Pada jaman dahulu..
Di suatu negeri antah berantah...
Angin pagi bertiup lembut, mengusap rerumputan hijau yang terhampar luas di kaki Bukit. Matahari baru saja mengintip dari balik cakrawala, memandikan lembah dengan cahaya keemasan. Di puncak bukit, berdiri seorang pria berwibawa dengan sorot mata tajam.
Prabu Santaka mengamati tanah luas yang membentang di hadapannya. Lembah ini masih sunyi, belum terjamah, namun dalam bayangannya, ia melihat kehidupan—sawah yang menguning, rumah-rumah berdiri kokoh, anak-anak berlarian di jalanan tanah. Di sinilah, desa baru akan lahir.
Namun, desa tak akan bisa tumbuh tanpa pemimpin yang bijaksana. Dan memilih pemimpin bukan perkara mudah.
Ia menoleh ke dua orang pemuda yang berdiri tegap di hadapannya. Arya dan Wira, dua calon pemimpin yang sama-sama kuat, tetapi memiliki sifat yang berbeda.
“Ada satu ujian yang harus kalian lalui,” ujar Prabu Santaka, suaranya bergema di antara bukit dan lembah.
Kedua pemuda itu menajamkan telinga.
“Kalian akan berjalan atau berlari sejauh yang kalian bisa, dari matahari terbit hingga tenggelam,” lanjut sang Prabu. “Tempat terakhir kalian menancapkan bendera sebelum kembali ke titik awal akan menjadi batas desa yang kalian pimpin. Tapi ingat, jika kalian tidak kembali sebelum matahari tenggelam, kalian gagal.”
Arya menegakkan tubuhnya, matanya berbinar penuh tekad. Tantangan ini adalah kesempatan emas untuk membuktikan dirinya. Sementara itu, Wira mengangguk pelan, menyerap setiap kata dengan penuh pertimbangan.
Ketika matahari mulai naik dan cahayanya menyinari padang rumput luas, ujian pun dimulai.
***
Arya langsung melesat seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Langkahnya panjang, napasnya berhembus cepat. Setiap kali ia merasa cukup jauh, ia menatap cakrawala dan berkata pada dirinya sendiri, Sedikit lagi. Aku bisa dapat lebih banyak tanah.
Tanpa ragu, ia terus berlari. Kakinya menginjak tanah dengan penuh semangat, meninggalkan jejak panjang di belakangnya. Angin menerpa wajahnya, membakar semangatnya lebih tinggi.
Di sisi lain, Wira berjalan dengan langkah mantap. Ia tidak terburu-buru, namun tetap menjaga ritmenya. Sesekali, ia berhenti sejenak, menandai jalur yang telah dilewatinya dengan membuat tumpukan batu kecil. Ia tahu, sejauh apa pun ia pergi, yang lebih penting adalah kembali dengan selamat.
Matahari semakin tinggi, sinarnya menyengat. Peluh mulai membasahi wajah Arya, namun ia tak peduli. “Aku harus lebih jauh!” serunya dalam hati. Nafsu menguasai pikirannya, mendorongnya untuk terus maju.
Wira, yang tetap menjaga ritmenya, menemukan sebuah sungai kecil di tengah perjalanan. Ia berjongkok, menadahkan tangan, lalu meneguk air jernih yang menyejukkan. Ia membasuh wajahnya, membiarkan tubuhnya beristirahat sejenak sebelum kembali melangkah.
Saat matahari tepat berada di atas kepalanya, Wira pun menancapkan benderanya. Berbeda dengan Arya, ia sudah memperhitungkan waktunya. Setelah memastikan benderanya kokoh tertanam di tanah, ia berbalik arah dan mulai berjalan kembali dengan langkah yang tetap stabil.
Sementara itu, Arya terus berlari. Nafasnya mulai berat, tetapi ia tidak mau berhenti. Ia ingin menancapkan bendera di satu titik, namun kemudian melihat ke depan dan berpikir, Aku masih bisa lebih jauh!
Ia maju lagi.
Dan lagi.
Ia tidak sadar bahwa waktu terus berjalan.
Matahari mulai condong ke barat, menandakan bahwa hari telah beranjak sore. Bayangan panjang terbentuk di tanah, seolah memberi peringatan bahwa waktu mereka semakin singkat.
Arya mendongak, melihat matahari yang mulai merunduk. Dadanya berdebar. Baru saat itulah ia sadar—jarak yang telah ia tempuh luar biasa jauh.
Dengan tangan gemetar, ia menancapkan bendera terakhirnya di titik terjauh.
Namun Arya baru menyadari sesuatu yang terlambat ia pikirkan.
Ia harus kembali.
Dan jarak yang harus ia tempuh begitu panjang.
***
Matahari semakin condong ke barat, memulas langit dengan semburat jingga yang menandakan waktu semakin menipis. Napas Arya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia menatap cakrawala, menyadari betapa jauhnya titik awal yang harus ia capai sebelum matahari tenggelam.
Keringat mengalir di pelipisnya. Kakinya yang tadi begitu ringan kini terasa berat, seolah-olah tanah menahannya untuk tetap tinggal. Namun, tidak ada waktu untuk menyesali langkahnya. Ia harus berlari.
Ia menjejak tanah sekuat tenaga, berusaha mengabaikan rasa lelah yang menggigit otot-ototnya. Napasnya semakin berat, paru-parunya terasa terbakar. Tapi ia tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.
Di sisi lain, Wira sudah lebih dulu kembali. Langkahnya mantap meski kelelahan jelas tergambar di wajahnya. Namun, ia tahu kapan harus melambat dan kapan harus mempercepat. Nafasnya teratur, tubuhnya bekerja dalam ritme yang sudah ia jaga sejak awal.
Ia mendekati titik awal saat matahari mulai menyentuh cakrawala. Langit berubah menjadi lautan emas dan merah. Ia menatap lurus ke depan, tidak menoleh ke belakang.
Prabu Santaka berdiri menunggu, mengamati jalur yang dilalui kedua peserta. Saat Wira akhirnya mencapai titik awal, ia menundukkan kepala dengan hormat.
“Hamba telah kembali, Gusti Prabu,” ucapnya dengan suara tenang.
Sang Prabu mengangguk puas. Matanya kemudian beralih ke kejauhan, mencari sosok Arya.
Namun, Arya masih berjuang di tengah perjalanan. Langit semakin gelap, dan langkahnya semakin gontai. Tubuhnya mulai memberontak, memaksanya untuk berhenti. Tapi hatinya menolak menyerah.
Ia mencoba berlari lebih cepat, namun kakinya tidak lagi mampu mengimbangi keinginannya. Nafasnya putus-putus, dadanya sesak. Ia jatuh tersungkur, tetapi dengan sisa tenaga yang ada, ia memaksa dirinya untuk bangkit lagi.
Sinar matahari terakhir meredup di cakrawala. Hari telah berakhir.
Dan Arya belum tiba.
Di puncak bukit, Prabu Santaka menarik napas dalam, lalu menghela pelan. “Mereka yang tahu kapan harus berhenti akan selalu sampai pada tujuan,” ucapnya. “Sedangkan mereka yang terus menuruti keinginan tanpa batas, justru akan kehilangan semuanya.”
Hari itu, Wira resmi diangkat sebagai kepala desa. Dengan kepemimpinannya yang penuh perhitungan dan kebijaksanaan, desa yang ia pimpin berkembang dengan baik—penuh ketenangan dan kemakmuran.
Sementara Arya, meski akhirnya kembali dengan sisa tenaga yang nyaris habis, harus menerima kenyataan pahit. Ia tidak gagal karena kurang cepat atau kurang kuat, tetapi karena ia tidak pernah merasa cukup.
Dan dalam hidup, orang yang tidak pernah merasa cukup, pada akhirnya akan kehilangan segalanya.
TAMAT