15.3.25

Dibalik Kabut - Cerpen

 


Bagian 1: Desa di Balik Kabut

Udara pegunungan menyambut mereka dengan sejuk saat mobil bak terbuka yang mereka tumpangi memasuki desa. Sepanjang jalan berbatu itu, kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, membuat suasana terasa lebih syahdu—atau kalau menurut Arif, lebih horor.

"Aku sudah mulai menyesal ikut KKN di sini," gerutunya, merapatkan jaketnya.

"Apa sih, Rif? Ini kan keren, vibes-nya kayak film horor!" Bayu berseru antusias, matanya berbinar-binar. Tentu saja, dia tidak akan mengakui kalau satu-satunya alasan dia memilih desa ini adalah seorang gadis cantik bernama Intan yang dikenalnya di media sosial.

"Ya Allah, Bay, KKN itu buat mengabdi ke masyarakat, bukan nyari jodoh," sela Sinta, menyikut lengan Bayu dengan tajam.

"Aduh, Sin! Kamu ini bawel banget. Kita ini kan fleksibel, bisa KKN sambil PDKT!"

Mobil berhenti di depan sebuah rumah berdinding kayu dengan pekarangan kecil yang rapi. Seorang ibu setengah baya dengan senyum ramah menyambut mereka di beranda.

"Selamat datang, Nak. Saya Bu Sarmi, ini rumah kalian selama KKN," ucapnya, sambil menepuk bahu seorang anak perempuan kecil yang bersembunyi di belakangnya. "Ini Sari, anak saya."

Sari mengintip malu-malu dari balik kain jariknya, tapi tatapannya tajam seperti sedang menilai mereka satu per satu.

"Tunggu, kita tinggal di sini?" Arif melirik sekeliling, lalu mendekati Bayu dan berbisik, "Bau-bau rumah tua ini nggak enak, Bay... Jangan-jangan—"

Sebelum Arif bisa menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Sari bersuara pelan, "Di sini nggak ada hantunya..."

Arif langsung melotot. "Hah?! Kok kamu tahu aku mikir gitu?!"

Sari tidak menjawab. Dia hanya menatap Arif lama-lama dengan ekspresi datar.

Sinta tertawa geli. "Mungkin dia bisa baca pikiran orang, Rif. Hati-hati, jangan sampai dia tahu kamu penakut!"

Malam pertama di desa, mereka tidur terpisah sesuai kamar yang disediakan. Arif dan Bayu di satu kamar, Sinta di kamar lain. Saat hendak tidur, Arif berbisik pada Bayu, "Serius, Bay... Desa ini aneh. Aku punya firasat buruk."

Bayu hanya menguap lebar. "Udah tidur aja, Rif. Besok kita mulai KKN. Jangan kebanyakan drama."

Namun, tepat tengah malam, Arif terbangun dengan jantung berdebar.

Dari luar jendela, di bawah remang bulan, tampak sesosok putih berdiri kaku di tengah jalan setapak.

Arif menelan ludah. "Bay... Bayu...!"

Tapi Bayu hanya berguling ke sisi lain, mendengkur santai.

Arif menatap ke luar lagi. Sosok itu masih di sana. Diam. Tidak bergerak.

Lalu, tanpa diduga... kepala sosok itu tiba-tiba miring ke samping, seolah menyadari bahwa Arif sedang menatapnya.

Arif langsung menarik selimut ke kepala dan gemetar. "Astaghfirullah... Aku salah pilih desa..."

Bagian 2: Sambutan Hangat

Pagi yang cerah menyelimuti desa dengan keindahan yang menenangkan. Namun bagi Arif, keindahan itu tidak cukup untuk menghapus bayang-bayang sosok semalam. Ia masih duduk termenung di teras rumah, matanya kosong menatap jalanan berbatu.

"Hei, Rif! Kok lemes gitu? Kurang tidur?" Sinta menepuk punggungnya keras.

"Ada... sesuatu semalam," gumam Arif dengan nada horor.

"Jangan bilang kamu lihat tuyul!" Bayu berkomentar sambil mengunyah gorengan.

"Bukan tuyul, Bay... Poc—"

"Udah, udah! Nggak usah ngomong yang aneh-aneh!" potong Sinta cepat. "Udah mandi belum? Kita bentar lagi ketemu Pak Dosen, loh."

Arif makin merana. "Mandi air dingin di pegunungan? Ini sih siksaan..."

---

Tak lama, mobil tua berdebu memasuki desa dan berhenti di depan balai desa. Seorang pria berkacamata turun dengan gaya khas dosen yang selalu tampak sibuk.

"Baik, kalian adalah kelompok KKN yang mewakili universitas kita," ujar Pak Jatmiko, dosen pendamping mereka, sambil menatap tiga mahasiswa di depannya. "Harusnya ada lima orang, tapi karena satu sakit dan satu lagi gagal administrasi, jadilah hanya kalian bertiga."

"Luar biasa, Pak," Sinta menanggapi sambil menyilangkan tangan. "Dari sekian banyak kelompok KKN, cuma kami yang kayak grup musik akustik."

"Tiga orang juga cukup," ujar Pak Jatmiko santai. "Yang penting kalian bertanggung jawab. Saya titipkan kalian pada Pak Kepala Desa Suraji."

Seorang pria berbadan tambun dengan wajah ramah berdiri di samping dosen mereka. Ia menyambut dengan senyum lebar, meskipun tatapan matanya mengandung sesuatu yang sulit ditebak.

"Selamat datang, anak-anak! Saya Pak Suraji, Kepala Desa di sini. Desa ini butuh tenaga muda seperti kalian!" katanya dengan suara lantang.

"Siap, Pak!" sahut Bayu penuh semangat—lebih semangat daripada saat kuliah.

Setelah beberapa wejangan dan tugas-tugas yang diberikan, Pak Jatmiko pun berpamitan, meninggalkan mereka di bawah pengawasan kepala desa.

"Baiklah," kata Pak Suraji, "sebelum mulai kerja, ayo saya ajak kalian keliling desa dulu. Biar tahu situasi."

Mereka pun mulai berjalan menyusuri desa, melewati rumah-rumah khas pedesaan, sawah yang membentang hijau, dan sungai kecil yang mengalir jernih.

Di tengah perjalanan, Bayu sibuk menoleh ke sana kemari, mencari sosok Intan. "Pak, rumahnya Mbak Intan sebelah mana ya?" tanyanya tanpa malu-malu.

Pak Suraji melirik Bayu dengan tatapan penuh arti. "Oh, Intan... nanti juga ketemu," ujarnya dengan nada menggantung.

Sinta memutar bola matanya. "Ya ampun, Bay. Dari tadi yang kamu cari cuma Intan."

"Lha, aku harus peduli sama apa lagi? Hantu?"

Arif, yang berjalan di belakang, langsung menoleh ke kanan-kiri dengan panik. "Bay, bisa nggak kalau ngomong nggak bawa-bawa mereka?"

Bayu tertawa lebar. "Santai, Rif! Ini siang bolong. Hantu kan shift malam!"

Arif makin pucat.

---

Sementara itu, di sebuah gubuk tua yang tersembunyi, dua pria paruh baya duduk di atas tikar pandan.

"Jadi, mereka sudah datang?" salah satu dari mereka bertanya dengan suara pelan.

"Ya," jawab pria satunya dengan nada puas. "Anak itu memilih desa ini seperti yang kita rencanakan. Umpan kita bekerja dengan baik."

"Hahaha... Dasar laki-laki! Kalau sudah diberi umpan yang cantik, pasti terpancing. Dan untungnya, dia bawa teman perempuannya. Sesuai harapan kita."

Pria pertama mengangguk pelan, senyumnya dingin. "Sekarang kita tinggal menunggu waktu yang tepat..."

Mereka saling bertukar pandang, sebelum akhirnya tertawa pelan.

Bagian 3: Bisikan Samar

Hari itu, mentari bersinar cerah di langit desa yang tenang. Namun, bagi Arif, kecerahan itu tak cukup menghilangkan perasaan tak enak yang entah kenapa semakin mengusiknya.

"Rif, ayo ikut aku ke rumah Intan!" Bayu menarik lengan Arif dengan semangat.

Arif mendelik. "Kenapa harus aku?!"

"Karena aku butuh saksi kalau nanti aku dilamar," jawab Bayu santai.

Sinta menyeringai. "Halah, kamu tuh kayak mie instan kadaluarsa. Nggak laku!"

"Eh, jangan salah, Nduk. Aku ini berkualitas premium, tidak perlu direbus di air mendidih karena cintanya sudah membara," Bayu membalas sambil merapikan rambutnya.

"Ya udah, ayo ke rumahnya sekarang."

"Tunggu dulu, kita ngopi dulu di warung depan. Ngasih surprise jangan buru-buru."

Arif menghela napas panjang. "Aku lebih memilih surprise dalam bentuk transferan."

Mereka akhirnya mampir ke sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan desa. Warung sederhana itu beralas tanah dengan atap dari anyaman daun kelapa. Seorang ibu setengah baya menyambut dengan senyum ramah.

"Monggo pinarak," ujarnya sambil menyajikan kopi hitam pekat dalam cangkir tanah liat.

Saat mereka duduk, terdengar percakapan samar dari beberapa lelaki tua di sudut warung. Suara mereka rendah, seolah tak ingin terdengar oleh sembarang orang.

"Korban ke-12 itu ditemukan di pinggir hutan..."

"Kasihan, katanya sehat-sehat saja kemarin..."

"Nggak ada luka, nggak ada bekas apa pun, seperti orang tidur..."

"Tapi kenapa mesti di tanggal 13?"

Arif dan Sinta saling bertukar pandang. Bayu, yang awalnya sibuk menyeruput kopi, kini mulai memperhatikan dengan lebih serius.

"Pak, korban itu siapa?" tanya Bayu tiba-tiba, membuat semua percakapan di warung terhenti.

Para lelaki tua itu langsung terdiam. Mereka saling melirik sebelum salah satu dari mereka berdeham.

"Nggak ada apa-apa, Nak. Cuma cerita lama."

"Tapi tadi—"

"Nggak ada apa-apa," ulang si bapak dengan nada yang lebih tegas.

Suasana warung tiba-tiba menjadi kaku. Arif merasa tengkuknya meremang. Sinta menggigit bibirnya, sementara Bayu menggaruk kepalanya dengan bingung.

"Nah, gini nih kalau suka ikut campur urusan orang!" bisik Sinta.

"Aku kan cuma nanya..."

Tanpa banyak bicara lagi, mereka memutuskan untuk segera pergi dari warung itu. Namun, pertanyaan di kepala mereka belum terjawab.

---

Tak lama, mereka tiba di depan rumah megah bergaya tradisional yang mencolok di antara rumah-rumah desa lainnya.

"Rumahnya gede banget!" Bayu berseru kagum. "Lihat tuh, Rif! Ini baru rumah calon istriku!"

Arif hanya menatap rumah itu dengan perasaan aneh. Entah kenapa, meskipun terlihat megah, ada sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman.

Pintu rumah terbuka perlahan, dan seorang gadis cantik muncul di ambang pintu. Intan.

Bayu langsung berdiri tegap, memasang senyum paling tampannya.

"Mbak Intan, hai!" sapanya penuh percaya diri.

Intan mengerutkan kening, menatap Bayu seolah melihat orang asing. "Maaf, ini siapa?"

Bayu tersenyum canggung. "Lho, aku Bayu! Kita sering chat di media sosial, ingat?"

Intan tetap tampak kebingungan. "Aku nggak pernah chat sama kamu."

Bayu terdiam, wajahnya berubah aneh. "Tapi... kamu yang bilang kalau desa ini sering jadi tempat KKN, dan nyuruh aku ajak temen ke sini!"

Intan menggeleng pelan. "Aku nggak pernah bilang begitu."

Arif dan Sinta langsung melirik Bayu penuh curiga. "Bay, jangan-jangan kamu halu," gumam Arif.

"Tidak mungkin!" Bayu panik. "Kita sering chat! Kamu sendiri yang ngajak aku ke sini!"

Intan tetap diam, sorot matanya mulai menunjukkan sesuatu yang lain. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berkata, suaranya terdengar lebih pelan.

"Kalian seharusnya tidak ke desa ini."

Sinta tiba-tiba merasakan hawa dingin merayapi punggungnya. Bukan karena kata-kata Intan, tapi karena tatapan gadis itu yang tiba-tiba mengarah padanya.

Sejenak, tidak ada yang berbicara.

Arif menelan ludah. "K-kenapa...?"

Intan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap mereka satu per satu, sebelum akhirnya berkata lirih, "Karena waktunya... tidak tepat."

Suasana menjadi lebih sunyi daripada hutan di malam hari. Bahkan suara burung pun tak terdengar.

"Bay," bisik Sinta. "Aku nggak yakin kita masih pengen ngobrol lama di sini."

Bayu mengangguk, kali ini tidak lagi penuh percaya diri.

Di saat itu juga, terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Intan langsung mundur selangkah dan berkata pelan, "Kalian harus pergi."

Tanpa pikir panjang, Arif menarik Bayu dan Sinta menjauh. Langkah mereka cepat, bahkan hampir seperti setengah berlari.

Ketika mereka sudah cukup jauh, Bayu akhirnya bersuara, "Oke, aku resmi bingung. Kalau bukan Intan, siapa yang ngajak aku ke sini?"

Arif dan Sinta tak menjawab.

Namun, di dalam hati mereka, ada sesuatu yang terasa semakin aneh.

Dan mungkin... sesuatu sedang mengawasi mereka.

Bagian 4: Kopi Pahit

Bayu duduk di beranda rumah warga yang mereka tempati selama KKN, menatap kosong ke arah langit.

"Jadi selama ini aku cuma korban PHP? Hancur sudah harga diriku..." keluhnya sambil menghembuskan napas panjang.

Arif yang sedang mencatat sesuatu di buku tugasnya hanya melirik sekilas. "Harga diri? Emang dari awal punya?"

Sinta tertawa kecil. "Udah, Bay, terima aja kenyataan. Kamu bukan tokoh utama di drama percintaan ini."

Bayu meringis. "Aku pikir KKN ini bakal jadi kisah romansa penuh kenangan. Eh, malah jadi film horor yang tiket masuknya gratis!"

Arif menutup bukunya dan menatap Bayu. "Ya udah, kalau kamu nggak betah, kita fokus aja sama tugas KKN biar cepat kelar."

"Justru itu!" Bayu menunjuk ke arah Arif dengan ekspresi penuh duka. "Kita terjebak dalam KKN yang bakal panjang, membosankan, dan penuh misteri!"

"Tapi kalau dipikir-pikir," Sinta menyela, "Kamu tuh yakin nggak salah desa?"

Bayu mendengus. "Aku yakin! Seratus persen! Intan yang ngajak aku ke desa ini lewat chat!"

Arif melipat tangannya. "Tapi Intan bilang dia nggak pernah ngajak kamu."

Bayu terdiam. "Ya... itu dia masalahnya. Jadi siapa yang sebenarnya ngajak aku ke sini?"

Mereka bertiga terdiam, sebelum akhirnya memutuskan untuk mencari Pak Suraji, kepala desa, untuk membahas tugas KKN mereka.

Pak Suraji menyambut mereka di rumahnya yang sederhana, tapi rapi. Ia duduk di kursi kayu tua, sambil menyeruput teh hangat.

"Nah, anak-anak, bagaimana KKN-nya sejauh ini?" tanyanya ramah.

Arif langsung membuka catatannya. "Kami ingin membahas program yang bisa kami lakukan di desa ini, Pak. Selain itu, kami juga penasaran... biasanya ada mahasiswa KKN lain yang pernah ke sini sebelumnya?"

Pak Suraji mengernyitkan dahi. "Sebenarnya... tidak pernah."

Mereka bertiga saling berpandangan.

"Tidak pernah?" ulang Bayu.

Pak Suraji menghela napas. "Ya, kalian ini kelompok pertama yang KKN di desa ini."

Arif meletakkan bolpennya. "Tapi... biasanya ada banyak mahasiswa KKN ke sini, kan?"

"Itu yang aneh," kata Pak Suraji sambil mengelus janggutnya. "Saya sendiri kaget waktu tiba-tiba ada permohonan KKN masuk untuk desa kami. Desa ini terpencil, jarang didatangi orang luar. Tapi saya pikir, ini kesempatan untuk memperkenalkan desa kami. Saya juga merasa nggak enak kalau menolak, jadi saya setuju."

"Pak Ustadz Mahfud sempat mengingatkan saya, sih," lanjutnya. "Katanya... lebih baik jangan."

Bayu menggigit bibir. "Jangan-jangan Pak Ustadz tahu sesuatu?"

Pak Suraji hanya tersenyum tipis. "Mungkin. Tapi dia orangnya hati-hati dalam bicara. Kalau kalian penasaran, coba saja temui dia."

Sinta mengangguk. "Pak, kami boleh tanya sesuatu lagi?"

"Tentu."

"Apakah Bapak kenal dengan seseorang bernama Intan?"

Begitu nama itu disebut, ekspresi Pak Suraji berubah. Ia tampak terkejut, meski berusaha menyembunyikannya dengan batuk kecil.

"Intan?" ulangnya, nadanya lebih berhati-hati.

"Iya, Pak. Intan, anak Pak Gatot," kata Bayu, matanya berbinar penuh harapan.

Pak Suraji terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Kalian kenal Intan?"

Bayu mengangguk semangat. "Kenal banget! Maksudnya... ya, aku kenal dari media sosial."

Pak Suraji menatap Bayu lama, seakan ingin memastikan sesuatu. "Hati-hati kalau berurusan dengan keluarga Pak Gatot."

Ketiganya langsung merinding.

Sinta menelan ludah. "Maksudnya... kenapa, Pak?"

Pak Suraji tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu meneguk tehnya dengan santai.

"Kalian akan tahu sendiri nanti."

Suasana di ruangan itu mendadak sunyi. Bahkan suara jangkrik pun terdengar lebih jelas.

Bayu mencoba mencairkan suasana dengan tertawa canggung. "Pak, kenapa ngomongnya kayak di film-film horor gitu sih?"

Pak Suraji tertawa kecil, tapi matanya tetap menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. "Kalian lebih baik fokus dengan tugas KKN kalian. Jangan terlalu banyak mencari sesuatu yang tidak perlu."

Sinta mencubit lengan Bayu pelan. "Bay, aku udah nggak yakin kita bakal lulus KKN dengan selamat."

Bayu menelan ludah. "Aku juga..."

Arif hanya menatap kosong ke depannya. Ia merasa ada sesuatu yang semakin janggal.

Dan yang lebih buruk... ia merasa mereka belum mengetahui separuh dari misteri yang sebenarnya.

Bagian 5: Gadis Misterius dan Teror Malam di Desa Sunyi

Sudah hampir satu bulan mereka menjalani KKN di desa terpencil itu. Anehnya, mereka mulai terbiasa. Bahkan, diam-diam mereka merasa betah.

Meski begitu, ada satu hal yang terus menghantui Bayu—bukan hantu beneran, tapi sesuatu yang lebih menyesakkan dada.

"Kenapa di desa ini hampir nggak ada cewek seumuran kita?" Bayu bertanya saat mereka duduk santai di teras rumah kos.

Arif menyesap tehnya santai. "Tanya sama diri sendiri, Bay. Mungkin ini balasan buat cowok-cowok modus yang KKN cuma buat nyari jodoh."

Bayu mendelik. "Sinta, menurutmu?"

Sinta yang sedang sibuk dengan ponselnya hanya mendesah. "Gimana ya, Bay. Sejauh ini, cewek yang kita kenal cuma aku sama Intan."

Bayu mengusap wajahnya, frustasi. "Ini kan aneh! Desa ini nggak mungkin cuma dihuni bocah, emak-emak, dan bapak-bapak!"

Mereka lalu bertanya pada Bu Sarmi, ibu kos mereka, sambil membantu membereskan dapur.

"Oh, sebenarnya banyak gadis muda di desa ini," kata Bu Sarmi santai sambil mengiris bawang merah.

Bayu langsung sumringah. "Nah, tuh! Terus kenapa nggak pernah keliatan?"

"Tapi mereka nggak boleh keluar rumah sembarangan," lanjut Bu Sarmi. "Apalagi kalau sudah menikah dan punya anak."

Bayu tersedak. "Maksud Ibu, mereka semua udah menikah?!"

Bu Sarmi tertawa kecil. "Bukan semua, tapi kebanyakan."

Bayu langsung lemas. "Ini desa atau asrama putri yang tersembunyi? Kenapa nggak boleh keluar rumah?"

Bu Sarmi hanya tersenyum tipis. "Adat, Nak. Adat."

Jawaban itu justru makin membuat Bayu penasaran. Tapi sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Arif sudah menariknya pergi. "Udah, Bay. Jangan macem-macem."

Meski begitu, hari-hari mereka tetap penuh warna.

Anak-anak kecil di desa itu benar-benar lucu… dan juga luar biasa nakal. Hampir tiap hari ada saja yang bikin Bayu kesal, mulai dari sembunyi di dalam lemari saat bermain petak umpet sampai memasukkan kodok ke dalam sepatunya.

Pemandangan desa pun luar biasa indah. Sawah luas, perbukitan hijau, dan sungai jernih di kejauhan membuat suasana terasa menenangkan.

Warganya juga ramah, meski agak tertutup soal beberapa hal.

Tapi yang paling menarik adalah cerita-cerita horor yang selalu mereka dengar.

Setiap malam, warga sering membicarakan penampakan. Ada yang melihat bayangan hitam di belakang rumah, suara-suara aneh di dekat sumur tua, hingga hantu-hantu iseng yang suka mengerjai orang.

Bayu awalnya menganggap itu bualan, sampai suatu malam…

Arif lari terbirit-birit dari kamar mandi luar, hanya mengenakan sarung yang hampir melorot.

"Ada yang megang pundakku!" teriaknya panik.

Bayu dan Sinta yang sedang santai di ruang tamu langsung panik.

"Siapa?!"

"Mana aku tahu! Aku kira Sinta atau kamu! Pas aku nengok, nggak ada siapa-siapa!"

Sinta menahan tawa. "Mungkin itu cuma angin, Rif."

Arif memelototinya. "Kalau angin bisa ngetok pundak tiga kali, aku pasrah!"

Bayu tertawa terbahak-bahak. "Jadi gini ya, calon pemimpin masa depan? Kalah sama hantu iseng?"

Arif mendengus. "Kita lihat aja nanti kalau kamu yang kena."

Dan benar saja.

Beberapa malam kemudian, saat Bayu baru keluar kamar, tiba-tiba terdengar suara perempuan berbisik tepat di telinganya.

"Bayu…"

Ia refleks menoleh ke kanan. Kosong.

Menoleh ke kiri. Juga kosong.

Sekujur tubuhnya merinding.

Tiba-tiba… JLEB!

Seseorang menepuk pundaknya dari belakang!

Bayu langsung menjerit dan meloncat ke depan, hampir menabrak pintu.

Saat menoleh, ternyata hanya Arif dan Sinta yang menatapnya datar.

"Bay, kalau mau latihan opera, kasih tahu dulu," kata Arif santai.

Bayu masih megap-megap. "Serius! Barusan ada yang manggil nama aku!"

Sinta melirik Arif. "Sudah mulai, Rif. Dia udah kena giliran."

Bayu memelototi mereka. "Aku nggak gila!"

Tapi malam-malam berikutnya, kejadian aneh terus berlanjut.

Lampu kamar sering redup sendiri. Suara langkah kaki terdengar di atap, padahal nggak ada orang. Dan yang paling parah, Bayu pernah melihat bayangan hitam melintas di jendela kamarnya saat tengah malam.

Namun di balik semua kejadian itu, ada satu hal yang justru membuat Bayu penasaran.

Sosok seorang gadis.

Setiap sore menjelang senja, Bayu selalu melihatnya di kejauhan.

Gadis itu cantik, berambut panjang, dan selalu mengenakan pakaian sederhana khas desa. Setiap kali Bayu mencoba mendekat atau menyapanya, gadis itu hanya tersenyum… lalu pergi begitu saja.

Anehnya, tidak ada yang mengenalnya.

Bahkan Bu Sarmi sekalipun.

Saat Bayu menceritakannya ke Sinta dan Arif, mereka hanya mengernyitkan dahi.

"Gadis muda? Di desa ini?" tanya Sinta ragu.

"Dia nggak pernah bicara, cuma senyum terus pergi," kata Bayu. "Aku ngerasa dia kayak…"

"Kayak apa?"

Bayu menggeleng. "Entahlah. Ada yang aneh."

Sinta menatapnya tajam. "Jangan-jangan… kamu jatuh cinta?"

Bayu tertawa. "Masa aku jatuh cinta sama orang yang aku nggak kenal?"

Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang mengganggunya.

Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Sementara mereka bercanda, mereka tidak menyadari bahwa di luar, di bawah remang-remang bulan, gadis misterius itu kembali muncul.

Dan matanya… menatap langsung ke arah mereka dengan tatapan misterius.

(Bersambung ke Bagian 6)

Bagian 6: Kisah Cinta Monyet Segitiga dengan Hantu Pemalu

Sudah beberapa hari ini, Bayu merasa hatinya seperti diiris-iris. Bukan karena setan beneran, tapi karena sesuatu yang jauh lebih menyakitkan—cinta bertepuk sebelah tangan.

Ya, Bayu, sang buaya kampus, patah hati.

Semuanya bermula ketika gadis misterius yang selalu tersenyum padanya akhirnya mulai berani berinteraksi.

Awalnya, Bayu senang bukan main. Gadis itu bukan hanya cantik, tapi juga lembut dan pemalu. Setiap kali mereka bertemu di jalan setapak menuju hutan atau di tepi sawah saat senja, gadis itu akan tersenyum malu-malu, terkadang tersipu saat Bayu menggodanya.

Hingga akhirnya… semua berubah.

Bukan karena kedatangan Avatar, tapi karena si gadis ternyata lebih tertarik pada… Arif.

Arif.

Si anak mager, si pemalas, si penakut yang pernah nangis gara-gara dikerjain hantu!

"Enggak, enggak! Ini pasti salah!" Bayu berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Tapi bukti terus bertambah.

Setiap kali mereka bertiga bertemu dengan gadis itu, dia selalu berdiri lebih dekat ke Arif.

Kalau Bayu yang bertanya, dia hanya menjawab singkat.

Tapi kalau Arif yang ngomong, gadis itu mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tersenyum dan—astaga—bahkan terkikik pelan!

Dan puncaknya terjadi malam itu, di depan warung kopi desa.

Mereka bertiga sedang duduk santai di bangku panjang, menikmati udara dingin sambil ngobrol tentang tugas KKN yang nggak ada habisnya.

Tiba-tiba, gadis misterius itu datang dan duduk di sebelah Arif.

Tanpa berkata apa-apa, dia menaruh sesuatu di atas meja.

Setangkai bunga melati.

Arif yang sedang menyesap kopi hampir tersedak. "Uhuk! Apa-apaan ini?"

Gadis itu hanya tersenyum malu-malu. "Untukmu."

Bayu melongo. "Hah?! Kok buat dia?"

Gadis itu menoleh ke arah Bayu, masih tersenyum tapi tidak berkata apa-apa. Seolah-olah… seolah-olah Bayu hanyalah figuran dalam drama ini.

Bayu ingin protes, ingin berteriak “AKU YANG PERTAMA KALI NEMU KAMU!”

Tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara lirih penuh kegetiran. "Oh… oke…"

Arif tampak panik. "Eh, eh, ini… terima kasih, tapi… kita kan baru kenal…"

Gadis itu tersenyum lagi. "Tidak apa-apa. Aku suka melihatmu."

Bayu hampir pingsan. Aku suka melihatmu? KALAU MAU MERASAKAN CINTA PERTAMA, KENAPA HARUS ARIF?!

Sinta yang sedari tadi hanya mendengarkan, akhirnya angkat bicara. "Wah, Rif. Akhirnya ada juga yang suka sama kamu."

Arif cemberut. "Aku merasa ini seperti jebakan."

Gadis itu tertawa kecil, lalu—seperti biasa—pergi begitu saja. Tanpa pamit.

Bayu menghela napas panjang. "Gila. Ini bukan plot yang aku inginkan."

Sinta terkekeh. "Bay, udah lah. Kamu kan punya banyak pengalaman ditolak cewek."

Bayu menggeleng lemah. "Tapi nggak pernah sesakit ini…"

Arif hanya bisa mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi. "Tolong, aku cuma mau KKN yang damai…"

Yang lebih aneh, tidak ada satu pun warga yang memperhatikan kehadiran gadis itu. Bahkan Bu Sarmi pun tidak menaruh curiga sedikit pun.

Setiap kali mereka bercerita tentang gadis misterius yang sering mengunjungi mereka, Bu Sarmi hanya tersenyum santai.

"Ah, ya. Mungkin gadis desa sini yang pemalu," katanya ringan.

Bayu mulai berpikir… Jangan-jangan cuma kita yang bisa melihatnya?

Tapi dia segera membuang pikiran itu jauh-jauh.

Bagaimana pun juga, cinta adalah misteri.

Tapi kalau sampai dia kalah dari Arif…

Itu bukan misteri.

Itu tragedi.

Bagian 7: Sinta Hilang

Malam itu, desa geger.

Tanggal 12 Februari. Malam Jumat Kliwon. Atau kalau pakai penanggalan Jawa… tanggal 13.

Sebuah kombinasi tanggal yang kalau masuk film horor, pasti berakhir dengan jeritan dan kejar-kejaran.

Dan benar saja.

Sinta menghilang.

Tak ada tanda-tanda kepergiannya. Barang-barangnya masih rapi di kamar. HP-nya tertinggal di meja. Bahkan sandal jepit kebanggaannya pun masih ada di teras.

Kejadian ini membuat seluruh desa heboh. Warga berbondong-bondong keluar rumah, membawa senter, pentungan, dan doa-doa keselamatan.

Pak Suraji, sang kepala desa, langsung mengorganisir tim pencarian. "Kita bagi jadi beberapa kelompok! Periksa sawah, hutan, sungai, dan sekitar rumah kosong!"

Di antara semua yang panik, hanya ada dua orang yang tampak lebih syok daripada yang lain.

Bayu dan Arif.

Bukan karena kehilangan Sinta… tapi karena ini berarti—

"Tunggu… ini berarti kita harus ikut nyari, kan?" Bayu melongo.

Arif yang wajahnya sudah sepucat mayat, menelan ludah. "Ya… tapi… kita nggak bisa ikut kelompok yang ke hutan, kan?"

Pak Suraji menepuk bahu mereka. "Bayu, Arif, kalian ikut saya."

Bayu langsung berbisik ke Arif. "Fix, kita bakal mati duluan."

Arif meratap dalam hati. Kenapa harus ikut yang ke hutan?!

Namun, di tengah perjalanan pencarian, sesuatu terjadi.

Tiba-tiba, ketika Bayu dan Arif terpisah sejenak dari rombongan, muncul sosok gadis misterius di hadapan mereka.

Gadis cantik itu, yang selama ini hanya tersenyum dan menghilang tanpa pamit, kini berdiri di bawah remang cahaya bulan.

Tapi kali ini, senyumnya tidak sekadar malu-malu.

Ada sesuatu di matanya.

Sebuah keseriusan.

Sebuah… peringatan.

"Ikut aku," katanya, suaranya lembut namun dingin.

Bayu dan Arif saling berpandangan.

"Kamu mau ngajak kita ke tempat terang, kan?" tanya Arif dengan harapan tinggi.

Gadis itu hanya tersenyum.

Lalu berbalik… dan berjalan ke arah yang lebih gelap.

Bayu langsung menarik lengan Arif. "Bro. Fix. Kita bakal mati."

"Tapi kalau kita nolak, bisa-bisa Sinta beneran nggak ketemu," bisik Arif.

Mereka menelan ludah.

Lalu, dengan langkah ragu-ragu, mengikuti gadis misterius itu.

Menyusuri jalan setapak di pinggir hutan, diiringi suara jangkrik yang makin lama makin terdengar seperti bisikan.

Angin malam berhembus pelan, membawa aroma lembab tanah dan… sesuatu yang lain.

Sesuatu yang asing.

Mereka terus berjalan, mengikuti gadis itu yang melangkah dengan tenang, seolah-olah sudah tahu ke mana harus pergi.

Sampai akhirnya, mereka tiba di sebuah tempat.

Bayu dan Arif membelalakkan mata.

Di depan mereka…

Berdiri sebuah rumah tua, beratap rumbia yang hampir runtuh, dengan dinding kayu yang penuh lumut dan jendela terbuka menganga seperti mata yang mengintai.

Gadis itu berhenti di depan pintu.

Lalu menoleh ke mereka.

Dan tersenyum.

"Tunggu di sini," katanya, sebelum masuk ke dalam rumah… dan menghilang begitu saja.

Bayu dan Arif terpaku.

Arif gemetar. "Bay… aku udah nggak kuat… aku mau pulang…"

Bayu menghela napas panjang. "Kita udah sejauh ini, Rif. Mau nggak mau, kita harus masuk."

Mereka menatap pintu rumah tua itu.

Gelap.

Hening.

Hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan.

Sampai akhirnya…

TAP TAP TAP

Suara langkah kaki terdengar dari dalam.

Dan sebuah bayangan bergerak di balik pintu.

Bayu dan Arif langsung merapat satu sama lain.

Lalu…

Pintu itu mulai terbuka… perlahan…

(Bersambung ke Bagian 8)

Bagian 8: Misteri di Gubuk Tua

Pintu kayu itu berderit terbuka.

Bayu dan Arif langsung merapat, siap kabur kalau yang keluar sesuatu yang nggak manusiawi.

Tapi yang muncul…

“SINTA?!”

Mereka membelalakkan mata.

Sinta berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tatapannya kosong seperti habis nonton film horor sendirian di kuburan.

“Sinta! Kamu nggak apa-apa?” Arif langsung mendekat.

Sinta membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Dia hanya menatap mereka dengan ekspresi bingung… dan ketakutan.

Lalu, tiba-tiba…

Dia senyum.

Senyum yang terlalu lebar untuk ukuran seseorang yang baru saja hilang secara misterius.

“HAHAHA! KALIAN NGGAK TAU BETAPA SENENGNYA AKU KETEMU KALIAN!” Sinta tiba-tiba menjerit girang dan langsung menubruk Arif dan Bayu sekaligus.

Bayu nyaris jatuh. “WOI! Kita khawatir setengah mati, tahu!”

Sinta mendongak dengan wajah yang masih campuran antara lega dan ketakutan. “Gila! Aku pikir aku bakal mati!”

Arif menepuk pundaknya. “Kita di sini sekarang. Udah aman.”

Sinta terdiam sejenak, seolah mengingat sesuatu. Lalu, ekspresinya berubah serius. “Nggak… belum aman… Ada seseorang yang harus kita tolong.”

Bayu dan Arif saling berpandangan.

“Siapa?” tanya Bayu.

Sinta menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan pikirannya. “Intan…”

Bayu langsung freeze seperti komputer jadul. “I-Intan? INTAN ANAK PAK GATOT?!”

Arif menatapnya bingung. “Tunggu… Intan yang mana?”

Bayu berdeham. “I-Itu… yang… yang dulu aku suka…”

Arif menatap Bayu lama, lalu menghela napas. “Ya ampun, Bay. Suka aja belum tentu dapet, udah repot-repot mau jadi pahlawan penyelamat.”

“INI SOAL NYAWA, BEGO! BUKAN ROMANTISME!”

Sinta mengangkat tangan, menghentikan perdebatan mereka. “Dengerin aku dulu! Aku diculik sama dua orang misterius, terus disekap di gubuk deket kuburan. Tapi saat penculiknya pergi, ada seseorang yang nolong aku…”

Mereka menahan napas.

Sinta menelan ludah. “Intan…”

Sunyi. Hanya suara angin yang berhembus pelan.

“Intan… nyuruh aku lari. Dia gantiin aku di sana.”

Mata Bayu membulat. “APA?!”

Arif juga tampak tegang. “Jadi dia masih di sana?”

Sinta mengangguk. “Tapi aku nggak ingat tempat pastinya… Kalau nggak salah, di sekitar pemakaman tua di atas bukit.”

Bayu dan Arif sama-sama tercekat.

“P-Pemakaman tua di atas bukit?” Bayu tertawa kaku. “Yang… konon katanya sering ada suara-suara aneh di malam hari?”

Arif menggaruk kepala. “Yang konon ada sosok bayangan putih suka berdiri di antara nisan?”

Sinta mengangguk lagi. “Iya, yang itu.”

Sunyi lagi.

Bayu memegang pundak Sinta. “Dengar, Sin… Kamu udah selamat. Ini waktunya kita semua pulang dan melapor ke warga. Biar tim pencari yang urus—”

“BAYU.”

Sinta menatapnya tajam.

“Kita harus cari Intan. Sekarang.”

Bayu menghela napas panjang, menyesali semua keputusan hidup yang membawanya ke titik ini.

Tapi sebelum mereka sempat bergerak, seorang gadis lain muncul dari dalam gubuk.

Gadis cantik misterius.

Yang selalu muncul tiba-tiba.

Yang selalu menghilang tanpa pamit.

Yang entah kenapa selalu memberi perhatian lebih ke Arif.

Arif langsung terdiam.

Bayu langsung manyun.

Gadis itu menatap mereka, lalu tersenyum kecil. “Aku pamit pulang.”

Arif refleks ingin menahan, tapi gadis itu sudah berbalik.

Dan sebelum benar-benar pergi, dia sempat melirik Arif sebentar.

Tatapan penuh makna. Penuh perhatian.

Bayu mendengus. “Serius? Bahkan dalam situasi begini, kamu masih ada momen?”

Arif menggaruk kepala, wajahnya merah. “Bukan salahku kalau dia perhatian…”

Bayu memutar mata. “Cih. Ini nggak adil.”

Sinta mendelik ke arah mereka. “KALIAN BERDUA MASIH SEMPET BERANTEM SOAL CINTA?!”

Arif dan Bayu langsung diam.

Sinta menarik napas panjang, lalu melangkah maju. “Ayo. Kita harus cari Intan.”

Mereka bertiga menatap kegelapan di ujung jalan setapak.

Di balik sana, pemakaman tua menunggu.

Dan entah apa lagi yang menanti mereka di dalamnya.

Bagian 9: Malam di Pemakaman Tua

Angin malam berembus dingin ketika Arif, Bayu, dan Sinta akhirnya bertemu dengan Pak Suraji di tengah pencarian.

“SINTA!” Pak Suraji berseru lega. “Ya Allah, Nak! Kamu nggak apa-apa?”

Sinta mengangguk cepat, meski wajahnya masih tampak tegang. “Saya baik-baik saja, Pak, tapi—”

“Intan!” potong Bayu, suaranya penuh urgensi. “Intan masih di sana, Pak! Dia yang menggantikan Sinta!”

Pak Suraji dan para warga yang ikut mencari langsung saling pandang.

“Apa maksudmu?” tanya Pak Suraji dengan alis berkerut.

Dengan napas tersengal, Sinta menjelaskan semuanya—penculikan, gubuk dekat kuburan, dan Intan yang mengambil tempatnya.

Begitu mendengar itu, wajah Pak Suraji langsung mengeras. Dia berbalik menghadap warga. “Kita ke pemakaman tua! SEKARANG!”

Para warga, meski gentar, mengikuti pemimpin mereka dengan semangat membara.

Di dalam gubuk tersembunyi dekat kuburan tua, nyala api lilin bergetar seiring suara mantra yang bergema di udara.

Pak Gatot berdiri di sisi ruangan, wajahnya tegang, namun matanya dipenuhi ketamakan.

Di depannya, seorang dukun tua dengan jubah hitam mengayunkan tangannya ke arah tubuh seorang gadis yang terikat di atas tikar ritual.

Gadis itu tidak bergerak.

Kepalanya tertutup kain hitam.

Dukun itu mendongak, menatap bayangan hitam besar yang mulai muncul dari kegelapan.

Genderuwo hitam itu menyeringai, suara tawanya bergetar di udara. “Dengan tumbal ini, hanya tinggal satu lagi… lalu perjanjian kita akan sempurna.”

Pak Gatot menelan ludah, tangannya gemetar. “Setelah ini… aku akan mendapatkan semuanya, bukan?”

Dukun itu mengangguk. “Harta, kekuasaan… Bahkan dunia bisa kau genggam.”

Pak Gatot menarik napas panjang. Dia menatap gadis yang berbaring itu dengan ekspresi ragu sejenak, lalu menguatkan hatinya.

Di luar, di tengah kabut tipis yang menyelimuti kuburan tua, rombongan warga tiba.

Pak Suraji melangkah paling depan, wajahnya penuh determinasi.

Di belakangnya, Arif tampak ketakutan sambil menggenggam lengan Bayu erat-erat. “B-Bayu… aku nggak mau kena santet…”

Bayu mendecak. “Lepasin tangan gue! Keringet dingin lo nular!”

Sinta, meski jelas masih trauma, melangkah tegap di samping mereka. “Itu gubuknya! Cepat!”

Tanpa menunggu lebih lama, mereka menerjang masuk.

Pak Gatot tersentak ketika pintu gubuk terbuka lebar dengan suara keras.

Pak Suraji berdiri di ambang pintu bersama para warga.

Mata Pak Gatot membelalak saat melihat Sinta. “Kamu… KENAPA KAMU ADA DI SINI?!”

Lalu, sebelum dia sempat berpikir lebih jauh…

Dukun itu menarik kain hitam yang menutupi wajah sang tumbal.

Pak Gatot merasa jantungnya berhenti.

“INTAN?!”

Tubuhnya langsung lemas.

Di depan matanya, putrinya sendiri menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Bapak…” suara Intan bergetar, penuh rasa sakit dan kecewa. “Kenapa?”

Pak Gatot mundur selangkah, wajahnya seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk.

“Nggak… Nggak mungkin… Ini nggak mungkin…”

“Bapak…” Intan terisak. “Aku anakmu, Pak…?”

Pak Gatot terdiam. Tangannya gemetar hebat. “A-Aku… Aku nggak tahu, Nak… Aku nggak tahu kalau—”

“Kenapa, Pak?” suara Intan pecah. “Apa Bapak segitu butuhnya sama harta sampai rela ngorbanin orang tak bersalah?”

Pak Gatot membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.

Air mata Intan jatuh. “Aku cuma mau Bapak… Aku nggak butuh Bapak jadi kaya. Aku cuma mau Bapak yang dulu… yang sayang sama aku… yang baik pada semua orang”

Pak Gatot menunduk, tubuhnya bergetar. “Aku… Aku…”

Saat itu, jeritan menggelegar mengguncang udara.

Genderuwo hitam itu menatap ke arah pintu dan melihat rombongan warga.

Mata merahnya menyipit ketika melihat seseorang berdiri di belakang Pak Suraji.

Pak Ustadz.

Genderuwo itu mematung.

Pak Ustadz mengangkat alis. “Hah? Baru lihat gue?”

Genderuwo itu langsung mundur.

Tanpa menunggu, Pak Ustadz mengangkat tangan dan mulai melantunkan doa.

Genderuwo itu memekik. “TIDAK! AKU BELUM DAPAT TUMBALKU!”

Pak Ustadz tersenyum tipis. “Nggak dapet tumbal, dapet hidayah aja, mau?”

Genderuwo itu langsung panik.

Tiba-tiba, sosok hitam besar itu langsung… KABUR.

Begitu saja.

Menghilang ke dalam bayangan dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk makhluk sebesar itu.

Bayu melongo. “Itu… Itu tadi genderuwo?”

Arif masih menempel di dinding. “M-Makhluk mengerikan… Yang super kuat… yang bisa menguasai dunia…”

Bayu berkedip. “Tapi lari lebih cepat dari maling ayam…”

Pak Ustadz menepuk tangannya. “Ya sudah. Satu setan beres.”

Dukun yang tadi memimpin ritual langsung pucat. Tanpa membuang waktu, dia berlari ke arah belakang gubuk.

Pak Suraji dan warga berusaha mengejar, tapi dukun itu terlalu cepat dan berhasil kabur ke dalam hutan.

Namun, Pak Gatot tidak kemana-mana.

Dia masih berdiri di tempatnya, menatap Intan dengan mata merah dan wajah penuh penyesalan.

Pak Suraji mendekat. “Gatot… Kamu ikut kami ke balai desa.”

Pak Gatot tidak melawan. Dia hanya menunduk, menyerahkan diri.

Sementara itu, Intan masih berdiri di sana, terisak dalam diam.

Sinta mendekat dan menggenggam tangannya.

“Udah… Kamu selamat sekarang.”

Intan mengangguk pelan.

Dan malam yang mencekam itu akhirnya berakhir.

Bagian 10: Malam Perpisahan

Dua bulan berlalu sejak KKN dimulai. Desa yang dulu penuh ketegangan kini berubah total. Tak ada lagi gangguan aneh, suara-suara misterius di malam hari, atau bayangan yang melintas di tepi hutan.

Warga desa hidup lebih tenang, bahkan lebih ceria.

Tentu saja, ada alasan besar di balik semua itu.

Secara gaib—dan sangat silent—gadis pemalu misterius yang selalu muncul tiba-tiba ternyata bukan gadis biasa.

Dia adalah ratu jin penunggu bukit desa.

Dengan kesaktiannya, dia sudah menjewer hantu-hantu iseng sampai kapok. Bahkan, genderuwo yang dulu hampir sukses dengan ritual pesugihan sudah dia hukum dengan memasukkannya ke dalam kendi tua. Sekarang, genderuwo itu tak lagi sesumbar soal menguasai dunia. Dia hanya bisa merenung di dalam kendi sambil membaca wirid tobat.

Pak Gatot dan dukun sesat? Sudah lama diciduk polisi.

Desa ini kini aman, tenteram, dan bebas dari makhluk-makhluk rese.

Namun, bagi Bayu, perubahan terbesar bukan itu.

Melainkan… jumlah gadis desa yang tiba-tiba bermunculan.

“Gila… Selama dua bulan ini, ke mana aja mereka?” bisik Bayu, matanya berbinar-binar seperti menemukan tambang emas.

Sinta melirik sinis. “Mungkin mereka kabur pas lihat kamu pertama kali.”

Bayu menaruh tangan di dada, berpura-pura terluka. “Sakit, tahu. Sakit banget.”

Intan, yang kini makin akrab dengan mereka bertiga, tertawa kecil. “Mungkin dulu mereka takut sama gangguan mistis. Sekarang, karena desa aman, jadi mereka keluar.”

“Bukan cuma keluar…” Bayu bersiul kecil. “Mereka juga makin cantik!”

Arif mendecak. “Jadi lu makin betah di sini, ya?”

Bayu menatap langit malam yang bertabur bintang dengan ekspresi penuh makna. “Rasanya… ada panggilan jiwa buat tetap tinggal.”

Sinta dan Arif langsung mendorong kepala Bayu bersamaan.

Malam perpisahan berlangsung meriah.

Penduduk desa menggelar pesta sederhana di balai desa. Ada tumpeng, ayam goreng, dan tentu saja, air mineral sebagai minuman utama karena trauma insiden ‘teh pahit’ di awal kedatangan mereka.

Warga tampak akrab dengan ketiga mahasiswa itu. Mereka tak lagi dianggap tamu, melainkan keluarga.

Bayu sibuk bercanda dengan para gadis desa (yang entah kenapa, makin banyak mengelilinginya).

Sinta berbincang dengan Intan dan beberapa ibu-ibu yang berusaha mengajaknya menikah dengan pemuda desa.

Arif?

Dia mojok sendirian.

Tapi anehnya, meski tampak sendiri, warga desa melihatnya seperti sedang berbicara… dengan udara.

Beberapa orang saling lirik.

“Mungkin kecapekan…” bisik seseorang.

Atau… kerasukan halus?

Namun, bagi mereka yang paham—seperti Bayu, Sinta, dan terutama Pak Ustadz—mereka tahu Arif tidak sendirian.

Di depan Arif berdiri seorang gadis pemalu, dengan senyum lembut yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang terpilih.

Arif menggaruk kepala. “Jadi… Besok aku pulang ke kota.”

Gadis itu hanya tersenyum.

Arif berdeham, jelas canggung. “A-aku… Kalau kamu mau… Kamu bisa ikut ke kota. Kuliah di kampusku.”

Gadis itu tertawa kecil. “Aku… gadis desa. Terikat adat. Aku tak bisa meninggalkan tempat ini.”

Arif terdiam. Entah kenapa, dadanya terasa berat.

Gadis itu melanjutkan, suaranya lembut. “Tapi kamu harus hidup dengan baik… Dan jangan jadi penakut lagi.”

Arif mengangguk, tapi dalam hatinya dia merasa… jatuh cinta.

Sayang, momen itu tak bertahan lama.

Tiba-tiba, seorang anak kecil berusia tujuh tahun—anak ibu kos tempat mereka menginap—berlari mendekat.

“Om Arif…” Suaranya polos. “Om ngomong sama siapa?”

Arif menoleh.

Dan saat itu juga, dia tersadar.

Dia berdiri di sudut ruangan, sendirian.

Gadis pemalu itu sudah menghilang.

Warga yang memperhatikan mulai berbisik-bisik.

Pak Ustadz hanya tersenyum.

Bayu?

Dia justru terlihat iri bombay.

Namun sebelum ada yang sempat berkata apa-apa…

Arif mendadak pingsan.

Langsung.

Jeblok ke tanah seperti pohon tumbang.

“YA ALLAH! Arif kesurupan?!” teriak seseorang.

“Bukan,” kata Bayu santai. “Palingan karena kaget.”

Dan begitulah malam perpisahan mereka.

Kacau.

Kocak.

Dan tetap… penuh misteri.

(Tamat?)


***

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.

Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.

***


Previous Post
Next Post

Author:

Blog Iqna

adalah blog yang berbagi informasi, tips, tutorial seputar android, windows, hiburan, game, dan Informasi menarik lainnya, Semoga Bermanfaat.