh seseorang di dalam untuk membantu mengungkap sindikat perdagangan narkoba. Dan orang yang harus kau selidiki adalah Aldo."

Jantung Rian berdetak lebih kencang.

"Aldo?"

Polisi itu mengangguk. "Kami sudah lama mencurigainya. Tapi dia licin. Tidak ada bukti yang cukup untuk menangkapnya."

Rian terdiam.

"Aldo bukan hanya mahasiswa populer," lanjut polisi itu. "Dia anak seorang pejabat korup yang juga musuh politik Pak Surya."

Mata Rian membesar.

"Dia terlibat dalam banyak bisnis gelap—perjudian, narkoba, bahkan perdagangan manusia dengan berkedok tempat hiburan malam."

Rian mengepalkan tinjunya. Dunia memang kejam, tapi tidak pernah ia bayangkan kalau Aldo bisa sejahat ini.

"Kami ingin menangkapnya," kata polisi itu. "Tapi kami butuh seseorang yang bisa masuk ke dalam lingkarannya. Seseorang yang tidak dicurigai."

Rian mulai mengerti arah pembicaraan ini.

"Kau ingin aku masuk ke dalam dunianya," gumamnya.

Polisi itu mengangguk. "Kau bisa menolak. Tapi ini kesempatanmu untuk membersihkan namamu. Bahkan lebih dari itu, ini kesempatan untuk menghancurkan orang yang menjebakmu."

Rian terdiam. Ini bukan tugas mudah. Ini berbahaya. Jika Aldo tahu, dia bisa saja menghilangkan Rian tanpa jejak.

Tapi...

Ini juga satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan.

"Aku terima," katanya akhirnya.

Polisi itu tersenyum tipis. "Kau baru saja memasuki permainan yang jauh lebih besar, Rian. Pastikan kau tidak kalah."

Dan dengan itu, pintu sangkar yang selama ini mengurungnya mulai terbuka. Namun, kebebasan yang menantinya bukanlah kehidupan yang damai—melainkan medan perang yang lebih gelap dan penuh jebakan.

***

Dalam hati, Rian agak tergelitik dengan ucapan polisi tadi. Orang yang tidak akan dicurigai? Justru dialah yang paling mungkin diawasi oleh Aldo. Kalau Aldo benar-benar otak di balik semua ini, tentu dia sudah memperhitungkan kemungkinan Rian mencari pembalasan.

Tapi Rian tidak terlalu memikirkan itu sekarang. Yang terpenting, dia bisa keluar dari tempat ini dulu.

Namun, sebelum pergi, ada satu hal yang harus ia lakukan—berpamitan.

---

Rian berjalan menyusuri blok sel yang selama ini menjadi “rumahnya.” Beberapa narapidana yang dulu memusuhinya, kini menatapnya dengan rasa hormat. Kehidupan di penjara mengubah banyak hal, termasuk status sosial seseorang.

Pak Surya duduk santai di bangkunya, mengisap rokok murah yang entah dari mana asalnya. Begitu melihat Rian, pria tua itu hanya menaikkan alis.

"Kau akhirnya pergi juga," katanya, mengembuskan asap. "Cepat sekali."

Rian tersenyum tipis. "Aku tidak akan lama di luar kalau gagal."

Pak Surya terkekeh, tapi ada sorot bangga di matanya. "Jangan jadi idiot di luar sana, Nak. Kau punya otak, pakailah dengan benar."

"Aku akan berusaha."

Seorang pria berbadan besar dengan bekas luka di wajahnya mendekat—pria yang dulu paling membenci Rian. "Kau bebas, bocah. Jangan biarkan mereka menjebakmu lagi."

Rian menatapnya dan mengangguk. "Aku akan hati-hati."

Beberapa napi lain ikut mengucapkan selamat tinggal. Ada yang sekadar mengangguk, ada yang menepuk pundaknya.

Pak Surya menatapnya lama sebelum akhirnya berkata pelan, "Jangan lupakan siapa yang mengurungmu di sini, Rian. Tapi lebih penting lagi, jangan lupakan siapa dirimu sebenarnya."

Kata-kata itu menggema di kepala Rian saat ia melangkah keluar dari penjara. Untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir, ia menghirup udara kebebasan.

Tapi ia tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Ini baru permulaan dari permainan yang jauh lebih berbahaya.

Bagian 6 – Kembali

Langkah Rian mantap saat memasuki kampus, tapi ia bisa merasakan tatapan-tatapan tajam yang menusuk punggungnya. Bisik-bisik lirih, gumaman tak menyenangkan, dan ekspresi sinis menyambutnya seperti bayangan kelam yang enggan pergi.

"Eh, itu kan si mantan napi..."

"Apa nggak takut ada orang kayak dia di kampus?"

"Katanya dulu pengedar, tapi kok bisa bebas cepet?"

Rian hanya menahan senyum kecil. Omongan mereka tidak mengganggunya sedikit pun. Orang-orang selalu suka gosip, apalagi kalau menyangkut sesuatu yang terdengar skandal. Tapi dia bukan Rian yang dulu. Rian yang sekarang bukanlah pria rapuh yang peduli dengan ocehan murahan.

Dengan tenang, ia berjalan ke kelasnya, melewati kerumunan yang menatapnya seperti hantu di siang bolong. Tidak butuh waktu lama bagi kabar kepulangannya menyebar ke seluruh kampus.

Di tempat lain, Aldo mendengar berita itu dan nyaris menjatuhkan gelasnya.

"Rian bebas?" gumamnya. Ia menatap layar ponselnya dengan wajah serius. Ini tidak masuk akal. Seharusnya pemuda itu masih mendekam di penjara. Tidak ada jalur hukum yang bisa membebaskannya secepat ini, kecuali...

Aldo menyandarkan punggungnya ke kursi, menghela napas dalam.

"Jadi begini permainannya..."

Ia tak boleh gegabah. Jika Rian bebas, itu berarti ada sesuatu yang lebih besar yang terjadi di balik layar. Mungkin polisi mulai bergerak. Mungkin ada sesuatu yang mereka ketahui tapi belum ia pahami.

Untuk pertama kalinya sejak menjebak Rian, Aldo merasa ada ancaman nyata yang mengintainya.

Dan ia benci perasaan itu.

***

Hari-hari pertama Rian di kampus terasa canggung, tapi bukan karena dia merasa terintimidasi. Justru sebaliknya, dia merasa seperti orang asing yang masuk ke dunia lama yang sudah banyak berubah.

Di tengah kesibukannya mengurus jadwal kuliah, seorang staf administrasi memanggilnya saat ia baru saja keluar dari kelas.

"Rian, sebentar," panggil seorang wanita berusia sekitar 40-an dengan kacamata tebal dan senyum ramah. "Ada yang perlu kamu tahu."

Rian menghentikan langkahnya dan mendekat. "Ya, Bu?"

Staf itu menatapnya dengan ragu sejenak, lalu akhirnya berkata, "Sebenarnya, kamu hampir dikeluarkan dari kampus ini. Tapi ada tiga orang yang membantumu tetap terdaftar sebagai mahasiswa."

Rian mengangkat alis. "Tiga orang?"

"Iya." Staf itu menghela napas kecil, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan. "Dina, Vety, dan... seseorang yang bernama Pak Surya."

Mata Rian menyipit. Dina? Vety? Dan Pak Surya?

Dina masih masuk akal. Meskipun hubungan mereka dulu sempat merenggang, Dina adalah orang yang baik. Mungkin ia merasa Rian tidak pantas dihukum dua kali—sudah dipenjara, lalu dikeluarkan dari kampus juga.

Vety? Ini lebih mengejutkan. Rian tahu gadis itu menyukainya, tapi dia tidak menyangka Vety akan menggunakan pengaruh orang tuanya demi membantunya.

Dan yang paling aneh... Pak Surya.

Orang tua itu memang peduli padanya, tapi bagaimana caranya dia bisa ikut campur dalam urusan kampus? Apa dia punya koneksi di luar penjara yang lebih kuat dari dugaan Rian?

"Jadi, karena mereka, kamu tetap bisa kuliah. Tapi kamu harus mengulang beberapa SKS yang tertinggal," lanjut staf tersebut.

Rian mengangguk pelan, pikirannya masih sibuk mencerna informasi baru ini.

Setelah berterima kasih kepada staf itu, Rian berjalan keluar gedung dengan langkah tenang. Tapi di dalam kepalanya, ada satu pertanyaan yang terus berputar:

Apa motif mereka sebenarnya?

***

Rian tahu betul bagaimana cara kampus ini bekerja. Kabar kepulangannya telah menyebar, dan meskipun banyak yang masih memandangnya dengan tatapan penuh gosip, ada juga yang penasaran bagaimana dia bisa bebas lebih cepat.

"Aku dapat remisi," jawabnya singkat setiap kali seseorang bertanya. "Bebas bersyarat."

Jawaban yang sederhana tapi cukup logis untuk menghentikan rasa ingin tahu yang berlebihan.

Tapi di balik semua itu, ada dua sosok yang diam-diam memiliki pergulatan batin tersendiri: Dina dan Vety.

---

Dina tampak berbeda. Bukan hanya karena penampilannya yang lebih dewasa, tapi juga caranya berbicara yang lebih hati-hati. Ia masih tersenyum pada Rian, tapi selalu ada jarak tak kasat mata di antara mereka.

Bukan karena benci. Tapi karena takut.

Dina sudah bersama Aldo selama satu tahun. Awalnya, ia mengira Aldo adalah pasangan yang sempurna—tampan, cerdas, dan punya pengaruh. Tapi semakin lama ia berada di sisinya, semakin banyak hal yang terasa janggal.

Dia sering melihat Aldo bertemu dengan orang-orang yang tidak sesuai dengan citra "mahasiswa teladan" yang selama ini ditampilkan Aldo. Beberapa dari mereka terlihat seperti preman atau pebisnis gelap, dan Dina mulai menyadari bahwa Aldo lebih dari sekadar mahasiswa kaya biasa.

Dia ingin percaya bahwa semua itu tidak ada hubungannya dengan Aldo. Tapi hatinya berkata lain.

Dan kini, Rian telah kembali.

Dina sebenarnya lebih menyukai Rian. Selalu. Tapi jika ia menunjukkan hal itu, ia tahu akibatnya bisa fatal. Kampus ini punya "mata." Apa pun yang ia lakukan akan sampai ke telinga Aldo. Dan Dina tidak ingin Rian dalam bahaya.

Jadi, ia menjaga jarak.

---

Berbeda dengan Dina, Vety tidak berusaha menyembunyikan perasaannya. Walaupun rasa sukanya pada Rian mungkin tak sekuat dulu, ada sesuatu yang lebih besar di hatinya: rasa bersalah.

Vety tahu, meskipun ia tidak terlibat dalam jebakan besar yang menjerumuskan Rian ke penjara, ia tetap berkontribusi dalam membuat Rian dan Dina berpisah.

Dan kini, ia ingin menebus kesalahannya.

Namun, ia tidak bisa melakukannya dengan terang-terangan. Jika ia tiba-tiba menjadi akrab dengan Rian, itu hanya akan menjadikannya target komplotan Aldo. Ia harus lebih cerdik.

Vety pun memilih untuk mengamati dari jauh, mencari celah di mana ia bisa membantu Rian tanpa menarik perhatian orang-orang yang mengawasi.

Dan dalam hatinya, ia berjanji:

Jika ada kesempatan untuk menebus kesalahan, ia tidak akan menyia-nyiakannya.

**"

Setahun cuti kuliah membuat Rian tertinggal jauh dalam akademik. Itu juga berarti dia jarang satu kelas dengan Aldo, Vety, atau bahkan Dina. Tapi anehnya, justru dengan Dina, ia lebih sering bertemu di luar kelas.

Awalnya hanya kebetulan.

Di panti asuhan dekat kampus, Rian sering datang untuk membantu anak-anak di sana. Kebiasaan lama yang tidak berubah. Tapi suatu hari, saat ia sedang mengajar seorang anak kecil membaca, sosok yang familiar muncul di pintu.

Dina.

Rian mengira itu hanya pertemuan tak disengaja. Tapi kemudian, mereka bertemu lagi di perpustakaan. Lalu di taman kampus. Di toko pakan hewan, saat Rian membeli makanan untuk kucing liar yang sering datang ke kosannya. Bahkan di warung dekat tempat Rian bekerja serabutan.

Semakin sering mereka bertemu, semakin sulit bagi mereka untuk menganggapnya hanya kebetulan.

Dan seperti dulu, mereka kembali dekat.

Dina masih seperti yang Rian ingat—baik hati, perhatian, dan selalu punya senyum yang bisa membuat dunia terasa lebih ringan. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya lebih dalam, seolah menyimpan banyak hal yang ingin dikatakan tapi tak bisa diucapkan.

Rian tahu ini berbahaya. Dina masih pacar Aldo. Kampus ini punya mata-mata yang bisa melaporkan gerak-gerik mereka kapan saja. Tapi ketika mereka bersama, semua itu seperti tidak ada artinya.

Setiap pertemuan terasa seperti permainan yang menegangkan, seperti berjalan di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja. Tapi mereka terus melakukannya.

Karena meskipun logika mereka berkata “berhenti,” hati mereka berkata “lanjutkan.”

***

Aldo bukan orang bodoh.

Dia tahu Rian dan Dina sering bertemu. Dia tahu Dina mulai menjauh darinya, meskipun tidak secara terang-terangan. Dan yang paling membuatnya geram, dia tahu bahwa Dina masih memiliki perasaan untuk Rian.

Pilihan ada di tangannya: membiarkan atau menghancurkan.

Secara insting, Aldo ingin menyingkirkan Rian saat itu juga. Tapi dia bukan sekadar preman jalanan yang bertindak tanpa berpikir. Dia tahu, jika dia gegabah, bukan hanya citranya yang hancur—tapi bisnis dan kehidupannya juga bisa berantakan.

Bukan karena takut kehilangan "image baik" di kampus. Itu tidak penting. Semua mahasiswa nakal di kampus sudah tahu siapa dia sebenarnya. Dan bagi yang belum tahu? Mereka hanya pura-pura buta karena tidak ingin bernasib seperti Rian.

Tapi ada satu hal yang masih menjadi tanda tanya besar di benaknya: polisi.

Sampai sekarang, semuanya masih aman terkendali. Tidak ada penyelidikan. Tidak ada pergerakan aneh dari pihak berwenang. Bahkan mata-mata Aldo di kepolisian mengabarkan bahwa situasi masih tenang.

Jadi mengapa dia harus gegabah?

Namun, satu-satunya duri dalam daging, satu-satunya gangguan dalam hidupnya yang sempurna, hanyalah Rian.

Aldo tahu dia harus menyingkirkan Rian—tapi dengan cara yang cerdas. Bukan dengan cara kasar yang akan menarik perhatian yang tidak diinginkan. Dia harus membuat Rian jatuh, bukan dengan pukulan, tapi dengan sesuatu yang lebih menyakitkan.

Sesuatu yang akan membuat Rian hancur tanpa perlu menyentuhnya.

***

Dina semakin tenggelam dalam perasaannya terhadap Rian. Setiap kebetulan yang mempertemukan mereka terasa seperti takdir yang menertawakan pilihannya. Hatinya terbelah antara Aldo—laki-laki yang memberikan stabilitas, kemewahan, dan ketidakpastian yang samar—dan Rian, yang baginya seperti api kecil yang lambat laun menjadi kobaran yang menghanguskan keraguannya.

Namun, berbeda dengan Dina yang larut dalam romansa yang berbahaya, Rian tetap waspada.

Sebelum bebas, ia sudah di-briefing mengenai misinya. Dia memahami resikonya. Dia tahu bahwa permainan ini tidak sekadar soal membalas dendam atau membersihkan namanya. Ini adalah pertarungan di mana taruhannya adalah nyawa.

Rian telah dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan.

Dia memiliki kontak darurat—nomor yang bisa dihubungi kapan saja jika keadaan mendesak. Petugas yang memantaunya mungkin tidak tampak di permukaan, tetapi mereka ada di sana, mengawasi dari kejauhan. Di sakunya, sebuah perangkat pelacak selalu terselip, begitu pula dalam tasnya. Bahkan ponselnya telah diamankan dan disadap—bukan oleh musuh, tetapi oleh pihak yang ingin melindunginya.

Namun, perlindungan terbaik yang ia miliki bukanlah alat atau pengawasan petugas, melainkan pikirannya sendiri.

Rian bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa setiap langkahnya diawasi, bukan hanya oleh polisi, tetapi juga oleh Aldo.

Dan di tengah badai yang semakin mendekat, ada satu suara samar yang datang dari bayang-bayang: Vety.

Tanpa menampakkan dirinya secara langsung, Vety menghubungi Rian dengan cara yang paling aman yang bisa ia pikirkan. Pesan-pesan anonim, dikirim dari nomor tak dikenal, berisi petunjuk tentang pergerakan mencurigakan dari Aldo dan orang-orangnya.

Meski tanpa nama, Rian tidak perlu bertanya siapa pengirimnya.

Gaya bahasa itu terlalu familiar. Terlalu khas.

Vety.

Dan Rian, dengan kecerdasannya, memahami alasan mengapa Vety memilih untuk tetap berada dalam kegelapan. Jika dia menunjukkan keakrabannya dengan Rian secara terbuka, maka bukan hanya Rian yang akan menjadi target Aldo—tetapi juga dirinya.

Maka, mereka berkomunikasi dalam senyap, dalam bayang-bayang, dalam bahasa yang hanya mereka berdua pahami.

Ini bukan sekadar permainan kucing dan tikus.

Ini adalah perang yang belum diumumkan.

***

Dina akhirnya memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Malam itu, di sebuah restoran yang sepi, dengan suara gemetar namun penuh tekad, ia mengucapkan kalimat yang membakar sumbu pendek Aldo.

"Kita sudahi saja, Aldo."

Sejenak, ruangan terasa sunyi. Wajah Aldo tetap tenang, tetapi matanya berubah. Dingin. Menyimpan badai yang siap meledak kapan saja.

Putus? Dia? Diputuskan oleh seorang wanita?

Harga dirinya berteriak marah. Ini bukan sekadar soal kehilangan Dina—karena sejujurnya, Aldo sudah lama bosan dengannya. Dina terlalu kaku, terlalu sulit didekati, dan terlalu menjaga batas. Jika bukan karena citranya, ia sudah bisa memaksa Dina untuk tunduk padanya.

Tapi bagi Aldo, permainan ini harus berakhir di tangannya.

Baginya, hanya dia yang boleh mengakhiri sesuatu. Bukan wanita. Bukan Dina.

Dan yang paling bersalah? Rian.

Karena bagi Aldo, tidak mungkin Dina berani mengambil keputusan ini tanpa pengaruh orang lain. Dan siapa lagi kalau bukan kerikil kecil yang terus mengganggunya sejak awal?

Rian harus lenyap.

Dan kali ini, Aldo tidak akan menahan diri.

Tak ada lagi citra yang perlu dijaga. Tak ada lagi ketakutan pada polisi. Semuanya harus dihancurkan.

Maka, keesokan paginya, teror itu dimulai.

***

Pagi itu, kampus gempar.

Beberapa kucing ditemukan mati mengenaskan di sekitar area kampus. Ada yang tergantung di pohon, ada yang tubuhnya rusak parah. Kejadian ini bukan sekadar kebrutalan biasa—ini adalah pesan.

Di perpustakaan, buku-buku berantakan. Seolah seseorang dengan sengaja merusak sistem yang tertata rapi.

Namun yang paling mengkhawatirkan adalah teror di panti asuhan.

Pintu gerbang panti ditemukan dicoret dengan kata-kata ancaman. Beberapa kaca jendela dilempari batu di tengah malam. Anak-anak ketakutan. Pengurus panti cemas.

Semuanya terasa terlalu kebetulan.

Dan Rian? Dia tahu ini bukan kebetulan.

Ini adalah peringatan.

Ini adalah perang terbuka.

Namun, untungnya, ada satu hal yang masih menjadi benteng terakhirnya:

Rumah kos Rian tidak berada dalam wilayah kekuasaan Aldo.

Dia tinggal di tengah kampung yang religius, di mana warga saling menjaga, di mana keamanan bukan hanya tugas aparat, tetapi juga bagian dari budaya.

Kelompok Aldo mungkin berani meneror kampus, perpustakaan, bahkan panti asuhan.

Tapi mereka belum cukup gila untuk mencari masalah di kampung ini.

Untuk saat ini, Rian masih memiliki tempat yang aman.

Namun, dia tahu…

Aldo tidak akan berhenti di sini.

***

Rian sebenarnya sudah tahu apa yang akan terjadi malam itu.

Pesan singkat dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya beberapa jam sebelumnya.

"Aldo bergerak malam ini. Perpustakaan, panti, dan area sekitar kampus. Hati-hati."

Rian tidak perlu bertanya siapa pengirimnya.

Ia mengenal gaya bahasa itu. Vety.

Sejak kebebasannya, Vety kerap mengirimkan informasi tentang pergerakan Aldo. Tak pernah terang-terangan. Selalu samar, selalu berhati-hati.

Dan malam itu, ketika Rian melihat beberapa orang mencurigakan berkumpul di sudut kampus, hasratnya untuk bergerak mulai membara.

Namun saat tangannya mengetik laporan ke nomor darurat, jawaban yang ia terima justru berbeda dari yang ia harapkan.

"Tahan diri. Jangan bertindak. Awasi dari jauh. Kumpulkan bukti."

Bukan karena polisi tak peduli.

Tapi menangkap anak buah Aldo tidak akan menyelesaikan masalah.

Selama tidak ada bukti kuat yang menghubungkan Aldo secara langsung, dia akan selalu lolos. Dia akan terus bermain di balik bayang-bayang.

Dan lebih buruk lagi, jika Aldo merasa terancam, dia bisa menghilangkan semua jejak dan menarik diri.

Polisi tidak mau itu terjadi.

Mereka butuh bukti konkret.

Mereka butuh Rian untuk mengawasi.

Maka, dengan gigi terkatup dan tangan mengepal, Rian hanya bisa menyaksikan dari jauh.

Menahan diri.

Mengamati.

Menyimpan amarahnya untuk saat yang tepat.

Bagian 7 – Bantuan Tak Terduga

Di dalam penjara yang suram, Pak Surya, seorang pria tua dengan wajah berkarisma, duduk di pojokan selnya. Tangan tuanya menggenggam ponsel yang seharusnya tak ia miliki.

Suasana sekelilingnya riuh rendah dengan suara napi lain yang bercanda atau berbincang, tetapi Pak Surya tak peduli.

Ia sedang berbicara dengan seseorang.

Dan dia marah.

"Saya meminta kamu untuk membantunya bebas dari kasus ini, bukan malah menjadikannya umpan mafia!" suara Pak Surya terdengar tajam.

Di seberang telepon, suara seorang pria terdengar penuh penyesalan.

"Maaf, Pak. Tapi hanya dengan cara ini kita bisa mendekati dan mencari kelemahan kelompok itu."

Pak Surya mendengus. Ia tahu dunia ini kejam.

Tapi mengorbankan anak muda yang bahkan belum berumur 25 tahun? Itu bukan cara yang bisa diterimanya.

Suara tuanya terdengar lebih berat kali ini.

"Sekarang juga, kirim orang untuk menjaga Rian. Berapapun biayanya, saya yang tanggung!"

Ada keheningan di ujung telepon sebelum akhirnya suara itu berkata,

"Baik, Pak."

Pak Surya menutup telepon. Mata tuanya menatap kosong ke dinding penjara.

Ia tahu Rian kuat.

Tapi dalam permainan ini, kadang kekuatan saja tidak cukup.

**"

Vety selalu punya cara.

Jika ada satu hal yang membedakannya dari yang lain, itu adalah kecerdikannya.

Ia tidak seceroboh Dina yang terbawa perasaan. Tidak segigih Rian yang selalu menghadapi bahaya secara langsung. Ia bermain di balik layar.

Dan kali ini, taruhannya nyawa.

Aldo harus diawasi.

Vety sudah cukup lama memerhatikan kebiasaannya, pola pergerakannya, juga tempat-tempat yang selalu ia datangi.

Jadi, ia pun menyusun rencana.

Di saat Aldo lengah—entah itu ketika ia sedang sibuk dengan urusan kampus atau larut dalam egonya sendiri di dunia malam—Vety bergerak.

Satu penyadap ia letakkan di mobil Aldo.

Dengan dalih meminjam mobilnya sebentar untuk alasan sepele, ia menempelkan alat kecil itu di bagian tersembunyi di bawah dashboard.

Satu lagi di ruang pribadinya di diskotik.

Vety tahu Aldo punya markas kecil di sana, tempat di mana ia merasa cukup aman untuk berbicara tanpa sensor.

Dan satu lagi…

Di kantong jas Aldo.

Yang ini butuh keberanian ekstra, tapi Vety cukup nekat untuk melakukannya.

Ia tahu risiko ini besar. Jika Aldo menyadarinya, ia bisa celaka.

Tapi jika ini berhasil…

Aldo tidak akan bisa bersembunyi lagi.

**"

Vety menahan napas.

Suara di dalam penyadap yang ia pantau membuatnya membeku.

Aldo… mempertaruhkan Dina?

Untuknya, ini tidak masuk akal.

Aldo boleh saja seorang pengedar barang haram, boleh saja seorang pemimpin kelompok kriminal, tapi menjadikan seseorang sebagai taruhan?

Itu keterlaluan.

Dan yang lebih parah—Aldo kalah.

Vety langsung menyimpan rekaman itu dengan hati-hati ke dalam laptop pribadinya.

Ini bukan sekadar bukti.

Ini nyawa.

Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh…

Masalah baru muncul.

"Bos! Ada alat aneh di mobil!"

Terdengar suara keras dari salah satu anak buah Aldo.

Vety membelalak.

Sial.

Salah satu penyadapnya ketahuan.

Dan ia tahu Aldo bukan orang bodoh.

"Siapa yang berani pasang ini?"

Terdengar suara Aldo, dingin dan penuh kemarahan.

Lalu hening sejenak.

"Vety. Ini pasti Vety."

Sial.

Tanpa membuang waktu, Vety segera meraih ponselnya.

Tangannya gemetar.

Ia tahu, begitu Aldo menyadari ia telah berkhianat, nyawanya tidak akan aman.

Ia harus pergi. Sekarang.

Tapi sebelum itu…

Pesan darurat dikirim ke satu-satunya orang yang bisa ia percaya.

Rian.

**"

Rian membaca pesan itu dengan jantung berdegup kencang.

"Dina dalam bahaya, mereka menemukan penyadapku, aku harus bersembunyi."

Sial!

Tanpa ragu, ia segera menghubungi nomor darurat.

Tuut… tuut… klik.

"Jangan gegabah. Kami akan meng—"

Tapi Rian sudah menutup teleponnya.

Tak ada waktu untuk menunggu.

Dengan sekali hentakan, Rian menyalakan motornya.

Mesin menderu, dan tanpa pikir panjang, ia tancap gas.

Hanya satu tujuan di pikirannya:

Dina.

Dina dalam bahaya.

Dan ia harus menemukannya duluan.

***

Rian tiba di kampus dengan nafas memburu.

Matanya segera menyapu sekitar. Tapi Dina tak terlihat.

Ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.

Jantungnya mencelos.

Ia mengangkat dengan cepat.

"Rian…"

Suara di seberang terdengar putus-putus, panik. Vety.

"Mereka menangkapku… Dina juga diculik… Aku… aku nggak tahu aku di mana…"

Sial!

"Sabar, Vety! Lo di mana sekarang? Ada petunjuk apa di sekitar lo?"

Suara napas tertahan terdengar di ujung telepon.

"Rian… gua nggak yakin bisa selamat. Tapi gua simpan semua bukti di laptop gua. Cari di—"

Terdengar suara benturan keras.

Lalu sambungan terputus.

Rian merasakan amarah dan ketakutan bercampur jadi satu.

Dina diculik.
Vety tertangkap.

Dan Aldo…

Aldo baru saja menyatakan perang.

***

Rian menerobos masuk.

Musik hingar-bingar yang biasa memenuhi tempat ini lenyap. Digantikan oleh keheningan mencekam.

Diskotik Aldo tidak menerima tamu malam ini.

Hanya ada preman-preman bertampang garang yang berdiri berjaga, mata mereka menatap tajam ke arahnya. Sebuah jebakan.

Tapi Rian tidak peduli.

Dari sejak Vety mengirim pesan darurat, dia tahu ini akan berakhir dengan kekerasan.

Lima preman besar langsung menghadangnya di pintu masuk.

"Mundur kalau masih mau selamat," salah satu dari mereka mengancam.

Rian tersenyum miring.

"Salah satu dari kita memang nggak akan selamat."

Tanpa aba-aba, pertarungan pun dimulai.

Rian bergerak cepat.

Tangannya menyambar kursi kayu di dekat pintu dan menghantamnya ke arah kepala preman pertama.

Brak!

Satu tumbang.

Dua preman lain langsung menyerang bersamaan. Salah.

Rian merunduk, menghindari pukulan pertama, lalu memutar tubuhnya dan menghantamkan sikunya ke ulu hati lawan.

Yang satu lagi?

Sepatu bot Rian melayang ke rahangnya.

Dua tumbang.

Tersisa tiga preman. Mereka mulai ragu.

Tapi Rian tidak memberi mereka kesempatan berpikir.

Dia menerjang ke depan, menghantam hidung salah satu preman dengan lututnya.

Preman itu berteriak kesakitan, darah mengucur.

Dua lainnya mencoba mundur.

Rian menyambar botol kaca dari meja, memecahkannya di lantai, lalu mengarahkannya ke mereka.

Ancaman diam-diam.

Keduanya ketakutan.

Mereka melarikan diri.

Rian berdiri di tengah ruangan.

Darah dan kaca berserakan. Nafasnya memburu.

Tapi ini baru pemanasan.

Aldo pasti menunggu di dalam.

Dan di sanalah Dina berada.

***

Rian baru saja menyadari jebakan sebenarnya.

Preman-preman di luar hanyalah pemanasan.

Begitu dia masuk lebih dalam ke diskotik, gerombolan preman keluar dari tempat persembunyian mereka.

Sepuluh. Lima belas. Mungkin lebih.

Mereka tertawa mengejek.

“Kalian butuh sebanyak ini cuma buat ngelawan satu orang?” Rian mencibir, meski dia tahu kondisinya genting.

Salah satu preman menanggapi, “Satu Rian, satu kota bisa berantakan. Lebih baik berlebihan daripada menyesal.”

Pertarungan tak imbang pun dimulai.

Dari berbagai arah, tinju dan tendangan berhamburan.

Rian menghindar sebisanya, sesekali melancarkan serangan balasan.

Siku menyasar rahang lawan.

Lutut menghantam perut mereka.

Beberapa tumbang, tapi jumlah mereka terlalu banyak.

Satu pukulan lolos.

Dada Rian dihantam keras.

Dia terhuyung, tapi tidak boleh jatuh.

Dengan sekuat tenaga, dia menahan rasa sakit dan terus maju.

Lantai atas.

Di sanalah Aldo berada.

Di sanalah Dina ditahan.

Rian menghantam meja sebagai penghalang, lalu berlari ke arah tangga darurat.

Tapi mereka tidak membiarkannya pergi begitu saja.

Sebuah botol melayang.

Rian menunduk tepat waktu.

Tapi pisau menyusul.

Ujungnya menggores bahu Rian.

Darah merembes di bajunya.

Dia mendesah kasar.

Bukan masalah. Selama dia masih bisa berdiri, dia masih bisa bertarung.

Rian berlari, memanfaatkan gelapnya lorong.

Dia tidak perlu menang.

Dia hanya perlu bertahan cukup lama untuk sampai ke Aldo.

Dan saat itu terjadi…

Segalanya akan berubah.

***

Rian terpojok.

Keringat bercucuran.

Lawan terlalu banyak, dan ruang untuk bergerak semakin sempit.

Jika dia lengah sedikit saja, semuanya selesai.

Namun tiba-tiba…

BRAAK!

Suara gaduh dari lantai bawah!

Teriakan dan suara benda pecah menggema di seluruh diskotik.

Baku hantam baru dimulai.

Tapi bukan lagi Rian yang dikeroyok.

Kelompok preman lain tiba-tiba menyerbu masuk.

Mereka membantai anak buah Aldo tanpa ampun.

Tinju, tendangan, pukulan keras, semuanya bercampur menjadi kekacauan total.

Para preman Aldo kewalahan.

Jumlah mereka jauh lebih sedikit.

Dan kini, Rian punya kesempatan.

Dengan sisa tenaga, Rian kembali menyerang.

Dia menjatuhkan lawan terdekat dengan gerakan cepat.

Grep!

Satu orang dikunci lehernya, dibanting ke meja.

Brakk!

Pemukul baseball yang tergeletak di lantai langsung dia ambil.

Tanpa ragu, dia mengayunkannya.

Braak!

Satu preman jatuh mengerang kesakitan.

Tapi Rian tetap menahan diri.

Tujuannya bukan membunuh.

Dia hanya perlu melumpuhkan mereka.

Aldo.

Dina.

Vety.

Mereka masih di atas.

Rian menghela napas.

Tulang-tulangnya nyeri.

Ototnya menegang.

Tapi dia tidak akan berhenti.

Bantuannya sudah datang.

Sekarang, saatnya menuju lantai atas dan mengakhiri ini semua.

***

Rian menendang pintu terakhir di lantai atas.

Kosong.

Tidak ada Aldo. Tidak ada Dina. Tidak ada Vety.

Hanya ruangan berantakan dengan sofa mahal dan meja penuh botol alkohol.

Di bawah, preman-preman Aldo sudah dilumpuhkan.

Sebagian menderita patah tulang.

Sebagian lagi mengerang kesakitan di lantai.

Dan yang tersisa? Ditangkap.

Bantuan misterius yang datang ternyata orang-orang bayaran Pak Surya.

Sebagian dari mereka adalah intel yang menyamar.

"Kami harus menyamar," jelas salah satu intel.
"Kalau tidak, anak buah Aldo pasti sudah membakar semua barang bukti."

Benar saja, saat polisi menggeledah tempat itu…

Barang bukti bertumpuk.

Obat-obatan terlarang.
Senjata ilegal.
Uang hasil bisnis kotor.

Tapi Aldo masih belum tertangkap.

Dan bukti kepemilikan diskotik masih samar.

Rian tidak peduli.

Dina dan Vety adalah prioritasnya.

Salah satu preman yang tertangkap akhirnya buka mulut setelah diancam.
"Dua cewek itu… Aldo bawa ke villanya… di luar kota…"

Alamatnya? Dia tidak tahu.

Tapi polisi langsung bergerak melacaknya.

Begitu lokasi villa diketahui…

Rian tidak menunggu polisi.

Dia langsung tancap gas menuju villa Aldo.

Dengan kemarahan yang membara…

Dan tekad untuk menyelamatkan teman-temannya.

***

Rian tidak butuh peta.

Dia sudah tahu ke mana harus pergi.

Berkat pesan rahasia Vety, dia sudah mempelajari tempat-tempat yang sering dikunjungi Aldo.

Salah satunya? Villa pribadi di luar kota.

Tanpa ragu, Rian memacu motornya.

Gas dipelintir penuh.

Angin malam menampar wajahnya.

Jalanan yang sepi menjadi saksi ketegangan dalam dadanya.

Dina dalam bahaya.
Vety mungkin terluka.
Dan Aldo harus dihentikan.

Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai redup.

Pepohonan lebat dan jalanan berkelok menyambutnya.

Villa itu semakin dekat.

Rian mengencangkan pegangan pada setang.

Apa pun yang menunggunya di sana…

Dia sudah siap.

***

Aldo baru saja menuangkan segelas wine ketika ponselnya berdering.

Nomor yang muncul di layar bukan pertanda baik.

"Bos, kita kena sergap!"

Suara panik dari anak buahnya di kota membuat Aldo langsung tegang.

"Diskotik habis! Barang-barang ditemukan! Banyak yang kena tangkap!"

Gelas wine di tangannya nyaris jatuh.

Sial!

Ini bukan sekadar razia biasa.

Polisi sudah mengendus terlalu dalam.

Tanpa pikir panjang, Aldo langsung merancang pelarian.

Keluar dari kota.

Bawa sandera.

Pergi sejauh mungkin.

"Siapkan pesawat pribadi."

Perintahnya dingin.

"Aku harus keluar negeri secepatnya."

Dia melihat ke arah Dina dan Vety yang terikat di sudut ruangan.

Mereka berdua masih sadar, tapi wajah mereka dipenuhi ketakutan.

Aldo hanya menyeringai.

Semuanya sudah dalam kendalinya.

Atau… setidaknya begitu pikirnya.

***

Aldo baru saja melangkah ke mobil ketika suara deru mesin terdengar dari kejauhan.

BROOOOM!!!

Sebuah motor melaju kencang, lalu meluncur miring di jalan berkerikil.

Ban belakangnya berdecit keras, meninggalkan bekas gesekan di aspal.

Detik berikutnya, motor itu terjatuh—bukan karena kecelakaan, tapi sengaja!

BRAAAK!!!

Motor itu tergelincir dengan presisi, melintang di jalan, menghalangi mobil Aldo.

Semua terdiam.

Sosok pemuda itu dengan gesit berdiri, tubuhnya seimbang sempurna.

Di tangannya, tongkat baseball berayun perlahan.

Rian.

Seorang diri.

Menantang gerombolan bersenjata.

Vety yang terikat langsung berteriak, “Mengapa ke sini sendiri, bodoh?!”

Dina panik, “Rian, jangan kemari! Mereka bersenjata!”

Aldo menatap pemandangan itu dengan senyum sinis.

Lalu tertawa kecil.

"Hahaha… sungguh nekat."

Dia menoleh ke anak buahnya.

"Bereskan dia."

Mereka maju.

Rian mengencangkan genggaman di tongkatnya.

Siap bertarung.

***

Suasana tegang.

Malam itu seolah berhenti, seiring Rian yang berdiri di tengah jalan, menghadapi musuh yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia temui sebelumnya. Empat pengawal Aldo, serigala jalanan, bukan orang sembarangan. Di belakang mereka, Aldo yang tampak tenang mengawasi, berharap melihat Rian hancur dalam sekejap.

Pengawal pertama berlari ke arah Rian dengan senjata tajam di tangan, belati bercahaya di bawah sinar bulan. Rian hanya tersenyum samar. Tanpa ragu, tongkat baseball yang ada di tangannya meluncur cepat menangkis belati itu. Dengan gerakan yang tak terduga, Rian memutar tongkatnya dan menabrak perut pengawal pertama.

KRAK!

Satu pukulan keras membuat pengawal pertama itu terhuyung mundur, nafasnya tercekat. Sebelum dia bisa bereaksi, Rian memutar tubuh dan menyambar wajahnya dengan tongkat yang dilapisi dengan kekuatan bantingan. Hasilnya, pengawal pertama jatuh, terkulai tak bergerak di atas tanah.

Namun, belum selesai. Dua pengawal lagi sudah siap menyerbu. Rian harus bertindak cepat. Pengawal kedua, seorang pria tinggi besar dengan bekas luka mengerikan di wajahnya, melompat ke depan, menyabetkan pisau ke arah Rian. Dengan kecepatan luar biasa, Rian melompat mundur dan dengan gerakan liar memutar tongkat baseballnya, memblokir serangan pisau yang menghujam ke arahnya.

CREEK!

Tongkat Rian menghantam lengan pengawal kedua, meremukkan sendi dan memaksa pengawal itu untuk melepaskan pisau. Namun, Rian tak memberi waktu untuk bernafas. Dia menendang keras ke arah dada pengawal kedua yang kehilangan keseimbangan, membuat tubuhnya terhempas ke tanah dengan keras. Pengawal kedua tumbang, tak bisa bangkit lagi.

Tapi, pertarungan belum selesai.

Pengawal ketiga, seorang mantan tentara, berdiri tegap dengan ekspresi dingin. Dia sudah mengeluarkan senjata api, memandangi Rian dari jarak dekat, siap melepaskan tembakan. Rian menyadari bahaya itu dan dengan cepat menunduk, menghindari tembakan yang melesat.

DORRR!

Peluru itu melayang ke atas, melewati kepala Rian, hampir mengoyak rambutnya. Dengan tubuh yang masih rendah, Rian segera bergerak, menyambar tongkatnya dan menyerang lengan pengawal ketiga. Tangan pengawal itu terpelintir, senjata api yang tadi dipegang terlempar. Rian memanfaatkan celah itu, menghantamkan tongkat baseball ke tenggorokan pengawal ketiga. Dalam hitungan detik, pengawal itu terkulai, tak mampu bernapas lagi.

Tinggal satu musuh.

Pengawal terakhir adalah ahli beladiri yang dikenal keahliannya dalam perkelahian jarak dekat. Wajahnya tenang dan penuh perhitungan, matanya menilai setiap gerakan Rian dengan cermat. Dia tahu Rian tak bisa diserang sembarangan, tetapi dia juga tidak gentar.

Mereka berdua saling berhadapan dalam diam. Tangan pengawal itu terbuka, siap menghantam, sementara Rian memegang tongkat dengan teguh.

Pengawal itu menyerang lebih dulu, gerakannya seperti gelombang laut yang datang cepat dan tidak terduga. Tangannya bergerak seperti pahlawan dalam legenda, memukul dan menendang Rian bertubi-tubi. Namun, Rian tak hanya menghindar, dia membaca gerakan lawan dengan cepat dan dengan keahlian bertahan yang sudah terbentuk, Rian berhasil menghentikan serangan-serangan tersebut.

“Jangan anggap remeh aku,” kata Rian dalam hati, sambil memutar tubuhnya dan menggunakan tongkat untuk menahan tendangan lawannya.

Setiap gerakan seperti tarung bintang di arena, dimana setiap pukulan dan tendangan memiliki makna mendalam. Dengan sedikit perhitungan, Rian menahan serangan terakhir pengawal itu, dan dengan gerakan yang lebih tajam, meluncurkan serangan balik. Tongkat baseball itu menerjang pergelangan tangan pengawal, menyebabkan lawannya terjerembab.

“KRAK!”

Dengan serangan terakhir, tubuh pengawal itu jatuh ke tanah, kehilangan kesadaran, dan gagal melawan Rian yang berdiri di atasnya.

Semua musuh terjatuh.

Rian berdiri, tubuhnya lelah dan berdarah, namun matanya penuh tekad. Hanya satu musuh yang tersisa.

Aldo.

***

DOR!

Tembakan memecah malam, suara ledakannya bergema di antara pepohonan.

Tubuh Rian terhuyung. Seperti dihantam palu raksasa, ia terhempas ke belakang, dadanya terasa remuk. Nafasnya tercekik, matanya membelalak dalam keterkejutan. Dalam sepersekian detik, dunia terasa melambat.

“Tidak!!!”

Dina dan Vety menjerit, berlari tanpa memikirkan keselamatan mereka. Jantung mereka berdebar kencang, darah seakan membeku dalam tubuh mereka. Rian jatuh! Itu kenyataan yang sulit diterima.

Aldo berdiri terpaku, tangannya masih menggenggam pistol berasap. Napasnya memburu, tangannya sedikit bergetar. Dia tidak menyangka akan benar-benar menembak. Itu bukan bagian dari rencananya—tidak seharusnya sampai seperti ini.

Namun, rasa penyesalan itu hanya sesaat. Sirene polisi mulai terdengar di kejauhan.

Panik.

Aldo segera tersadar. Dia tak bisa membuang waktu. Dengan gerakan cepat, dia meraih kunci dan berlari ke mobilnya. Pikirannya hanya satu: kabur sebelum terlambat!

Tanpa ragu, dia menginjak pedal gas, berniat menerobos keluar. Namun, ada satu masalah. Motor Rian masih melintang di jalan.

"Sialan!" Aldo mengumpat.

Dia menatap motor itu dengan tatapan buas. Tak ada waktu untuk memindahkannya. Keputusan cepat diambil. Tabrak saja!

Dia menekan gas dalam-dalam. Mesin meraung, roda belakang berputar liar, mencabik aspal sebelum melesat maju.

Namun, di saat genting itu—

"DINA, AWAS!"

Sebuah bayangan tiba-tiba bangkit dari tanah.

Rian.

Dari keterpurukannya, dari ambang kematian, dia bangun.

Gerakannya cepat, naluriah, dan tanpa ragu. Tangannya menyambar pergelangan Dina, menariknya keras ke pinggir jalan.

WUSSHHH!!!

Angin dari mobil yang melesat nyaris menyapu mereka. Dina terguling bersama Rian ke tanah.

Untuk sekejap, waktu terasa berhenti. Dina terengah-engah, dadanya naik turun, matanya menatap Rian dengan keterkejutan. Rian masih hidup?!

"Kau... bagaimana bisa?!"

Rian tersenyum samar, meskipun nafasnya masih tersengal. Di balik bajunya, sesuatu berkilat.

Rompi anti peluru.

Baru saat itu Dina dan Vety sadar. Tembakan Aldo tidak menembus tubuhnya. Dia hanya terkejut oleh dampaknya.

Namun, tidak ada waktu untuk perayaan.

Mobil Aldo melaju kencang, siap menghantam motor Rian.

Di kepalanya, Aldo berpikir sederhana: "Motor itu akan terpental. Jalan akan terbuka. Aku akan lolos!"

Tapi dia salah.

Motor Rian adalah model sport berat, lebih stabil dari yang Aldo duga. Lebih buruk lagi, dalam paniknya, Aldo salah menempatkan roda.

Saat bemper depan mobilnya menghantam motor, bukannya terdorong, motor itu tetap kokoh di tempatnya.

Dan akibatnya—

BAM!!!

Bagian depan mobil terangkat.

Kecepatan tinggi dan sudut benturan yang salah membuat mobil Aldo kehilangan keseimbangan. Ban belakang terangkat dari tanah, momentum mendorong tubuh mobil untuk terjungkir.

"TIDAK!!!"

Aldo hanya bisa membelalak dalam ketakutan, tangannya refleks mencoba mengendalikan setir, tapi sudah terlambat.

Mobilnya terpelanting di udara dalam gerakan lambat yang mengerikan.

KRAK!

Besi melengkung, kaca depan pecah, dan tubuh Aldo terbanting keras ke dalam dashboard.

BUKKK!

Hantaman terakhir.

Mobil mendarat terbalik dengan suara menggelegar. Asap mulai mengepul, kaca pecah berserakan di tanah.

Hening.

Sirene polisi semakin dekat, memecah keheningan.

Dina, Vety, dan Rian menatap mobil itu dalam diam. Dari balik kaca yang retak, Aldo terlihat terkapar di dalamnya.

Darah merembes di dahinya, kepalanya terkulai di atas setir. Napasnya tersengal, tubuhnya nyaris tak bergerak.

Tak ada lagi jalan keluar.

Aldo yang selama ini berkuasa di dunia gelap, yang selalu percaya bahwa dirinya tak terkalahkan, kini terjerembab di ambang kejatuhan.

Akhir dari pengejaran telah tiba.

Bagian 8 – Déjà Vu

Kampus riuh. Nama Aldo memenuhi setiap sudut pembicaraan.

Dari kantin hingga lorong kelas, dari grup WhatsApp hingga unggahan media sosial, semua orang membahas kejatuhan sang penguasa dunia malam.

Sebagian yang mengenalnya tidak terlalu terkejut—mereka memang sudah lama curiga kalau Aldo lebih dari sekadar mahasiswa kaya yang doyan pesta. Namun, bagi yang baru tahu, ini seperti kisah kriminal dari film yang terjadi di dunia nyata.

Di tengah hingar-bingar itu, Rian akhirnya bisa bernapas lega.

Setelah sekian lama hidup dalam tuduhan dan fitnah, namanya kini bersih. Bukti-bukti yang ditemukan polisi, serta kesaksian para korban, telah mengungkap semuanya. Rian bukan kriminal, dia justru pahlawan dalam cerita ini.

Namun, bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.

Di bangku taman kampus, di bawah pohon rindang yang sering jadi tempat mahasiswa bersantai, Dina duduk termenung.

Matanya menatap kosong ke tanah, tapi pikirannya melayang ke malam itu—saat dirinya nyaris tertabrak mobil Aldo.

Rian menariknya, menyelamatkannya, dengan cara yang sama seperti yang pernah terjadi dua tahun lalu.

Déjà vu.

Detik itu, dia yakin.

"Jadi... orang yang menyelamatkanku dulu itu..." bisiknya pelan.

Jantungnya berdebar. Semua kepingan yang selama ini membingungkan kini mulai menyatu. Itu memang Rian.

Dia mengingat kembali perasaannya malam itu. Rasa takut, keterkejutan, dan... rasa aman.

Sementara itu, tak jauh dari sana, Vety mengamati mereka dari kejauhan.

Drama ini benar-benar membuat hatinya campur aduk.

Di satu sisi, dia kesal—jelas sekali ke mana arah hubungan Rian dan Dina setelah ini. Tapi di sisi lain, dia juga lega.

Rian selamat.

Nama baiknya kembali.

Dan meskipun Vety merasa sedikit tertinggal dalam cerita ini, dia tahu satu hal pasti: perjalanan mereka belum berakhir.

Bagian 9 – Kejatuhan Keluarga Aldo

Kasus Aldo bukan sekadar mengguncang kampus—gelombangnya lebih besar dari yang diduga.

Ketika polisi menggali lebih dalam, mereka menemukan bahwa bukan hanya Aldo yang kotor, tetapi juga keluarganya.

Nama besar ayah Aldo, seorang pengusaha berpengaruh sekaligus tokoh politik, kini terseret dalam skandal memalukan. Bukan hanya karena keterlibatan Aldo dalam bisnis ilegal, tetapi karena jejak kelam yang selama ini tertutupi oleh kekuasaan dan uang.

Lalu, fakta mengejutkan terungkap.

Fitnah yang pernah menghancurkan hidup Pak Surya—sosok yang telah dianggap banyak orang sebagai narapidana tua yang terlupakan—ternyata berasal dari ayah Aldo sendiri.

Dulu, Pak Surya difitnah sebagai pelaku korupsi dalam sebuah proyek besar yang melibatkan banyak uang. Bukti-bukti palsu disusun rapi, saksi-saksi dibungkam, dan opini publik dikendalikan. Semua itu hanya untuk menjatuhkan seorang pria jujur—dan membuka jalan bagi ayah Aldo untuk mengambil alih proyek tersebut.

Kini, dengan semua bukti yang terungkap, kebenaran tak bisa lagi disembunyikan.

Reputasi ayah Aldo hancur dalam semalam.

Perusahaannya ditinggalkan investor, proyek-proyeknya dihentikan, dan ia menghadapi serangkaian tuntutan hukum yang menumpuk seperti badai yang tak terhindarkan.

Kekayaan yang dulu menjadikannya untouchable kini lenyap satu per satu.

Dia bangkrut.

Sementara itu, Pak Surya akhirnya bisa menghirup udara kebebasan setelah sekian lama.

Meski bertahun-tahun hidupnya telah dicuri oleh fitnah, dia keluar dengan kepala tegak. Nama baiknya pulih, dan dunia akhirnya tahu kebenarannya.

Sementara keluarga Aldo tenggelam dalam kehancuran, keluarga Pak Surya mendapatkan keadilan yang selama ini mereka perjuangkan.

**END**

EPILOG – Cinta yang Diuji

Dina duduk di dalam mobil dengan wajah kusut. Tangannya mengepal, hatinya bergejolak. Sejak kecil, ia diajarkan untuk patuh kepada orang tua, tapi kali ini, rasa patuh itu bertarung dengan perasaannya sendiri.

Rian.

Nama itu memenuhi pikirannya. Laki-laki yang pernah ia benci, kini justru yang paling ia rindukan.

Ayahnya, dengan wajah keras dan penuh wibawa, mengemudi dengan tatapan lurus ke depan. "Dina, Ayah tidak ingin kamu jatuh ke tangan laki-laki yang tidak jelas asal-usulnya. Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu."

Dina hanya menggigit bibir. "Terbaik" menurut siapa?

Setibanya di rumah, perang batin Dina semakin menjadi. Ibunya yang lembut mencoba menenangkan, tapi ayahnya sudah punya rencana besar:

Dina akan bertunangan.

Calonnya? Seorang pegawai negeri sipil di kota, pria yang katanya mapan, berpendidikan, dan punya masa depan cerah.

Dina muak. Sejak kapan cinta bisa diatur seperti seleksi pegawai negeri?

Malam itu, saat semua orang tidur, Dina mengemas barangnya. Ia tidak bisa menerima ini begitu saja. Dia harus kabur.

Namun, tiba-tiba...

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan keras di jendela membuatnya tersentak. Jantungnya berdebar kencang. Siapa yang datang di tengah malam begini?

Dengan tangan gemetar, ia mendekati jendela, lalu mengintip perlahan.

Dan di luar sana, **berdiri seseorang yang sama sekali tak ia duga akan muncul...

***

Dina tak pernah membayangkan bahwa masalah yang baru saja selesai akan membawa masalah lain yang lebih pelik—cinta yang diuji oleh restu orang tua.

Saat kedua orang tuanya datang dari luar kota, ia merasa lega sekaligus tegang. Lega karena mereka peduli, tapi tegang karena ia tahu ayahnya bukan orang yang mudah diyakinkan.

Dan benar saja.

Begitu melihat Rian, ayah Dina langsung menatapnya dengan sorot mata tajam, penuh penilaian.

“Kamu ini siapa?” tanyanya dingin.

Dina mencoba menjelaskan, tapi semuanya sia-sia.

Bagi ayahnya, Rian tak lebih dari pemuda miskin yang tak punya masa depan. Latar belakangnya tidak jelas, pekerjaannya tak tetap, dan status sosialnya tak sebanding dengan putrinya.

Lalu vonis dijatuhkan.

“Kamu pulang sama Ayah sekarang.”

Dina terhenyak.

“Untuk apa?” tanyanya dengan suara bergetar.

Ayahnya menatapnya lurus.

“Ayah sudah menyiapkan calon tunangan untukmu. Seorang CPNS. Dia punya masa depan, bukan cuma berkelahi di jalanan.”

Dunia Dina seakan runtuh seketika.

Dia berusaha protes, tapi suaranya terkubur dalam dominasi ayahnya.

Dan akhirnya, dengan air mata yang tak bisa dibendung, Dina hanya bisa menuruti perintah orang tuanya.

Rian yang Tak Berdaya

Rian hanya bisa menyaksikan Dina dibawa pergi.

Tanpa perlawanan. Tanpa perpisahan yang layak.

Dia bukan siapa-siapa di mata ayah Dina.

Tak ada yang bisa dia lakukan—selain merasakan rasa sakit yang perlahan menggerogoti hatinya.

Dina merencanakan pemberontakan.

Ia tak akan menyerah begitu saja.

Tapi sebelum ia bisa melaksanakan rencananya, tiba-tiba… sebuah kejadian tak terduga mengubah segalanya.

***

Malam itu, kampung halaman Dina dikejutkan oleh kedatangan seorang pemuda dengan motor besar yang berhenti di depan rumah keluarga Dina.

Rian.

Angin malam mengibarkan jaket kulitnya saat ia turun dari motor dengan tenang dan penuh wibawa.

Di dalam rumah, suasana berubah tegang.

Dina, yang tengah duduk bersama orang tuanya dan calon tunangannya, terdiam dengan jantung berdegup kencang.

Ketukan di pintu terdengar.

Ayahnya bangkit, membuka pintu, dan di hadapannya berdiri pemuda yang selama ini ia tolak mentah-mentah.

"Permisi, Pak. Saya ingin bicara."

Ayah Dina menatapnya tajam, tapi dengan ketenangan luar biasa, Rian membalas tatapan itu dengan sopan, tanpa gentar sedikit pun.

"Bicara soal apa? Saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan."

"Saya ingin bicara tentang Dina," jawab Rian tegas.

Penolakan yang Keras

Ayah Dina mendengus.

"Kamu datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mendengar jawaban yang sudah jelas?"

Calon tunangan Dina ikut angkat bicara.

"Pak, kalau saya boleh berpendapat," katanya dengan suara dibuat seramah mungkin, "sebaiknya tidak usah membuang waktu untuk orang yang tidak jelas pekerjaannya."

Rian tetap tenang.

Ia melirik sekilas ke arah pria itu—lawan yang Ayah Dina anggap lebih baik darinya.

Tanpa gentar, Rian menatap kembali ke arah ayah Dina dan berkata dengan suara rendah, tapi penuh keyakinan,

"Saya datang bukan untuk meminta restu, Pak. Saya datang untuk memastikan bahwa Dina punya pilihan."

Hening.

Tatapan tajam Ayah Dina tak membuat Rian goyah sedikit pun. Justru ada sebersit rasa hormat di matanya—walaupun ia tidak menunjukkannya.

Namun, tetap saja, jawabannya tetap keras dan mutlak.

"Pokoknya tidak boleh! Dina anak kesayangan saya, dan hanya boleh menikah dengan minimal seorang PNS. Titik!"

"Saya tidak mau anak saya kelak hanya makan cinta!"

Calon tunangan Dina mengangguk setuju, seolah mengamini pernyataan itu.

Namun, Rian hanya tersenyum tipis.

"Saya paham, Pak. Tapi izinkan saya bertanya satu hal."

Ia melangkah maju sedikit, mendekatkan diri tanpa terkesan menantang.

"Bapak tidak ingin Dina hidup kekurangan, itu alasan utama, kan?"

"Jelas!" jawab ayah Dina dengan nada tegas.

Rian mengangguk pelan.

"Lalu, apakah bapak yakin bahwa kebahagiaan bisa dibeli dengan gaji bulanan?"

Ruangan menjadi sunyi.

Dina menatap Rian dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ayahnya, meskipun tetap bersikap tegas, tidak bisa memungkiri bahwa pemuda di depannya ini bukan sekadar bocah nekat tanpa arah.

Ada sesuatu pada Rian. Sebuah keyakinan yang sulit digoyahkan.

Namun, apakah itu cukup untuk mengubah hati seorang ayah yang keras kepala?

Ataukah ini hanya awal dari ujian yang lebih besar?

***

Ruangan yang tegang semakin mencekam.

Ayah Dina masih menatap Rian dengan ekspresi keras kepala, sementara Dina menggigit bibir, menahan air matanya. Calon tunangannya tampak semakin percaya diri, merasa posisinya tak tergoyahkan.

Lalu, tiba-tiba…

TRRTT TRRTT TRRTT!

Ponsel Ayah Dina bergetar di atas meja.

Ia melirik layar dan seketika wajahnya berubah.

"Pak Surya?!"

Dengan gerakan refleks, ia menegakkan punggungnya dan merapikan duduknya. Sifat galaknya tetap ada, tapi jelas terlihat bahwa nama besar di layar ponselnya itu membuatnya sedikit grogi.

Namun, karena sedikit pamer adalah sifat alaminya, ia pun langsung menyalakan speaker, agar semua orang di ruangan bisa mendengar percakapan itu.

Klik!

"Halo, Pak Surya! Wah, kehormatan besar nih bapak menelepon saya! Ada angin apa sampai saya yang kecil ini diingat oleh bapak yang luar biasa?"

Suasana di ruangan berubah—calon tunangan Dina ikut memasang wajah penasaran, sementara Dina sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi.

Di seberang sana, suara Pak Surya terdengar tenang, tapi penuh wibawa.

"Saya punya anak angkat, namanya Rian. Saya meminta dia menemuimu, dan sepertinya sekarang dia sudah tiba di rumahmu."

Duar!

Rasanya seperti petir menyambar di siang bolong.

Ayah Dina langsung menoleh ke arah Rian dengan mata melotot.

"APA?! Rian? Anak angkat Bapak?!“

Calon tunangan Dina tersedak kopi.

Dina yang sedari tadi cemas, sekarang malah nyaris tertawa melihat ekspresi ayahnya.

Namun, sebelum ada yang bisa bicara lagi, suara Pak Surya terdengar lagi di speaker.

"Kamu tau saya, saya bukan orang yang terbiasa bicara omong kosong, dan saya juga bukan tipe orang yang tidak tau balas budi. Saya berhutang budi pada Rian. Karena.. tanpa dia, seumur hidup saya mungkin masih akan berada di penjara."

Ayah Dina masih ternganga.

Pak Surya melanjutkan, "Kamu juga tahu, saya tidak punya keluarga atau anak kandung, tidak punya penerus. Saya sudah menganggap Rian seperti anak saya sendiri, dan dia punya potensi untuk menjadi penerus saya memimpin perusahaan kelak. Saya harap kamu mau menjodohkannya dengan anakmu?"

Suasana kembali sunyi.

Ayah Dina berkedip beberapa kali.

Matanya bergejolak antara syok, kagum, dan… sedikit kesal.

Karena baru saja ia menolak Rian mentah-mentah, dan sekarang ternyata pemuda ini calon pewaris perusahaan besar?!

Krik… krik…

Lalu, dengan suara sedikit bergetar, tapi tetap mempertahankan wibawa, ia berkata,

"Tunggu… tunggu… Jadi, Rian ini… bakal jadi bos besar? Yang punya perusahaan, banyak duit, dan… bisa kasih anak saya kehidupan nyaman?"

"Kira-kira begitu," jawab Pak Surya santai.

Calon tunangan Dina mulai mengusap keringat di lehernya.

Sementara itu, Dina hanya bisa menahan tawa, melihat ayahnya yang mulai tampak… bimbang.

Lalu, Pak Surya menambahkan sesuatu yang membuat situasi semakin menarik.

"Demi hubungan masa lalu kita… Saya mungkin bukan bos yang baik, tapi 25 tahun lalu, saya juga pernah membantumu mendapatkan istri yang baik, ibu dari anakmu sekarang."

Mata Ayah Dina membelalak.

"Kamu masih ingat galaknya ayah mertuamu dulu?"

Dan seketika, ekspresinya berubah.

Mulutnya terbuka, seperti baru teringat sesuatu yang sangat traumatis.

Lalu… ia menutup wajah dengan tangan.

"Astaga… saya dulu hampir dipentung pakai sapu gara-gara beliau nggak setuju saya nikah sama istriku!"

Dina menutup mulutnya, menahan tawa.

Rian hanya tersenyum tipis.

Sementara calon tunangan Dina? Wajahnya semakin pucat.

Ayah Dina menghela napas panjang.

Lalu, dengan suara yang sedikit lebih lembut—tapi masih dengan gaya galaknya, ia berkata,

"Baiklah… kita perlu bicara lebih lanjut. Rian, masuk ke dalam. Dan kamu,"—ia menoleh ke calon tunangan Dina—"maaf ya, Nak. Kamu bisa pulang sekarang."

Calon tunangan Dina ternganga.

"Hah?! Tapi Pak—"

"Udah, udah, jangan bikin saya makin pusing!" potong Ayah Dina, sambil melambaikan tangan seperti mengusir ayam.

Dan dengan itu, pertarungan ini akhirnya dimenangkan oleh Rian.

***

Setelah kejadian yang hampir merenggut nyawanya, orang tua Vety tak mau ambil risiko lagi.

Tanpa basa-basi, mereka langsung mengurus kepindahannya ke luar negeri. Menurut mereka, hanya itu satu-satunya cara agar putri mereka aman dan jauh dari masalah.

Namun… Vety tetaplah Vety.

Sebelum keberangkatannya, ia menghilang dari penjagaan orang tuanya.

Mereka panik setengah mati, tapi sebenarnya Vety hanya pergi untuk satu alasan:

Berpamitan dengan Rian dan Dina.

---

Di taman kampus, di bawah pohon rindang yang selama ini menjadi tempat mereka sering nongkrong, Vety berdiri dengan tangan di saku.

Ekspresinya tenang, tapi matanya menyiratkan sesuatu.

Tanpa banyak basa-basi, ia menatap Dina dengan tatapan tajam dan berkata,

"Dengar, Dina. Kalau kamu bersikap bodoh dan menyia-nyiakan Rian lagi…"

Vety mencondongkan tubuhnya, menatap Dina lekat-lekat, lalu menyeringai.

"Maka aku akan kembali."

Dina menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis.

"Astaga, Vety. Itu ancaman atau doa?"

Vety menyeringai. "Keduanya."

Dina tertawa kecil, tapi jelas ada rasa haru di matanya.

Lalu, Vety beralih pada Rian.

Ia memasang ekspresi serius.

"Dan kamu, Rian…"

Rian menaikkan alisnya, penasaran dengan apa yang akan dikatakannya.

Lalu, dengan nada menggoda, Vety berkata,

"Kalau suatu hari kamu bosan pada Dina…

…hubungi aku."

Dina langsung menatapnya dengan mata membelalak.

"Vety!!!"

Vety malah tertawa keras.

Rian menggeleng-geleng, lalu tersenyum sambil mengusap tengkuknya.

"Aduh, Vety. Aku rasa aku nggak akan pernah bosan sih."

Vety mengangkat bahu santai.

"Ya siapa tahu…"

Lalu, mereka bertiga tertawa bersama.

Tak ada tangisan, tak ada drama berlebihan. Hanya canda dan tawa yang menyembunyikan rasa haru.

Karena mereka tahu, mereka tak akan bisa bertemu seperti ini lagi dalam waktu dekat.

Dan dengan itu, Vety akhirnya pergi… meninggalkan dua sahabatnya.

---

Sementara Itu…

Di sebuah rumah sakit dengan penjagaan ketat, Aldo terbaring koma.

Meskipun kondisinya mengenaskan, statusnya tetap tersangka.

Dua polisi berjaga di depan pintu kamar rumah sakit.

Namun, sesuatu yang aneh dan misterius terjadi.

Salah satu penjaga, yang sudah menahan buang air sejak tadi, akhirnya berkata,

"Bro, gue ke toilet bentar. Jagain, ya."

"Santai, aman," sahut rekannya.

Dan memang… tak ada suara mencurigakan.

Semua tampak biasa saja.

Namun, ketika penjaga itu kembali sepuluh menit kemudian…

Aldo sudah tidak ada.

Tempat tidurnya kosong.

Infus terlepas.

Dan jendela kamar rumah sakit sedikit terbuka…

Menghilang, entah ke mana…

---

SELESAI?


***

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.

Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.

***

Blog Iqna

adalah blog yang berbagi informasi, tips, tutorial seputar android, windows, hiburan, game, dan Informasi menarik lainnya, Semoga Bermanfaat.