1.3.25

Ambisi yang Membakar - Cerpen Fiksi

 


1. Api kecil 

Di jalanan berbatu ibu kota Cassia, seorang anak kecil berlari dengan langkah lincah, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Marco kecil mengagumi istana yang menjulang di kejauhan, tempat para penguasa membuat keputusan yang menentukan nasib rakyat. Namun, di gang-gang sempit tempatnya tumbuh, dia melihat sesuatu yang berbeda—kemiskinan, ketidakadilan, dan penguasa yang hanya peduli pada diri mereka sendiri.

Sejak kecil, Marco telah memiliki tekad yang berbeda dari anak-anak lain. Dia tak hanya ingin menjadi kaya atau hidup nyaman; dia ingin memiliki segalanya. Dia ingin menguasai Cassia, mengubahnya menjadi kerajaan yang lebih kuat, dan memastikan bahwa tidak ada lagi rakyat yang harus menderita di bawah sistem yang korup.

2. Ambisi

Ketika Marco tumbuh dewasa, ambisinya semakin besar. Dia belajar, mengamati, dan menunggu saat yang tepat. Raja Cassia terlalu malas untuk mengurus kerajaannya sendiri, menyerahkan kekuasaan kepada penasihat yang korup dan rakus. Marco tahu bahwa Cassia akan hancur jika terus berada di tangan mereka.

Maka, dia memulai pemberontakannya.

Dengan kecerdasan dan pesona kepemimpinannya, Marco mengumpulkan pendukung—para prajurit yang kecewa, rakyat yang tertindas, dan kaum muda yang ingin perubahan. Ia tidak hanya mengandalkan kekuatan, tetapi juga strategi. Setiap langkahnya diperhitungkan dengan cermat, setiap gerakan membawa dampak besar.

Pertempuran berkecamuk. Darah mengalir di jalanan ibu kota. Namun, Marco tidak mundur. Dia terus maju, melawan segala rintangan, hingga akhirnya, istana itu—impian masa kecilnya—jatuh ke tangannya.

3. Kemenangan

Marco berdiri di puncak kejayaan. Dia telah berhasil. Cassia kini berada di bawah kekuasaannya.

Tapi, ketika dia menatap sekeliling, kemenangan itu terasa hampa.

Kota yang dulu megah kini runtuh oleh perang saudara. Rakyat yang ingin dia selamatkan justru semakin menderita. Mereka kehilangan rumah, keluarga, dan harapan. Di antara puing-puing, Marco tidak menemukan wajah-wajah yang dulu bersamanya. Orang-orang yang dia kenal, yang dulu percaya padanya, kini entah hilang, mati, atau menghilang dari kehidupannya.

Penyesalan menyusup ke dalam hatinya seperti racun.

Apakah ini harga dari kekuasaan?

Namun Marco menolak tenggelam dalam rasa bersalah. Dia telah sampai sejauh ini. Dia bersumpah untuk membangun kembali Cassia, menjadikannya lebih kuat daripada sebelumnya.

4. Ancaman

Saat Marco sibuk membangun kembali kerajaannya, kabar buruk datang. Di perbatasan, pasukan Dracian telah bergerak. Mereka melihat kesempatan untuk merebut negeri yang masih sakit karena perang saudara.

Marco segera mengerahkan pasukannya, bersiap menghadapi musuh dari luar setelah bertarung dengan musuh di dalam. Tapi perang kali ini berbeda.

Cassia tidak lagi memiliki kekuatan yang dulu. Pasukannya lelah, rakyatnya tidak lagi percaya, dan sekutu-sekutunya telah pergi.

Ketika Dracian menyerang, Marco bertempur dengan seluruh sisa kekuatannya. Namun, dia tahu sejak awal bahwa ini bukan pertempuran yang bisa dia menangkan.

Benteng-benteng Cassia runtuh satu per satu. Istana tempat dia berdiri kini tak lagi berada di bawah kendalinya.

5. Jatuh

Di hari terakhir kekuasaannya, Marco berdiri di puncak istana yang terbakar, melihat Cassia jatuh ke tangan musuh. Dia sudah kehilangan segalanya—kerajaannya, rakyatnya, dan impiannya.

Namun, di balik kehancuran ini, dia sadar bahwa Cassia tidak hanya tentang seorang raja atau penguasa.

Cassia adalah rakyatnya. Dan selama ada yang masih percaya pada tanah ini, harapan belum benar-benar hilang.

Saat pasukan musuh mendekat, Marco tidak berusaha lari. Dia menatap langit yang mulai gelap, membiarkan angin terakhir Cassia menyapu dirinya.

Dia telah menggapai mimpinya—dan dia telah kehilangan semuanya.

6. Bara

Di dalam sel yang dingin dan lembap, Marco duduk bersandar pada dinding batu yang kasar. Tangannya terikat rantai besi, kakinya kaku karena kurang gerak. Bau apek dan darah menyeruak di udara. Ia tidak tahu berapa lama telah berada di sini—hari-hari berlalu tanpa arti, hanya ditemani suara tetesan air dari langit-langit penjara yang bocor.

Di luar, Cassia bukan lagi miliknya. Pasukan Dracian telah menguasai tanah ini, dan rakyat yang dulu meneriakkan namanya kini hidup dalam ketakutan di bawah rezim baru. Namun, apakah mereka benar-benar pernah mendukungnya? Apakah perjuangannya ada artinya jika berakhir seperti ini?

Ketika Marco pertama kali merebut tahta, ia berpikir bahwa kemenangan adalah akhir dari segalanya. Tapi kini, di balik jeruji, ia menyadari bahwa kekuasaan hanyalah awal dari beban yang lebih berat. Ia telah menghancurkan negaranya dalam ambisinya untuk membangunnya kembali. Dan sekarang, Cassia hanyalah bayangan kelam dari kejayaan yang pernah ada.

Suatu malam, penjaga membuka pintu selnya. Tidak ada pengadilan, tidak ada pengampunan—hanya vonis yang sudah lama dijatuhkan. Hukuman mati.

Marco tidak terkejut.

7. Darah

Saat fajar menyingsing, Marco digiring melewati lorong sempit yang menuju lapangan eksekusi. Beberapa serdadu Dracian menyeringai melihatnya—sang pemberontak yang jatuh.

Tapi sebelum mereka sampai ke tempat tujuan, ledakan mengguncang udara.

"Asalkan kau masih hidup, Cassia masih punya harapan!"

Suara itu—Marco mengenalnya. Suara dari masa lalu.

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ledakan kedua mengguncang dinding. Asap dan debu memenuhi udara. Lalu teriakan, denting pedang, dan panah yang melesat dari berbagai arah.

Dari balik kepulan asap, sekelompok orang muncul. Mereka mengenakan baju compang-camping, senjata mereka seadanya, tapi mata mereka menyala penuh tekad.

"Mereka datang untuk menyelamatkanku?" pikir Marco, setengah tak percaya.

Namun kebingungannya tak bertahan lama. Seorang pria bertubuh kekar menariknya dari rantai, memberi pedang, lalu mendorongnya ke depan.

"Lari, Marco!"

Mereka bertempur mati-matian. Tapi jumlah pasukan Dracian jauh lebih banyak. Satu per satu dari mereka tumbang. Darah membasahi tanah, dan suara pekikan kesakitan bergema di sepanjang lorong.

Di tengah kekacauan, Marco berhasil keluar dari penjara, tapi saat ia menoleh ke belakang, ia melihat mereka yang telah datang untuk menyelamatkannya—mereka yang masih percaya padanya—tersungkur satu per satu.

Ia ingin berbalik, ingin membantu mereka, tapi seseorang menariknya dengan paksa.

"Mereka mati agar kau bisa hidup! Jangan sia-siakan itu!"

Lalu ia berlari.

Ia terus berlari, meninggalkan tubuh-tubuh yang tak bergerak di belakangnya, meninggalkan darah dan pengorbanan yang telah diberikan demi dirinya.

8. Luka

Malam itu, di sebuah pondok persembunyian jauh dari ibu kota, Marco duduk dalam keheningan. Di luar, hujan turun perlahan, mengetuk atap kayu seperti nyanyian kematian yang tak berkesudahan.

Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena beban yang tak terlihat.

"Mereka mati karena aku," bisiknya, tangan mencengkeram rambutnya dengan kasar. "Aku tidak pantas diselamatkan."

Suara-suara dari masa lalu menghantam pikirannya—teriakan pertempuran, wajah-wajah yang jatuh satu per satu, Cassia yang terbakar karena ambisinya.

Ia ingin menyerah. Ingin lenyap dalam keheningan.

Tapi di saat ia hampir tenggelam dalam kegelapan itu, sebuah suara memecah pikirannya.

"Kau masih hidup, Marco. Dan itu berarti sesuatu."

Seseorang berdiri di depannya, sorot matanya tajam meski lelah.

"Kau bisa memilih untuk tenggelam dalam sampah... atau kau bisa berdiri dan melakukan sesuatu."

Marco menatapnya lama. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pedang.

Ia mengerti sekarang.

Diam saja tidak berguna. Jika ia benar-benar menyesal, maka satu-satunya cara untuk menebus segalanya adalah dengan bertindak.

9. Kembali

Beberapa hari kemudian, Marco berdiri di hadapan sekelompok orang yang tersisa. Wajah mereka penuh luka, mata mereka masih menyimpan ketakutan, tapi juga harapan.

Ia mengangkat kepalanya, suara yang dulu penuh percaya diri kini lebih tenang, lebih dalam.

"Kita kehilangan banyak hal. Kita membuat kesalahan. Tapi kita masih hidup."

Ia mengepalkan tangan.

"Dan selama kita masih hidup, Cassia belum mati."

Dalam gelapnya malam, di tengah hutan yang sunyi, sebuah bara kecil mulai menyala kembali.

10. Api

Di tengah hutan yang dingin dan basah, Marco berdiri di hadapan para pejuang yang tersisa. Mereka bukan pasukan besar—hanya segelintir orang dengan luka dan dendam yang membakar hati mereka. Tapi mereka adalah harapan terakhir Cassia.

"Kita tidak bisa menghadapi mereka dalam pertempuran terbuka," Marco berkata, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. "Kita bukan lagi kerajaan besar dengan ribuan tentara. Kita adalah bayangan, kita adalah hantu dalam malam. Dan itulah yang akan kita gunakan."

Mereka memulai dengan serangan kecil, pasukan Marco menguasai medan, mereka mengetahui seluk beluk lokasi strategis, gua alam, hingga bekas terowongan tambang. Pasukan Marco dapat dengan mudah menyabotase jalur suplai musuh, membakar gudang persenjataan, membebaskan tahanan yang bisa bertarung, dan mereka beegerak seperti hantu. Setiap malam, pasukan penjajah kehilangan lebih banyak sumber daya, semakin frustrasi dengan serangan yang tak pernah mereka lihat datang.

Marco tidak hanya bertarung untuk menang. Ia bertarung untuk bertahan.

Di balik layar, ia merancang pemerintahan sementara—bukan kerajaan, tapi sebuah dewan rakyat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Cassia, pemimpin akan dipilih bukan karena darahnya, tapi karena kepercayaan rakyat.

Minggu demi minggu berlalu, pasukan Marco semakin kuat. Desa-desa mulai percaya bahwa mereka bisa melawan. Kota-kota kecil yang dulu diam kini menyuplai makanan dan senjata. Bahkan musuh-musuh lama dalam perang saudara datang menawarkan persekutuan.

"Jika kita tidak bersatu, kita akan runtuh satu per satu," kata Marco saat pertemuan di sebuah gua terpencil. "Tapi jika kita berdiri bersama, Cassia bisa kembali bangkit."

11. Perlawanan

Hari itu akhirnya tiba.

Pasukan perlawanan telah mengumpulkan cukup kekuatan untuk melancarkan serangan terakhir. Mereka tidak lagi hanya bayangan dalam gelap—mereka adalah badai yang akan menghancurkan penjajah.

Marco tahu, secara kuantitas, jumlah pasukan mereka masih kalah banyak, dan karena itulah ia menyiapkan perang ini dengan cermat. Kota utama tidak diserang langsung—sebagai gantinya, pasukan penjajah dipancing keluar dengan serangan ke benteng-benteng kecil di pinggiran.

Saat musuh mengejar, mereka masuk ke jebakan. Di lembah sempit yang telah dipersiapkan, pasukan perlawanan menyerang dari atas, menghujani mereka dengan panah dan batu, sementara tanah di bawah mereka runtuh akibat bahan peledak yang telah dipasang berhari-hari sebelumnya.

Panik melanda pasukan penjajah.

Di saat mereka terpecah, Marco memimpin serangan ke ibu kota. Para pemberontak yang menyusup selama berminggu-minggu dari dalam akhirnya bergerak, membakar gudang persenjataan musuh dan membuka gerbang kota. Mental musuh jatuh.

Pertempuran berlangsung sengit. Darah mengalir di jalanan, jeritan memenuhi udara. Marco bertarung dengan segenap tenaganya, meski tubuhnya sudah penuh luka. Ia tahu ini bukan hanya soal mengusir penjajah, tapi memastikan Cassia tidak akan jatuh lagi.

Saat bendera Cassia kembali berkibar di menara istana, rakyat bersorak. Mereka menang.

Cassia akhirnya merdeka.

12. Akhir

Namun kemenangan itu menuntut harga yang mahal.

Marco berdiri di balkon istana, memandang kota yang berlumuran darah, rakyat yang menangis bahagia, dan teman-temannya yang kini tinggal sedikit.

Lukanya terlalu dalam, lebih dari sekadar yang terlihat di tubuhnya.

Ia tahu masanya telah habis.

Maka, di depan seluruh rakyat Cassia, Marco mengumumkan pengunduran dirinya. Ia menolak menjadi raja, menolak menjadi penguasa. Sebagai gantinya, ia menyerahkan nasib Cassia ke tangan rakyatnya.

"Pemimpin sejati bukanlah mereka yang berkuasa, tapi mereka yang dipercaya," katanya dengan suara lemah tapi penuh keteguhan.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemilihan pemimpin diadakan dengan jujur dan transparan.

Dan saat pemimpin baru naik ke tampuk kekuasaan, Marco meninggalkan istana.

Ia menghabiskan sisa hidupnya di sebuah desa kecil, jauh dari gemerlap ibu kota. Namun namanya tidak pernah dilupakan.

Beberapa hari kemudian, tubuhnya yang dulu kuat tak mampu lagi melawan waktu dan luka-luka lama. Marco wafat dalam kesunyian, tanpa kemewahan, tanpa mahkota.

Namun warisannya tetap hidup.

Cassia yang dulu runtuh kini kembali berdiri, lebih kuat dari sebelumnya. Sebuah negara yang tidak lagi bergantung pada satu orang, tapi pada rakyatnya sendiri.

Dan di antara monumen-monumen besar yang didirikan untuk mengenang perjuangan, ada satu prasasti kecil yang ditulis dengan sederhana:

"Untuk Marco. Api yang menyala di kegelapan."

--end--

Previous Post
Next Post

Author:

Blog Iqna

adalah blog yang berbagi informasi, tips, tutorial seputar android, windows, hiburan, game, dan Informasi menarik lainnya, Semoga Bermanfaat.