10.3.25

Patah Sayap Terbang Lebih Tinggi - Cerpen

 


Bagian 1. Bayangan

Langit sore berwarna jingga ketika Rey duduk di bangku taman, memandangi Nayla yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Gadis itu seperti matahari—terang, hangat, dan selalu dikelilingi banyak orang. Berbeda dengan Rey yang lebih suka diam dan mengamati dari kejauhan.

Ia tahu, sejak pertama kali mengenal Nayla, bahwa gadis itu terlalu jauh untuk digapai. Tapi tetap saja, hati tidak bisa diatur.

"Bro, kamu nggak capek mandangin dia doang?" suara Raka, sahabatnya, menyentak lamunannya.

Rey tersenyum kecil. "Ga masalah bro, gini aja udah cukup."

"dia nggak tahu perasaan kamu loh" Raka menghela napas. "Dan kamu juga tahu siapa yang lagi deket sama dia, kan?"

Rey menoleh ke lapangan basket di sebelah taman. Di sana, Adrian—cowok yang selalu tersenyum manis tapi menyimpan banyak kepalsuan—sedang menggoda Nayla dengan gombalan khasnya.

"Kalau kamu nggak gerak, dia bakal jatuh ke tangan yang salah."

Rey menggenggam buku di tangannya erat. Dia tahu Adrian bukan orang baik. Banyak cewek yang sudah tersakiti olehnya. Tapi Nayla? Nayla selalu melihat yang terbaik dari seseorang.

***

Hari itu turun hujan. Rey berdiri di depan gerbang kampus, melihat Nayla berteduh sambil memainkan ponselnya.

"Kamu nggak bawa payung?" tanyanya, mendekat.

Nayla mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Nggak. Kamu bawa?"

Tanpa banyak bicara, Rey membuka payungnya dan berdiri di samping Nayla, melindunginya dari rintik hujan.

"Makasih, ya," ucap Nayla.

Rey hanya tersenyum. Ingin rasanya dia bilang kalau itu bukan sekadar kebaikan biasa. Tapi, apa gunanya?

***

Beberapa minggu kemudian, tersiar kabar di kampus.

"Nayla jadian sama Adrian!"

Rey mendengar bisikan itu di mana-mana. Hatinya mencelos, meski dia sudah menyiapkan diri untuk ini.

"Nggak nyangka dia milih cowok kayak Adrian," celetuk seseorang.

"Jangan-jangan nanti dicampakkan juga, kayak yang lain."

Rey ingin membela Nayla, tapi suara-suara itu seperti angin—datang dan pergi, tanpa bisa dihentikan.

Sampai akhirnya,
hari itu tiba.
Nayla menangis di pojok taman, wajahnya merah dan matanya sembab.

Rey tahu. Semua orang tahu. Adrian sudah punya cewek lain.

Tanpa banyak bicara, Rey duduk di sampingnya, menyerahkan sebotol air mineral. Nayla menerimanya, lalu tersenyum miris.

"Rey, aku bodoh, ya?"

Rey menggeleng pelan. "Nggak juga... Kamu cuma percaya sama orang yang salah."

Nayla terdiam. "Kenapa malah kamu yang selalu ada buat aku?"

Rey menarik napas dalam. "Karena kamu temenku."

Padahal, dia ingin bilang lebih dari itu. Tapi dia tahu, cinta bukan soal memiliki. Cinta juga bukan soal memaksa.

Dan jika Nayla lebih bahagia tanpa tahu perasaannya, maka biarlah begitu.

Di balik senyumnya, Rey menyimpan luka. Tapi dia juga menyimpan sesuatu yang lebih berharga: ketulusan.


Bagian 2: Patah

Waktu berlalu, dan Rey tetap berada di sisi Nayla. Namun, hanya sebagai sahabat.

Banyak yang mengatakan persahabatan antara laki-laki dan perempuan bisa murni tanpa perasaan. Tapi bagi Rey, itu hanya ilusi. Setiap kali Nayla tertawa, setiap kali dia berbagi cerita tentang kehidupannya, setiap kali dia menangis di bahunya saat Adrian menyakitinya lagi, Rey hanya bisa diam.
Dia ingin melindungi Nayla, tapi dia juga tahu bahwa dia tidak pernah benar-benar ada di hatinya.

Nayla terlalu nyaman, terlalu terbiasa dengan kehadiran Rey. Dia tak pernah benar-benar melihat seberapa besar Rey mencintainya. Dan jika pun sadar, dia lebih memilih untuk mengabaikannya.

Bagi Nayla, Rey adalah tempat pulang yang aman, seseorang yang selalu ada. Bukan seseorang yang perlu ia cintai.

***

Malam itu, Rey berdiri di depan apartemen Nayla, menggenggam ponselnya erat. Jantungnya berdebar kencang.

"Aku harus jujur."

Sudah terlalu lama dia menyimpan perasaannya sendiri, membiarkan luka itu semakin dalam. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, mungkin selamanya dia akan terjebak dalam ketidakpastian ini.

Rey tahu masih ada Adrian di sisi Nayla, tapi hubungan mereka terlihat tidak harmonis, Rey tahu Adrian sudah punya pacar lagi, selain itu bukankah Adrian hanya pacar bagi Nayla, bisa putus bila sudah tidak cocok lagi

...

Ketika pintu terbuka, Nayla berdiri di sana, mengenakan sweater kebesarannya. Matanya tampak lelah, mungkin karena menangis lagi.

“Rey? Kok ke sini?”

Rey menatapnya, lalu menarik napas dalam-dalam. “aku mau ngomong sesuatu.”

Nayla terdiam. Entah kenapa, perasaannya tidak enak.

Rey menunduk, lalu mengumpulkan keberaniannya. “Aku suka kamu, Nay. Dari dulu.”

Sejenak, dunia seolah berhenti. Mata Nayla membesar, tetapi bukan karena terkejut. Dia sudah lama menyadari gelagat Rey. Yang tidak dia sangka, Rey akhirnya mengatakannya.

Rey menatapnya, mencari jawaban di wajah Nayla. “Aku capek pura-pura jadi temen biasa. tapi perasaanku tidak biasa. Dan aku rasa, kamu juga sadar itu.”

Nayla menggigit bibirnya, lalu menunduk. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

“Rey…” suaranya lirih.

Rey menunggu.

“Aku nggak bisa,” lanjut Nayla.

Dada Rey terasa sesak. Tapi dia tetap tersenyum, meski sedikit gemetar. “Kenapa?”

Nayla mengangkat wajahnya. Ada kesedihan dalam matanya, tapi juga keteguhan. “Bukan karena aku nggak tahu perasaan kamu. Tapi aku.. sudah nggak bisa.”

Rey masih menunggu, meski hatinya terasa remuk.

“Ada sesuatu yang... Aku tidak bisa jelaskan padamu,” suara Nayla nyaris berbisik. “aku sudah .... sama Adrian.”

Rey menatapnya dalam-dalam. Perlahan, dia mencoba berfikir positif dan mengerti.

Adrian bukan sekadar cinta pertama bagi Nayla. Adrian mungkin sudah mengambil sesuatu yang berharga darinya—entah itu kepercayaan, hati, atau sesuatu yang lebih dalam. Dan bagi Nayla, meski ia tahu Adrian bukan yang terbaik, dia merasa tidak bisa berbalik arah.

Rey ingin berkata bahwa Nayla berhak memilih kebahagiaannya sendiri. Tapi tatapan gadis itu begitu kuat, begitu penuh luka dan rahasia, Rey tahu bahwa apapun yang ia katakan, tidak akan mengubah keputusan Nayla.

Dalam diam, Rey hanya tersenyum. Senyum yang selalu ia pakai untuk menyembunyikan rasa sakitnya.

“Kalau itu yang kamu mau…” suaranya lirih. “aku nggak bakal maksa.”

Nayla mengalihkan pandangannya. “aku minta maaf, Rey.”

Rey hanya mengangguk pelan. Tanpa banyak kata, dia berbalik pergi.

Malam semakin larut, dan angin dingin menusuk hingga ke tulang. Tapi tak ada yang lebih dingin dari hati Rey saat itu.

Dia akhirnya jujur.

Tapi kejujuran itu tak mengubah apa pun.


Bagian 3: Lilin yang meleleh sendiri

Sejak malam itu, Rey berubah.

Bukan perubahan yang mencolok, bukan sesuatu yang bisa langsung dikenali orang lain. Tapi bagi mereka yang mengenalnya dengan baik, Rey bukan lagi Rey yang sama.

Dia masih tersenyum, masih bercanda, masih menjalani harinya seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang hilang dari matanya—cahaya yang dulu selalu ada saat dia melihat Nayla.

Diam-diam, berat badannya turun. Dia sering lupa makan, atau lebih tepatnya, kehilangan selera. Tidurnya tak pernah nyenyak, pikirannya selalu kembali pada satu hal yang ingin dia lupakan, tapi tidak bisa.

Dan meski berusaha sekuat tenaga untuk bersikap biasa di depan Nayla, hubungan mereka tak lagi sama.

---

“kamu kenapa, Rey?” tanya Raka, sahabatnya, saat mereka duduk di kafe.

Rey hanya tersenyum kecil, mengaduk kopinya tanpa benar-benar berniat meminumnya. “Kenapa apanya?”

“Jangan pura-pura. Kamu keliatan banget berubah.”

Rey mendesah, lalu bersandar di kursinya. “Enggak, aku biasa aja.”

Raka menatapnya tajam. “kamu pikir aku bego?”

Rey tertawa kecil, tapi terdengar hambar. Dia tahu dia tidak bisa terus berpura-pura, tapi mengakuinya juga tidak akan mengubah apa pun.

“aku cuma lagi butuh waktu,” jawabnya akhirnya.

Raka tidak memaksa. Dia hanya menepuk bahu Rey, memberi dukungan tanpa kata.

---

Hubungannya dengan Nayla semakin canggung. Mereka masih bertemu, masih saling menyapa, tapi ada tembok tak kasat mata di antara mereka.

Rey tidak bisa lagi berbicara dengan Nayla seperti dulu. Dan Nayla pun tahu, setiap kata yang ia ucapkan pada Rey, kini terasa lebih berat.

Hingga suatu hari, sebuah undangan sampai di tangan Rey.

Nama yang tertera di sana seakan menusuk dadanya tanpa ampun.

Nayla & Adrian

Tangan Rey sedikit gemetar saat membuka amplopnya.

Matanya menatap huruf-huruf yang tertulis di kertas elegan itu, tapi pikirannya kosong.

Dunia terasa berhenti sejenak.

Ada rasa sakit yang sudah dia duga akan datang, tapi tetap saja, rasanya jauh lebih perih dari yang dia bayangkan.

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.

Ini kenyataan. Hati Nayla memang tidak pernah untuknya.

Tapi tetap saja… kenapa rasanya seberat ini?


Bagian 4: Lentera dalam gelap

Malam itu, Rey duduk sendirian di balkon rumah kosnya, memandangi langit yang gelap. Udara malam terasa dingin, tapi pikirannya jauh lebih dingin.

Sudah berapa lama dia seperti ini? Berjalan dalam lingkaran kesedihan yang sama, tanpa akhir?

Seketika, sebuah pikiran muncul dalam benaknya.

Konyol.

Ya, konyol.

Apa yang dia lakukan?

Nayla sedang berbahagia, sementara dia terpuruk dalam kesedihan yang menyedihkan.

Jika dia benar-benar mencintai Nayla, bukankah dia seharusnya ikut bahagia? Bukankah cinta sejati tidak selalu tentang memiliki?

Harga dirinya memberontak.

Seorang laki-laki tidak seharusnya seperti ini. Tidak seharusnya menangisi sesuatu yang tidak bisa dia ubah.

Luka memang ada, tapi bukan alasan untuk jatuh dan hancur.

Perlahan, Rey menegakkan punggungnya. Dia menarik napas dalam, membiarkan udara malam memenuhi paru-parunya.

Dunia belum berakhir.

Matahari masih akan terbit esok pagi, membawa hari baru, kehidupan baru.

Dan dia, Rey, akan berdiri tegak.

***

Hari pernikahan Nayla tiba.

Rey datang, mengenakan setelan rapi, wajahnya tenang, tapi dalam dadanya, badai masih bergejolak.

Saat matanya menangkap sosok Nayla dalam gaun pengantinnya, sesuatu di hatinya terasa mencubit.

Tapi dia tetap tersenyum.

Karena ini adalah pilihan Nayla.

Dan dia akan menghormati itu.

Bukan dengan air mata, bukan dengan kesedihan yang tak berujung.

Tapi dengan ketegaran.

Dengan kebesaran hati.

---

Karena cinta sejati tidak harus memiliki.

Cinta sejati adalah tentang merelakan, dan tetap mendoakan kebahagiaan seseorang, walau tidak akan bersatu.

Dan Rey… akhirnya mengerti itu.

---


Bagian 5: Pagi yang hangat

Pelan tapi pasti, Rey mulai bangkit. Meski luka di hatinya tak serta-merta hilang, ia belajar untuk berdamai dengan kenyataan. Hidup harus terus berjalan.

Tanpa direncanakan, hadir seseorang dalam hari-harinya—Rani.

Gadis bawel, ceplas-ceplos, dan sedikit galak itu tiba-tiba saja menjadi bagian dari dunianya.

“Rey! Kamu tuh beneran nggak peka atau pura-pura bodoh, sih?” seru Rani suatu kali, tangannya berkacak pinggang.

Rey hanya mendengus, melanjutkan membaca buku di hadapannya. “Kenapa sih, kamu selalu ribut? Bisa nggak, ngomong pelan?”

“Aku nggak bisa lihat orang bodoh tanpa menegurnya! Itu dosa!”

Rey mendongak, menatap Rani datar. “Terima kasih atas kepedulianmu, Ustazah Rani.”

“Dasar batu!” Rani menggerutu sambil duduk di depannya, mengaduk-aduk jusnya dengan kasar.

Hubungan mereka penuh pertengkaran kecil, tapi justru itulah yang membuat Rey perlahan melupakan kesedihannya. Rani, dengan segala kebawelannya, tanpa sadar menjadi obat bagi luka hatinya.

Tapi, bagi Rey, Rani hanyalah seorang adik dan sahabat.

***

Suatu hari, takdir kembali mempertemukan Rey dengan Nayla.

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di sudut kota. Nayla tampak lebih kurus, wajahnya pucat meski tetap tersenyum saat melihat Rey.

Rey membeku sesaat. Ada sesuatu dalam tatapan Nayla yang membuat perasaan di dadanya campur aduk. Ada rasa senang, sekaligus rasa sesak terdesak dinding realita.

Mereka berbincang singkat. Awalnya, hanya tentang hal-hal biasa, namun akhirnya Rey mendengar sesuatu yang membuatnya bergeming.

Desas-desus yang beredar ternyata benar—Nayla terpaksa menikah dengan Adrian, karena.. hamil.

“Dulu… aku terlalu percaya padanya.” Suara Nayla lirih, matanya menerawang. “Dan aku membayar mahal untuk kebodohanku.”

Rey mengepalkan tangannya di bawah meja.

Dia bisa melihat bayangan luka di mata Nayla.

Dia ingin marah.

Dia ingin bertanya, mengapa Nayla tidak memilihnya dulu? Mengapa dia menyerahkan dirinya pada Adrian, yang jelas-jelas tidak bisa dipercaya?

Tapi Nayla sudah menjadi istri orang.

Sekalipun hatinya masih ingin memeluk Nayla dan melindunginya dari segala luka, dia tak bisa.

Karena cinta sejati tidak egois.

Karena ada batas yang tidak boleh dilewati.

Rey menatap Nayla dalam diam, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “apa rencana kamu sekarang, Nay?”

Nayla terdiam lama, sebelum akhirnya tersenyum samar. “Aku bertahan.”

Jawaban yang tak benar-benar menjawab.

Dan Rey mengerti, bahwa beberapa luka memang tidak bisa dihapus, hanya bisa diterima.

Dia menghela napas panjang, menatap keluar jendela. Hujan mulai turun, membasahi jalanan kota.

Ada sesuatu yang tidak akan pernah kembali.

***

Di kejauhan, sepasang mata mengintip dari balik rak buku di kafe, Rani memperhatikan keduanya dalam diam. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang tak bisa diartikan.

Dia menggigit bibirnya, menekan rasa asing yang tiba-tiba memenuhi dadanya.

Karena meski Rey selalu berkata bahwa dia hanya menganggapnya sebagai adik dan sahabat…

Entah kenapa, rasanya sakit melihat dia duduk berdua dengan Nayla.


Bagian 6: Hangat

Rey masih belum benar-benar pulih. Pertemuannya dengan Nayla waktu itu menyisakan kegundahan dalam hatinya.

Namun, seperti biasa, Rani selalu hadir di saat yang tak terduga.

“Reyyy! Minggir! Mau duduk!” Rani tiba-tiba menyerobot kursi di sebelahnya di kantin kampus, tanpa basa-basi mendorong nampan Rey ke samping.

Rey hanya mendengus. “Bisa nggak, ya, kamu datang dengan sedikit lebih anggun?”

“Bisa sih. Tapi buat apa? Aku kan sudah cantik tanpa harus pura-pura lemah gemulai,” jawab Rani dengan wajah tanpa dosa.

Rey menghela napas panjang. “Kadang aku heran, kenapa kamu ini banyak yang suka.”

“Jangan iri, Rey. Aku kan paket lengkap. Cantik, cerdas, dan aktif. Nggak kayak kamu, cowok pendiam yang cuma bisa melamun.”

“Bukan iri. Aku justru kasihan sama cowok-cowok yang ngejar kamu,” balas Rey sinis.

Rani mencibir. “Ah, terserah! Yang jelas, kamu tetap sahabat aku! Mau senyebelin apa pun kamu, aku tetap ada buat kamu.”

@#$_&

Mereka memang selalu berdebat hal-hal tidak penting. Kadang sampai bertengkar, bahkan marahan.

Tapi anehnya, Rani selalu kembali dengan wajah tanpa dosa, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Seiring waktu, Rey menyadari satu hal—kehadiran Rani adalah sesuatu yang ia butuhkan. Gadis itu bagaikan angin segar yang selalu berhasil mengusir bayang-bayang masa lalunya.

Tapi tetap saja, bagi Rey, Rani hanyalah sahabat.

---

Di sisi lain, Nayla masih berusaha menyelesaikan kuliahnya, meskipun perutnya semakin membuncit.

Rey sering melihatnya berjalan pelan di lorong kampus, terkadang memegang punggungnya yang mungkin terasa pegal. Dia ingin membantu, tapi dia tahu batasannya.

Kasihan. Itu yang sering Rey rasakan setiap melihat Nayla.

Terlebih karena Adrian tetap menjadi Adrian.

Lelaki itu masih dengan kebiasaan lamanya—bermain dengan banyak wanita. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia benar-benar peduli pada Nayla.

Bahkan Rey beberapa kali melihat Adrian bermesraan dengan gadis lain di luar kampus.

Dan sekarang… target barunya adalah Rani.

Bagi seorang playboy seperti Adrian, mendapatkan gadis populer dan cantik seperti Rani adalah kebanggaan tersendiri. 

Bagi Adrian, Rani bukan sekadar target baru dalam daftar panjang petualangan cintanya. Lebih dari itu, ia sudah terlanjur sesumbar di hadapan teman-temannya bahwa tak ada wanita yang bisa menolaknya, termasuk Rani yang terkenal cerdas dan sulit didekati. Taruhan pun dibuat—jika Adrian berhasil menjadikan Rani pacarnya, ia akan menang besar, baik dalam gengsi maupun hadiah yang disepakati. 

Namun, semakin ia berusaha, semakin ia sadar bahwa Rani berbeda. Ia bukan tipe gadis yang mudah terbuai oleh rayuan murahan. Tantangan ini justru membuat Adrian semakin terobsesi, bukan lagi soal perasaan, tapi soal harga diri yang tak boleh jatuh di depan teman-temannya.

---

“Rani, ada yang ngajak kenalan, tuh.”

Seorang teman Rani menunjuk ke arah Adrian yang tengah bersandar santai di dekat taman kampus.

Adrian melambaikan tangan sambil tersenyum penuh percaya diri.

Rani menoleh sekilas, lalu berbisik pelan, “Oh, dia… Hmm, kayaknya aku tau siapa dia.”

Temannya terkikik. “Ya iyalah! Itu Adrian, suaminya Nayla!”

Rani menaikkan sebelah alis. “Suami Nayla? Terus kenapa dia ngajak aku kenalan?”

“Mungkin dia tertarik sama kamu. Wajar sih, kamu kan favorit banyak cowok di kampus.”

Rani menatap Adrian beberapa saat. Senyum lelaki itu penuh pesona, tapi bagi Rani… entah kenapa, dia justru merasa geli.

Dengan santai, Rani menoleh ke temannya. “Aku nggak tertarik. Sorry, aku bukan kolektor suami orang.”

Temannya terkikik lagi, sementara Adrian yang masih berdiri di sana tampak tak kehilangan percaya diri.

Rani tersenyum miring. “Rey!”

Rey yang baru saja datang dari arah perpustakaan langsung terhenti saat mendengar namanya dipanggil dengan suara keras.

“Apa?” tanyanya malas.

Rani berjalan mendekatinya dan menepuk pundaknya dengan gaya sok akrab. “Tolong jaga aku, ya. Sepertinya ada predator di kampus ini.”

Rey mengernyit, lalu mengikuti arah pandangan Rani—tepat ke Adrian yang masih tersenyum di kejauhan.

Sekilas, Rey merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Adrian bukan pria yang mudah menyerah.

Dan Rani… tanpa sadar mungkin sudah menjadi target permainan barunya.


Bagian 7: Tipu Daya 

Bukan Adrian namanya jika mudah menyerah.

Setiap hari, ia terus mencari celah untuk mendekati Rani. Kadang lewat pesan singkat yang manis, kadang dengan kebetulan-kebetulan yang jelas sudah direncanakannya.

“Pagi, Rani. Udah sarapan?” sapa Adrian saat tak sengaja—atau lebih tepatnya, pura-pura tak sengaja—bertemu Rani di parkiran kampus.

Rani melirik malas. “Udah.”

“Sendiri aja? Aku bisa temenin kalau mau.”

Rani mendengus. “Makasih, tapi aku lebih suka makan tanpa harus dengerin omong kosong.”

Adrian tertawa kecil. “Kamu selalu lucu. Itu yang bikin aku suka.”

Rani memutar bola matanya, tak tertarik untuk meladeni.

Tapi Adrian tak menyerah. Dengan segala tipu daya dan janji-janji manis, ia terus mencoba merayunya.

Yang membuatnya semakin gigih bukan hanya karena ia tertarik pada Rani, tapi juga karena ada taruhan besar yang ia buat dengan teman-temannya.

Mendapatkan seorang gadis seperti Rani bukan hanya soal ego, tapi juga gengsi.

Sementara itu, Rani—bukan perempuan bodoh.

Ia tahu betul betapa berbahayanya lelaki seperti Adrian.

Namun, sehebat apa pun seorang perempuan menjaga diri, tetap ada saat-saat di mana ia berada dalam posisi lemah.

Dan itulah yang terjadi malam itu.

---

Rani sedang berjalan pulang dari acara kampus ketika tiba-tiba hujan turun.

Ia buru-buru berteduh di sebuah halte kecil, sibuk mencari ojek online yang tak kunjung menerima pesanannya.

Lalu, sebuah mobil mewah berhenti di depannya.

Kaca jendela perlahan turun, dan di baliknya, Adrian tersenyum.

“Rani? Kok sendirian di sini?”

Rani mendesah pelan. “Nunggu ojek.”

“Hujan deras begini? Udah, aku antar.”

Rani menggeleng. “Nggak perlu.”

Adrian tertawa kecil. “Rani, please… Aku cuma mau bantu. Aku tahu kamu nggak suka aku, tapi ini keadaan darurat. Kalau nggak percaya, kamu bisa buka Google Maps di HP-mu, cek sendiri aku bakal nganterin kamu sampai rumah dengan selamat.”

Rani ragu sejenak. Hujan semakin deras, dan jalanan semakin sepi.

Adrian sepertinya hanya ingin membantu… kan?

Akhirnya, dengan sedikit enggan, Rani masuk ke dalam mobil.

Dan di situlah kesalahannya.

---

Hujan deras mereda, hanya tinggal rintik-rintik kecil dan kubangan air yang tersisa.

Bukannya menuju arah rumah Rani, Adrian malah membawa mobilnya ke jalan yang lebih sepi.

Rani langsung curiga.

“Adrian, kamu mau ke mana?”

Adrian tersenyum santai, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain.

“Santai aja, Rani. Aku cuma pengen jalan-jalan dan ngobrol berdua. Kita kan jarang ada waktu kayak gini.”

“Tapi aku nggak mau.”

Adrian menoleh sekilas. “Kamu terlalu cepat menilai buruk orang. Aku cuma mau kita lebih dekat.”

“Nggak ada alasan buat kita lebih dekat.” Rani merogoh tasnya, mencari ponsel, tapi Adrian lebih cepat.

Dengan satu gerakan cepat, ia menarik tas Rani dan melemparkannya di kursi belakang.

“Adrian!” suara Rani mulai panik.

Namun Adrian tetap santai, seolah semua baik-baik saja.

“Jangan takut, aku nggak akan nyakitin kamu. Aku cuma butuh waktu buat buktiin kalau aku beneran suka kamu.”

Rani menggigit bibirnya, tangannya diam-diam mencari pegangan. Jika ia harus melompat dari mobil ini, ia akan lakukan.

Tapi sebelum ia sempat bergerak…

---

BRAK!

Sebuah motor melaju kencang dan pengemudinya menghantam spion mobil Adrian, membuatnya mengerem mendadak.

Dan dari motor itu, Rey turun dengan wajah marah yang belum pernah Rani lihat sebelumnya.

---

“Keluar, Rani,” suara Rey terdengar dingin dan tajam.

Adrian menatap Rey dengan tatapan penuh ejekan. “Hei, hei, santai. Kenapa tiba-tiba menyerang? Aku cuma ngajak Rani ngobrol.”

Rey tidak menggubris. Matanya hanya tertuju pada Rani.

“Rani, keluar,” ulangnya, kali ini dengan nada lebih tegas.

Tanpa ragu, Rani langsung membuka pintu dan keluar.

Adrian tertawa kecil. “Kamu ngerasa jadi pahlawan, Rey?”

Rey berbalik dan menatapnya tajam.

“Aku cuma nggak suka kalau orang yang paling dekat denganku diganggu,” katanya dengan suara rendah, namun penuh ketegasan.

Dan entah kenapa, kata-kata itu membuat dada Rani terasa hangat.

Untuk pertama kalinya, ia sadar…

Mungkin, tanpa Rey sadari, dia menyimpan sesuatu lebih dari sekadar persahabatan.


Bagian 8: Luka 

Sejak kejadian malam itu, Adrian semakin membenci Rey.

Baginya, Rey bukan hanya penghalang, tapi juga penghinaan.

Bagaimana bisa seorang seperti Rey, yang dulu pernah dekat dengan Nayla, kini kembali muncul dan berani ikut campur dalam urusannya?

Dan yang lebih menyakitkan bagi Adrian—Rani lebih percaya pada Rey dibanding dirinya.

Obsesinya pada Rani semakin menjadi-jadi.

Namun setiap kali ia mencoba mendekat, selalu ada satu bayangan yang menghalanginya.

Rey.

Dan itu membuat Adrian geram.

---

Malam itu, hujan baru saja reda.

Rey dan Rani berjalan beriringan di jalanan sepi setelah menghadiri acara kampus. Rani, seperti biasa, tak henti-hentinya mengomel tentang banyak hal—tentang dosen yang terlalu perfeksionis, tentang tugas yang menumpuk, atau bahkan tentang bagaimana Rey selalu terlihat terlalu serius.

“Dengar nggak sih, Rey? Aku ngomong dari tadi.”

Rey tersenyum tipis. “Dengar, kok.”

“Terus, tadi aku ngomong apa?”

“Dosen perfeksionis?”

Rani mendengus. “Itu lima menit yang lalu! Astaga, Rey, otakmu itu terlalu sibuk mikirin hal-hal berat.”

Rey hanya terkekeh pelan. Namun tiba-tiba, langkahnya terhenti.

Di depan mereka, berdiri Adrian dan lima orang temannya.

Mereka menunggu.

Mata Adrian menatap Rey dengan kebencian yang membara.

“Kita perlu bicara, Rey.”

Rey menatapnya tajam. “Hanya Bicara?”

Adrian menyeringai. “Kamu tahu jawabannya.”

Rani menggenggam lengan Rey, suaranya bergetar. “Rey, kita pergi saja.”

Namun sebelum mereka sempat melangkah mundur, dua orang dari kelompok Adrian sudah menutup jalan keluar.

Rey menarik napas dalam. Ia tidak takut.

Tapi kali ini, ia bukan hanya harus menjaga dirinya sendiri.

Dia harus melindungi Rani.

---

Pertarungan dimulai dengan brutal.

Adrian dan anak buahnya menyerang tanpa ampun.

Namun Rey bukan orang yang mudah dijatuhkan.

Satu pukulan telak mengenai rahang lawannya, membuat salah satu dari mereka tersungkur.

Satu lagi mencoba menyerang dari belakang, tapi Rey dengan gesit menangkis dan membantingnya ke tanah.

Tiga lawan berhasil ia lumpuhkan.

Namun tiga lainnya, termasuk Adrian, masih berdiri tegak.

Rey sudah kehabisan tenaga. Napasnya tersengal, tubuhnya penuh lebam, tapi matanya tetap tajam.

Adrian melangkah maju dengan wajah marah.

“Kamu selalu jadi duri dalam hidupku, Rey,” desisnya.

Lalu tiba-tiba—

Srek!

Sebuah pisau lipat berkilat di tangannya.

Rani tersentak. “Adrian, jangan!”

Namun Adrian sudah mengayunkan pisaunya.

Rey, yang sudah hampir tak berdaya, tak bisa menghindar.

Dan saat ia berpikir semuanya akan berakhir…

“REY!”

JLEB!

Bukan tubuh Rey yang tertusuk.

Melainkan tubuh Nayla.

Nayla yang sebelumnya membuntuti Adrian, langsung berlari melihat suaminya mengeluarkan pisau, dan tepat sebelum pisau itu menghujam tubuh Rey, Nayla lebih dulu melindungi dengan tubuhnya.

---

Waktu seolah berhenti.

Rey terkejut. Rani menjerit.

Adrian membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Nayla berdiri di depan Rey, tubuhnya gemetar, tangannya menekan luka di perutnya yang kini mulai mengeluarkan darah.

“Nayla…?” suara Rey terdengar serak.

Nayla tersenyum lemah. “Aku nggak mau kamu terluka…”

Tubuhnya ambruk dalam pelukan Rey.

Hujan kembali turun, membasahi wajah mereka yang dipenuhi keterkejutan dan kepedihan.

Dan untuk pertama kalinya…

Adrian terlihat benar-benar takut.


Bagian 9: Gerimis

Sirene ambulans meraung di jalanan malam, memecah keheningan yang mencekam.

Rey duduk di samping tandu, menggenggam tangan Nayla yang mulai dingin.

“Nay, bertahanlah…” suaranya bergetar. “Tolong…”

Nayla tersenyum samar, meski bibirnya sudah membiru.

“Aku… takut, Rey…” suaranya lemah, hampir seperti bisikan.

Mata Rey mulai panas. Rani di sebelahnya menangis diam-diam, menutup mulutnya agar tak mengeluarkan suara.

Darah terus mengalir dari perut Nayla, menggenang di kasur ambulans.

---

Di rumah sakit, waktu berjalan lambat.

Nayla segera dilarikan ke ruang operasi.

Adrian, yang ditangkap polisi di tempat kejadian, hanya bisa berdiri kaku saat melihat Nayla dibawa pergi.

Untuk pertama kalinya, dia terlihat seperti anak kecil yang kehilangan arah.

Sejak dulu, dia mungkin sering bermain dengan hati wanita.

Tapi Nayla…

Nayla adalah satu-satunya orang yang benar-benar dia cintai.

Dan kini, dia yang membuat wanita itu terbaring di ambang maut.

-i-

Dua jam kemudian…

Dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah muram.

“Dia kehilangan banyak darah.”

Rey, yang sejak tadi duduk gelisah, langsung berdiri. “Apakah dia akan pulih, Dok?”

Dokter itu terdiam sesaat sebelum menjawab pelan.

“Kami sudah berusaha. sebaiknya anda berdoa...”

Dunia Rey seakan runtuh.

Rani menutup wajahnya, tubuhnya bergetar hebat.

Tidak beberapa lama, seorang tenaga medis menemui Rey
"Apakah anda yang bernama Rey? Pasien ingin bertemu dengan anda"

-q-

Di dalam ruang rawat, tubuh Nayla terbaring lemah.

Selang dan kabel masih menempel di tubuhnya, tetapi matanya terbuka sedikit, seakan menunggu sesuatu.

Rey dan Rani mendekat, masing-masing menahan air mata.

Nayla tersenyum kecil.

“Rey…” suaranya hampir tak terdengar.

Rey menggenggam tangannya erat. “Aku di sini, Nay… Aku di sini…”

Nayla mengalihkan pandangannya ke Rani. “Jaga dia, ya…”

Air mata Rani jatuh tanpa bisa dihentikan.

Nayla menghela napas pendek. Matanya beralih ke perutnya yang terluka.

“Aku nggak akan jadi ibu yang baik… mungkin ini yang terbaik…”

Rey menggeleng cepat. “Jangan bilang gitu, Nay… Kamu pasti akan jadi ibu yang hebat…”

Nayla tersenyum tipis. “Aku lelah, Rey… aku ingin tidur”

Tangannya melemah dalam genggaman Rey.

Hembusan napas terakhirnya terdengar pelan… lalu berhenti.

Bunyi monitor berubah menjadi garis lurus panjang.

Rey membeku.

Rani menutup mulutnya, menahan isak tangis yang pecah.

Dokter dan perawat masuk untuk mematikan mesin, lalu menutupi tubuh Nayla dengan selimut putih.

Selesai.

Semua sudah berakhir.

-n-

Di luar ruang perawatan, Adrian yang berstatus sebagai tersangka sekaligus suami korban dikawal ketat oleh polisi, dia terduduk, menatap lantai dengan tatapan kosong.

Ketika pintu terbuka dan perawat mendorong ranjang Nayla yang sudah ditutupi kain putih, dia berdiri dengan tubuh gemetar.

Tangannya terangkat, seolah ingin menyentuh Nayla…

Namun dia tak punya hak.

Karena dia sendirilah yang telah menghancurkan hidup wanita itu.

Polisi menariknya pergi, membawanya ke mobil tahanan.

Dan Adrian tak melawan.

Untuk pertama kalinya, Adrian menyerah.

Dan untuk pertama kalinya, dia benar-benar menangis.

-a-

Di lorong rumah sakit, Rey dan Rani berdiri berdampingan, menatap kepergian Adrian.

Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya.

Hujan turun perlahan, seakan ikut menangisi penyesalan yang terlambat.

Dan di dalam hati Rey, ada satu luka yang mungkin akan sulit untuk sembuh.


Bagian 10: Patah Sayap Terbang Lebih Tinggi

Setahun telah berlalu sejak malam kelam itu.

Langit sore di kampus terlihat cerah, angin bertiup sejuk, dan burung-burung beterbangan di kejauhan.

Rey duduk di bangku taman, membaca buku tebal yang sejak tadi tak kunjung selesai.

Seseorang tiba-tiba datang dan menjulurkan es krim ke wajahnya.

“Rey! Mau es krim nggak? Kalau nggak mau, aku makan dua-duanya!”

Rani berdiri di depannya dengan wajah ceria seperti biasa.

Rey mendengus, menutup bukunya. “Siapa yang bilang aku nggak mau?”

Dengan santai, dia merebut salah satu es krim dari tangan Rani dan mulai makan.

“Eh! Itu rasa favoritku!” protes Rani, cemberut.

“Ya salah sendiri nawarin,” balas Rey santai, menikmati es krimnya dengan puas.

Rani mendengus kesal, lalu duduk di sebelahnya.

Mereka diam sejenak, menikmati sore yang tenang.

Lalu Rani menatap Rey dengan sudut mata, tersenyum kecil.

“Kamu udah lebih baik sekarang,” katanya.

Rey menoleh. “Maksudnya?”

“Dulu kamu kayak zombie. Sekarang udah lumayan mirip manusia.”

Rey tertawa pendek. “Iya, berkat kamu sih. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku udah jadi patung di museum.”

Rani tertawa. “Paling juga jadi patung pahlawan patah hati.”

Rey menggeleng sambil tersenyum. “Masa lalu tetap masa lalu, Ran… Tapi hidup harus terus berjalan.”

Mereka kembali diam. Namun kali ini, bukan diam yang menyakitkan.

Ada ketenangan. Ada kehangatan.

Rani tiba-tiba berdiri.

“Rey, aku ada kejutan buat kamu!” katanya dengan semangat.

Rey mengangkat alis. “Apaan?”

Rani mengeluarkan sesuatu dari tasnya—sebuah tiket konser band favorit Rey.

Mata Rey membesar. “Seriusan?! Rani, ini mahal banget!”

Rani tersenyum bangga. “Aku menang giveaway!”

Rey terkekeh. “Pantes aja murah.”

“Hei!” Rani melotot.

Tapi kemudian dia tertawa. Dan Rey ikut tertawa bersamanya.

Mereka saling bertengkar kecil seperti biasa, saling mengejek, saling mengganggu.

Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang hangat dan nyaman.

Sesuatu yang mungkin… lebih dari sekadar persahabatan.

Matahari mulai terbenam, menciptakan warna oranye keemasan di langit.

Dan di antara cahaya senja itu, Rey tahu…

Hidupnya akhirnya kembali memiliki warna.

**end** 



Previous Post
Next Post

Author:

Blog Iqna

adalah blog yang berbagi informasi, tips, tutorial seputar android, windows, hiburan, game, dan Informasi menarik lainnya, Semoga Bermanfaat.