3.3.25

Ego - Kisah dan Inspirasi


Damar adalah seorang pengusaha muda yang sukses di bidang kuliner. Restorannya selalu ramai, dan ia yakin bahwa dirinya memiliki insting bisnis yang luar biasa. Setiap keputusan ia ambil sendiri tanpa mendengar pendapat orang lain, termasuk dari para karyawannya yang sudah bertahun-tahun bekerja di industri ini.

Suatu hari, seorang manajer kepercayaannya, Rudi, memberanikan diri memberi saran. “Pak Damar, tren makanan sehat sedang naik daun. Banyak pelanggan mulai mencari menu rendah kalori. Mungkin kita bisa menambahkan beberapa menu sehat agar tetap kompetitif.”

Damar tertawa kecil sambil menyilangkan tangan. “Rudi, kau terlalu khawatir. Restoran kita sudah punya pelanggan tetap. Orang-orang datang ke sini karena makanan kita enak, bukan karena mereka ingin diet.”

Rudi hanya mengangguk. “Baik, Pak. Saya hanya menyampaikan masukan.”

Waktu berlalu, restoran lain mulai menawarkan pilihan menu yang lebih sehat. Pelanggan setia Damar perlahan berpindah ke tempat lain yang mengikuti tren. Jumlah pengunjung menurun drastis, dan ulasan online mulai dipenuhi komentar negatif tentang kurangnya variasi menu.

Melihat bisnisnya merosot, Damar mulai panik. Ia mencoba menawarkan diskon besar-besaran, tetapi tetap saja pelanggan enggan kembali. Ia akhirnya mencari Rudi.

“Rudi, aku butuh bantuanmu. Restoran kita sepi. Apa yang harus kita lakukan?”

Rudi menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Saya sudah memberi saran sejak dulu, Pak. Tapi saat itu, Bapak tidak mau mendengar.”

Damar terdiam. Ia akhirnya sadar bahwa kesuksesan masa lalu bukan jaminan untuk masa depan. Jika saja ia lebih terbuka terhadap saran, bisnisnya tidak akan terpuruk seperti ini.

Dengan penuh penyesalan, Ia mulai menyadari bahwa kesombongannya dalam menolak nasihat bukanlah tanda kekuatan, melainkan awal dari kehancuran.

*I*

Damar mengumpulkan seluruh karyawannya di ruang pertemuan restoran. Tatapan mereka penuh harap, meskipun beberapa masih ragu apakah Damar benar-benar siap mendengar mereka kali ini.

“Baik,” ucap Damar, menghela napas sebelum melanjutkan. “Aku ingin mendengar saran kalian. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?”

Seketika suasana menjadi lebih hidup. Satu per satu karyawan mengutarakan ide mereka. Ada yang menyarankan menu sehat, ada yang mengusulkan konsep makan siang cepat saji untuk pekerja kantoran, dan ada pula yang mengajukan ide promo khusus untuk menarik pelanggan lama kembali.

Damar berusaha mendengarkan dengan serius, meskipun sesekali ia tak bisa menahan diri untuk berdebat.

“Kita bikin menu salad?” tanyanya dengan nada skeptis setelah salah satu koki menyarankan ide itu. “Tapi restoran kita terkenal dengan makanan berbumbu kuat. Apa pelanggan kita mau makan sayur dingin begitu saja?”

Koki itu tetap tenang. “Bisa kita sesuaikan, Pak. Kita tambahkan bumbu khas restoran ini ke dressing-nya. Jadi tetap punya ciri khas.”

Damar terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Hm… masuk akal.”

Lalu seorang pelayan mengusulkan program diskon khusus untuk pelanggan tetap, tapi Damar langsung menimpali, “Kalau terlalu banyak diskon, nanti kita rugi.”

Manajer Rudi tersenyum kecil. “Kita bisa batasi di jam tertentu atau buat paket khusus. Jadi tetap menguntungkan.”

Diskusi berjalan panjang, kadang penuh tawa, kadang penuh adu pendapat. Tapi perlahan, Damar mulai memahami sesuatu. Ia tidak hanya sekadar mendengar saran, tapi juga belajar menimbangnya dengan bijak—tidak asal menolak, tidak asal menerima.

Perlahan, hubungan antara Damar dan karyawannya pun berubah. Ia tak lagi hanya menjadi bos yang memberi perintah, tapi juga pemimpin yang mau mendengar dan berdiskusi. Ia mulai mengenal karyawannya lebih dekat, mengingat nama mereka, bahkan menanyakan kabar mereka di luar pekerjaan.

Hasilnya mulai terlihat. Menu baru yang mereka rancang bersama ternyata disambut baik oleh pelanggan. Promo yang mereka buat dengan strategi matang berhasil menarik pelanggan lama kembali. Restoran yang semula sepi perlahan kembali ramai.

Suatu sore, Damar berdiri di depan restoran, melihat pengunjung yang mulai memenuhi meja-meja yang dulu kosong. Ia menghela napas lega, lalu menoleh ke arah karyawannya yang sibuk melayani pelanggan dengan senyum di wajah mereka.

Saat itu, ia menyadari satu hal... "kesuksesan bukan hanya tentang dirinya, tapi tentang mereka semua". Dan untuk pertama kalinya, Damar merasa bahwa ini bukan hanya restorannya… tapi juga milik mereka bersama.

**end**

Tags: ego, mahal, cerpen, inspiratif, moral, kerjasama, kesombongan

*i*q*n*a*

Previous Post
Next Post

Author:

Blog Iqna

adalah blog yang berbagi informasi, tips, tutorial seputar android, windows, hiburan, game, dan Informasi menarik lainnya, Semoga Bermanfaat.