Bagian 1: Senja yang muram
Langit senja menggantung muram di atas gang buntu. Warna jingga samar berpadu dengan bayang-bayang rumah tua yang berdiri di ujung jalan sempit. Catnya terkelupas, jendela kayunya berderit setiap kali angin bertiup. Di depan rumah itu, sebuah becak berhenti, membawa tiga penumpang yang tampak ragu-ragu.
"Yakin kita mau tinggal di sini?" suara pria itu terdengar gemetar. Matanya terus melirik ke arah rumah, sementara tangannya sibuk menarik koper yang rodanya tersangkut di celah paving yang pecah.
"Kita nggak punya pilihan, Mas," jawab perempuan di sebelahnya, suara lembutnya penuh keteguhan. Ia menggendong seorang anak kecil, yang sejak tadi tak banyak bicara, hanya menatap rumah itu dengan tatapan kosong.
Becak pun berlalu, meninggalkan mereka di depan rumah yang kini terasa makin besar dan sunyi. Lelaki itu menelan ludah, lalu mengeluarkan kunci yang baru ia terima dari pemilik kontrakan. Tangan gemetarnya nyaris tak bisa memasukkan kunci ke dalam lubang.
"Kok, berat banget ya?" gumamnya saat mencoba membuka pintu.
Perempuan itu meletakkan anaknya, lalu tanpa banyak bicara, ia mendorong pintu itu. Dengan suara berderit panjang, pintu terbuka perlahan, seolah-olah enggan menerima penghuni baru.
Udara di dalam terasa lembap, bau kayu tua bercampur debu menyeruak. Ruang tamu kosong menyambut mereka, hanya ada sebuah sofa usang yang tampak seperti saksi bisu dari masa lalu.
Anak kecil itu, yang sejak tadi diam, tiba-tiba tersenyum tipis. Ia menoleh ke sudut ruangan dan melambai kecil.
"Adek, ngelambai ke siapa?" tanya ayahnya, suaranya bergetar.
"Tante..." jawabnya polos.
Perempuan itu merinding, tetapi ia tetap berusaha tenang. "Ayo, kita beresin barang dulu. Biar cepat selesai."
Mereka pun mulai menata barang seadanya. Malam menjelang, lampu rumah tua itu menyala redup, menambah kesan suram. Di luar, gang sudah sepi, terlalu sepi.
Di sudut ruangan, sesosok bayangan samar berdiri diam, menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
***
Malam turun dengan cepat, seolah menyelimuti rumah tua itu lebih gelap dari yang seharusnya. Lampu di ruang tamu berkelap-kelip sesaat sebelum akhirnya stabil, menyoroti perabotan seadanya yang mereka bawa.
Lelaki itu—yang sejak tadi tak bisa menyembunyikan kegelisahannya—memandangi istrinya yang sibuk menata dapur kecil di pojok ruangan.
"Kamu nggak merasa... ada yang aneh?" bisiknya sambil mendekat, matanya terus melirik ke sekeliling.
Perempuan itu mendesah pelan, tidak menjawab. Tangannya terus bekerja, merapikan beberapa piring dan gelas di rak kayu yang tampak sudah tua.
"Serius, deh... Tadi anak kita ngelambai ke siapa? Jangan-jangan ada—"
"Mas," potongnya, suaranya lembut tapi tegas. "Udah malam. Jangan bikin suasana tambah nggak enak."
Lelaki itu mendengus, lalu berjalan ke arah kamar. Anak mereka sudah tertidur di kasur tipis yang mereka bawa sendiri, tapi posisinya aneh—tubuhnya meringkuk ke tepi ranjang, seperti menyisakan tempat untuk seseorang.
Ia merinding.
"Kenapa tidurnya gitu?" gumamnya, mendekat dan mencoba menggeser anaknya ke tengah. Namun, begitu tangannya menyentuh bahu si kecil, tubuh itu bergetar.
Dan tiba-tiba, si anak tertawa pelan.
"Hehehe..."
Jantungnya hampir copot. Ia menatap wajah anaknya yang tetap terpejam, tapi bibirnya menyeringai.
"Hei, bangun... jangan bercanda gitu, dong..." Bisiknya panik, mengguncang tubuh anaknya pelan.
Namun si kecil tetap tertawa lirih, kali ini sambil bergumam dalam suara pelan yang tidak bisa dimengerti.
Lelaki itu membeku.
Tiba-tiba, suara berderak terdengar dari dapur. Seperti sesuatu yang jatuh.
"Bunda... bunda..." gumam si anak dalam tidurnya, senyumnya masih merekah.
Lelaki itu terlonjak, buru-buru berlari keluar kamar.
"Kenapa, Mas?" Istrinya bertanya, masih di dapur, tapi wajahnya tampak pucat.
"Barusan ada suara—"
"Rak piringnya jatuh sendiri."
Mereka berpandangan. Tak ada angin, tak ada gempa. Tapi rak kayu tua itu kini tergeletak miring di lantai, dengan beberapa piring pecah berserakan.
Lalu, dari arah kamar, suara cekikikan kecil terdengar.
Pelan, namun jelas.
***
Suara cekikikan itu menggantung di udara, menggema samar di rumah tua yang tiba-tiba terasa lebih dingin. Lelaki itu menelan ludah, sementara istrinya berdiri diam di samping rak piring yang berantakan.
Mereka berdua saling berpandangan, tidak tahu harus berbuat apa.
Lalu, suara kecil itu terdengar lagi.
"Hehehe... Bunda, main yuk..."
Lelaki itu langsung berbalik ke arah kamar. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat anaknya kini duduk di kasur, matanya masih terpejam, tapi bibirnya bergerak seolah berbicara dengan seseorang.
Tapi yang paling membuatnya merinding adalah tangannya yang terulur ke samping—ke arah tempat kosong yang tadi seolah memang sudah disediakan.
"Bunda..." gumam si kecil lagi, suaranya lebih lirih.
Istrinya langsung bergegas ke kasur, mengguncang bahu anak mereka dengan panik. "Nak, bangun! Kamu kenapa?"
Anak itu tiba-tiba berhenti tersenyum. Tubuhnya kaku sejenak, lalu perlahan matanya terbuka. Ia menatap ibunya dengan bingung, seolah baru saja bangun dari mimpi yang panjang.
"Bunda?" suaranya kembali seperti biasa, polos dan lelah.
Lelaki itu buru-buru ikut mendekat, lututnya terasa lemas. "Kamu nggak apa-apa, Nak?"
Si kecil mengerjap, lalu menggeleng. "Aku ngantuk..." Ia pun kembali merebahkan diri, menarik selimut hingga menutupi wajahnya.
Pasangan itu masih saling berpandangan, napas mereka berat.
"Kita harus gimana, Mas?" bisik istrinya pelan.
Lelaki itu ingin menjawab, tapi kata-katanya tertahan saat sesuatu di luar kamar terdengar.
Sebuah suara berdesir, seperti kain panjang yang terseret di lantai.
Mereka menoleh ke arah ruang tamu. Lampu yang tadi redup kini berkedip dua kali, lalu padam seketika.
Suasana menjadi gelap. Hanya suara napas mereka yang terdengar.
Lalu, dari sudut ruangan, samar-samar terlihat sesuatu berdiri.
Sosok itu tinggi, kurus, dan memancarkan aura dingin yang menjalar hingga ke tulang.
Dan yang paling menyeramkan—sosok itu tampak menunduk sedikit, seolah tengah mengawasi mereka.
Bagian 2: Malam Pertama
Senyap.
Lelaki itu merasakan tengkuknya meremang. Tubuhnya kaku, bahkan untuk menarik napas pun terasa berat. Istrinya mencengkeram lengannya erat, napasnya tersengal.
Di depan mereka, sosok itu masih berdiri di sudut ruangan. Tinggi, kurus, dan gelap, seperti bayangan yang tak seharusnya ada di sana.
Lalu, terdengar suara...
"Pergilah..."
Suara itu berat, serak, dan berbisik tepat di telinga mereka—padahal sosok itu tidak bergerak sedikit pun.
Lelaki itu ingin menjerit, tapi suaranya tercekat. Istrinya mundur perlahan, menarik tangan suaminya menuju kamar.
Klek!
Pintu kamar ditutup rapat. Mereka berdua berdiri diam di sana, terengah-engah. Di ranjang, anak mereka masih tertidur lelap, seolah tak menyadari kegaduhan yang terjadi.
Lelaki itu bersandar di pintu, menekan dadanya yang terasa sesak. "Kita nggak bisa tinggal di sini... Kita harus pergi besok pagi!" bisiknya panik.
Istrinya menatapnya tajam. "Mas, kita mau pindah ke mana? Kita nggak punya tempat lain!"
Lelaki itu hendak membalas, tetapi langkah berat terdengar dari luar kamar. Pelan... menyeret... lalu berhenti tepat di depan pintu.
Tok... tok... tok...
Ketukan itu pelan, tapi terasa menusuk ke jantung.
Mereka membeku.
Lalu, suara itu terdengar lagi—kali ini lebih jelas, seperti suara seorang perempuan yang berbicara dengan lembut.
"Sayang... Bangun, Nak... Bunda sudah datang..."
Lelaki itu menahan napas. Istrinya mencengkeram bajunya semakin erat.
Di atas ranjang, anak mereka mengerang pelan dalam tidurnya. Tangan kecilnya terangkat ke udara, seolah hendak meraih sesuatu yang tak terlihat.
"Bunda..." gumamnya.
Dan tiba-tiba—
Klek!
Pintu kamar terbuka sendiri.
Di ambang pintu, berdiri seorang perempuan berambut panjang, dengan mata kosong dan senyum aneh di wajahnya.
Dan ia menatap lurus ke arah anak mereka.
***
Mulut lelaki itu menganga, tapi tak ada suara yang keluar. Istrinya membeku di tempat, wajahnya pucat pasi.
Perempuan di ambang pintu masih berdiri diam, rambut panjangnya tergerai berantakan, wajahnya pucat dengan sorot mata kosong yang terasa menusuk. Senyum tipis menghiasi bibirnya, aneh dan... tidak wajar.
Di atas ranjang, anak mereka menggeliat gelisah. "Bunda..." gumamnya lagi, tangannya masih terangkat ke udara, seolah hendak meraih sesuatu.
Lelaki itu tersadar. Tidak. Itu bukan bunda anaknya.
Dengan segenap keberanian yang tersisa, ia meraih tangan istrinya dan menariknya menjauh dari pintu. Istrinya tersentak, tapi segera mengikuti langkahnya mundur.
Perempuan di ambang pintu masih berdiri di sana, tidak bergerak. Namun, tiba-tiba, senyumnya melebar—terlalu lebar untuk ukuran manusia.
"Anakku... sini, Nak... ikut Bunda..."
Angin dingin berembus masuk ke kamar. Lampu di langit-langit berkelap-kelip, lalu padam.
Dan saat kegelapan menyelimuti ruangan—
Brak!
Pintu kamar menutup sendiri dengan keras!
Lelaki itu dan istrinya terlonjak, nyaris menjerit. Jantung mereka berdebar kencang.
Istrinya meraba-raba dalam gelap, mencari anak mereka. "Nak! Kamu di mana?!"
Tidak ada jawaban.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil.
"Hehehe..."
Suara itu berasal dari ranjang.
Namun, anehnya... suara itu terdengar bukan hanya satu. Ada dua.
Satu tawa milik anak mereka.
Dan satu lagi... milik entitas lain yang tak terlihat.
Lelaki itu meraih ponselnya dengan tangan gemetar dan menyalakan senter. Cahaya langsung menyinari ranjang, dan—
Anak mereka masih di sana, duduk di atas kasur, menatap mereka dengan mata setengah terpejam.
Tapi ada sesuatu yang lebih mengerikan.
Tangan kecilnya masih terangkat... dan jemarinya menggenggam sesuatu yang tak terlihat.
Seolah... ada tangan lain yang tengah menggandengnya.
***
Ketakutan yang mereka rasakan sudah mencapai batasnya. Tubuh lelaki itu gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Istrinya mencengkeram lengan bajunya erat, bibirnya bergetar tanpa suara.
Dan kemudian, semuanya menjadi gelap.
Lelaki itu tak tahu kapan tepatnya ia kehilangan kesadaran. Yang pasti, saat matanya terbuka, cahaya matahari pagi telah menyelinap masuk melalui celah jendela kamar.
Ia masih di ranjang.
Dan—anehnya—istrinya juga ada di sana, berbaring di sampingnya dengan wajah yang tampak lelah.
Di antara mereka, anak mereka masih tertidur pulas, napasnya tenang, seperti tak terjadi apa-apa semalam.
Lelaki itu menelan ludah, jantungnya masih berdegup kencang. Perlahan, ia menyadari sesuatu yang janggal: bukankah semalam mereka terakhir kali berada di lantai, berdiri dalam gelap? Lalu... bagaimana bisa mereka bangun di tempat tidur?
Ia ingin bangun, tapi tubuhnya terasa berat. Ketakutan masih menguasainya. Jadi, ia tetap diam, berpura-pura tidur—walau dalam hatinya ia gemetaran setengah mati.
Ia menajamkan pendengaran, mengamati suasana pagi yang terasa… terlalu hening.
Tak ada suara burung, tak ada suara orang-orang berbincang di luar, hanya suara napas anaknya yang pelan.
Ia menutup matanya lagi. Berusaha menenangkan diri.
Namun, saat itu juga, ia merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya kembali berdiri.
Ada napas hangat.
Bukan napas istrinya. Bukan juga anaknya.
Napas itu terasa di tengkuknya.
Dan disertai suara lirih yang berbisik di telinganya—
"Jangan pura-pura tidur... Aku tahu kamu sudah bangun."
***
Lelaki itu menahan napas. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa dadanya akan meledak.
Bisikan itu… Terasa nyata. Napas hangatnya masih ada di tengkuknya.
Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak berani membuka mata, tidak berani bergerak.
Lalu, tiba-tiba—
"Mas?"
Suara istrinya yang serak karena baru bangun terdengar di sampingnya.
Dan seketika… suasana berubah.
Hawa dingin yang menusuk hilang. Napas mengerikan di tengkuknya lenyap. Ruangan yang tadinya terasa mencekam kembali normal.
Lelaki itu membuka matanya perlahan. Cahaya pagi menerangi kamar. Anak mereka masih tertidur pulas di antara mereka.
Tidak ada siapa-siapa selain mereka bertiga.
Ia menoleh ke arah istrinya yang sedang mengusap wajah dengan lelah.
"Ada apa, Mas?" tanya istrinya, masih mengantuk.
Lelaki itu menatapnya, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak ada tanda-tanda kejadian semalam. Pintu kamar tertutup seperti biasa. Tidak ada sosok perempuan menyeramkan, tidak ada suara aneh.
Semua… normal.
Seolah-olah semua yang terjadi semalam hanyalah mimpi buruk.
Tapi ia tahu betul, itu bukan mimpi. Itu nyata.
Lelaki itu menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Nggak... Nggak ada apa-apa..." ujarnya pelan, meski hatinya masih gemetar.
Istrinya mengernyit, menatapnya curiga. Tapi sebelum sempat bertanya lebih lanjut, anak mereka menggeliat kecil dan menguap.
"Mama…" gumamnya manja, tangannya meraba-raba mencari pelukan ibunya.
Istrinya langsung tersenyum dan mengusap kepala anak mereka dengan lembut. "Iya, Sayang. Udah pagi, ayo bangun."
Anak mereka membuka mata perlahan, lalu tersenyum kecil. Seolah tak terjadi apa-apa semalam.
Namun, sesuatu dalam senyumnya membuat lelaki itu merinding.
Senyuman itu... mirip sekali dengan senyuman perempuan yang berdiri di depan pintu semalam.
Bagian 3: Silaturahmi
Pagi itu, setelah sarapan sederhana, lelaki itu masih merasa ada yang aneh di rumah kontrakan mereka. Namun, ia memilih diam, tak ingin membuat istrinya cemas.
Istrinya sendiri tampak berusaha mengalihkan perhatian dengan bersikap ceria, padahal wajahnya masih terlihat lelah. Anak mereka pun tampak seperti biasa—tapi entah mengapa, lelaki itu masih merasa gelagatnya sedikit berbeda.
"Ayo, Mas, kita silaturahmi ke tetangga," ajak istrinya tiba-tiba.
Lelaki itu menatapnya. "Kenapa tiba-tiba?"
"Ya, biar kenal sama warga sekitar. Lagipula, kan udah dikasih tahu kalau rumah ini... ya, gimana gitu. Siapa tahu mereka bisa kasih saran."
Lelaki itu ragu. Jujur, ia malas berurusan dengan gosip atau cerita seram. Tapi mengingat kejadian semalam, mungkin istrinya ada benarnya.
Mereka pun bersiap. Anak mereka yang sudah rapi dalam kaos dan celana pendek menggandeng tangan ibunya dengan ceria.
Saat keluar rumah, udara terasa lebih segar dibanding saat mereka datang kemarin. Namun, ada satu hal yang mereka sadari: gang ini terlalu sepi untuk ukuran pemukiman.
Mereka berjalan ke rumah sebelah, sebuah rumah tua dengan halaman berlantai semen yang dipenuhi pot-pot tanaman. Lelaki itu mengetuk pintu perlahan.
Tak lama, seorang ibu-ibu paruh baya membuka pintu. Wajahnya ramah, tapi begitu melihat mereka, senyumnya sedikit pudar.
"Oh, kalian yang baru pindah ke rumah itu, ya?" tanyanya, melirik rumah kontrakan mereka.
Istrinya tersenyum sopan. "Iya, Bu. Kami keluarga baru di sini. Mau silaturahmi sekalian kenalan dengan tetangga."
Ibu itu menatap mereka dengan ekspresi aneh, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu. Lalu, ia menghela napas.
"Masuk dulu, Nak. Saya buatkan teh."
Mereka pun masuk dan duduk di ruang tamu sederhana. Suasana rumah ini lebih nyaman, berbeda dengan rumah mereka yang terasa... asing.
Sambil menuangkan teh ke cangkir, ibu itu akhirnya berbicara.
"Kalian... nggak mengalami sesuatu yang aneh semalam?" tanyanya pelan.
Lelaki itu dan istrinya saling pandang.
Mereka baru saja ingin menjawab, tapi tiba-tiba, anak mereka yang sedari tadi duduk diam mendadak berkata dengan suara polos—
"Tante, tadi malam aku main sama ibu-ibu yang di rumah..."
Cangkir di tangan lelaki itu hampir jatuh. Istrinya menegang.
Sementara ibu paruh baya itu langsung membelalakkan mata. "A—apa?"
Anak mereka tersenyum kecil. "Iya... Ibu-ibu itu baik, kok. Dia ajak aku main. Katanya aku mirip anaknya..."
Hening.
Lelaki itu merasakan bulu kuduknya kembali berdiri.
Dan ibu paruh baya itu kini menatap mereka dengan wajah pucat.
***
Ruangan itu dipenuhi keheningan yang mencekam.
Ibu paruh baya itu masih menatap mereka dengan wajah pucat. Ia menelan ludah sebelum akhirnya berkata, "Nak, kamu... lihat ibu-ibu di rumah itu?"
Anak mereka mengangguk polos. "Iya. Dia baik kok, tapi katanya sedih..."
Lelaki itu mengepalkan tangan, berusaha menahan gemetar. Istrinya pun kini menggenggam erat tangannya, wajahnya mulai pucat.
Ibu paruh baya itu menarik napas panjang, lalu menggeleng pelan. "Saya... saya sebenarnya nggak tahu pasti sejarah rumah itu. Tapi yang jelas, rumah itu sudah lama kosong sebelum kalian datang. Warga di sini... lebih memilih menghindar daripada mencari tahu."
Lelaki itu berusaha mencerna informasi itu. "Jadi, nggak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana?"
Ibu itu menggeleng. "Hanya desas-desus... Ada yang bilang rumah itu pernah ditinggali keluarga, tapi mereka pergi begitu saja tanpa kabar. Ada juga yang bilang pernah ada kejadian tragis di sana, tapi nggak ada yang benar-benar tahu."
Istrinya menelan ludah. "Lalu... menurut Ibu, kami harus bagaimana?"
Ibu paruh baya itu menatap mereka dengan ekspresi iba. "Saya cuma bisa menyarankan... banyak-banyak beribadah. Perbanyak doa, bersihkan rumah kalian, dan jangan biarkan pikiran kosong. Kadang, kalau kita lemah, mereka semakin mudah mendekat."
Lelaki itu mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi ketakutan.
Ibu itu melanjutkan, "Kalau kalian ingin mencari jalan keluar, coba temui Pak Ustadz di masjid desa. Beliau sering membantu orang-orang yang mengalami gangguan seperti ini."
Mereka kembali saling pandang. Saran itu terdengar masuk akal.
Istrinya mengangguk mantap. "Baik, Bu. Terima kasih banyak sarannya."
Mereka pun berpamitan. Saat berjalan kembali ke rumah, lelaki itu melirik anak mereka yang masih tersenyum polos, seolah tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Satu hal yang pasti—mereka tidak bisa lagi menganggap gangguan ini sebagai hal sepele.
Dan sebelum semuanya bertambah parah, mereka harus segera menemui Pak Ustadz.
Bagian 4: Penghuni lain
Sepulang dari rumah tetangga, suasana di rumah kontrakan mereka terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Lelaki itu duduk di ruang tamu, memijat pelipisnya yang berdenyut. Istrinya di dapur, menyeduh teh, sementara anak mereka sibuk bermain dengan boneka kecilnya.
Ia masih tidak bisa melupakan ucapan anaknya di rumah tetangga tadi.
"Tante, tadi malam aku main sama ibu-ibu yang di rumah..."
Lelaki itu menoleh ke arah anaknya. Ia tampak asyik berceloteh sendiri sambil menggerakkan bonekanya ke sana kemari.
Perasaan tidak enak kembali merayapi tubuhnya.
"Sayang," panggilnya hati-hati. "Kamu tadi bilang main sama ibu-ibu di rumah, maksudnya siapa?"
Anaknya berhenti bermain, menatap ayahnya dengan bingung. "Ya... ibu-ibu itu. Dia di rumah kita."
Lelaki itu merasakan tengkuknya meremang. "Dia masih ada?"
Anak itu menggeleng pelan. "Sekarang nggak kelihatan. Tapi dia suka ada kalau malam. Kadang ajak aku main, kadang cuma diem aja sambil liatin aku."
Lelaki itu menelan ludah. "Dia marah nggak?"
Anak itu menggeleng lagi. "Nggak. Tapi kadang sedih."
"Sedih kenapa?"
Anak itu berpikir sejenak, lalu mengangkat bahu. "Nggak tahu... Dia cuma bilang kangen anaknya."
Jantung lelaki itu mencelos.
Anak itu kembali bermain tanpa beban, sementara di kepalanya berbagai pertanyaan berkecamuk.
Makhluk apa yang selama ini ada di rumah mereka?
*i*q*
Malam harinya, setelah anak mereka tertidur, lelaki itu dan istrinya berbincang di kamar.
"Mas... Aku nggak mau tinggal di sini," bisik istrinya dengan nada cemas. "Anak kita bisa lihat sesuatu yang kita nggak bisa lihat. Itu udah cukup buat aku."
Lelaki itu terdiam. Ia ingin sekali setuju, tapi keadaan mereka tidak semudah itu. "Kita nggak bisa pindah mendadak. Duit kita pas-pasan."
Istrinya menghela napas panjang. "Lalu harus bagaimana? Kita biarin anak kita terus berinteraksi dengan sesuatu yang bahkan kita nggak tahu wujud aslinya?"
Lelaki itu mengusap wajahnya, berpikir keras.
"Lagipula," lanjut istrinya, "kalau dia bisa lihat mereka, berarti mereka benar-benar ada, Mas. Bukan cuma perasaan kita."
Ia mengangguk pelan. Mereka harus melakukan sesuatu.
Tapi ada satu hal yang mengganggunya.
Dari dulu ia selalu berpikir bahwa 'hantu' itu hanya roh manusia yang gentayangan. Tapi dari kejadian ini, sepertinya bukan itu yang sedang mereka hadapi.
Mereka bukan berurusan dengan roh manusia… Tapi sesuatu yang lain.
"Aku main sama ibu-ibu itu."
"Katanya aku mirip anaknya."
Makhluk itu... bukan manusia. Tapi juga bukan sekadar bayangan tanpa bentuk.
Mereka nyata.
Mereka bisa berbicara, bisa merasakan sedih, dan... bisa memilih untuk terlihat atau tidak.
Lelaki itu bergidik. Apa pun mereka, satu hal yang pasti—mereka bukan dari dunia yang sama dengan manusia.
Bagian 5: Mencari Jawaban
Pagi itu, mereka duduk di ruang tamu, saling terdiam. Mata lelaki itu memerah, sisa dari malam panjang yang membuatnya sulit tidur. Istrinya tampak lesu, sesekali mengaduk teh di cangkir tanpa benar-benar meminumnya.
Mereka memang berhasil melewati malam itu. Tidak ada gangguan besar, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu tidak hilang.
Setiap sudut rumah terasa aneh. Seakan-akan ada mata tak terlihat yang terus mengawasi.
Lelaki itu menatap istrinya yang juga terlihat gelisah. Akhirnya, ia berkata, "Hari ini kita temui Pak Ustadz."
Istrinya langsung mengangguk. "Iya, Mas. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Mereka segera bersiap, menggendong anak mereka yang masih mengantuk, lalu berjalan kaki menuju masjid desa.
*n*a*
Masjid itu sederhana, tapi terasa sejuk dan menenangkan. Di dalam, seorang lelaki paruh baya duduk bersila, membaca Al-Qur’an dengan suara lembut. Wajahnya teduh, dengan sorot mata yang tajam namun penuh ketenangan.
Lelaki itu ragu-ragu sebelum akhirnya mendekat. "Assalamu’alaikum, Pak Ustadz..."
Pak Ustadz menoleh dan tersenyum. "Wa’alaikumussalam. Silakan duduk."
Mereka bertiga duduk dengan canggung. Lelaki itu merasa lidahnya kelu, tapi istrinya memberanikan diri berbicara lebih dulu.
"Pak Ustadz, maaf mengganggu... Kami ingin meminta saran. Sejak tinggal di rumah kontrakan kami, banyak hal aneh yang terjadi..."
Istrinya mulai bercerita—tentang suara-suara aneh, benda yang bergerak sendiri, dan yang paling mengganggu, tentang anak mereka yang bisa melihat sosok yang tidak mereka lihat.
Pak Ustadz mendengarkan dengan sabar, tidak sekalipun menunjukkan keterkejutan.
Setelah cerita selesai, ia menghela napas panjang.
"Kalian harus memahami satu hal," katanya. "Makhluk yang kalian hadapi bukanlah roh manusia yang gentayangan. Mereka bukan arwah penasaran seperti yang sering diceritakan orang-orang."
Lelaki itu menelan ludah. "Lalu... siapa mereka?"
Pak Ustadz menatapnya tajam. "Mereka adalah bangsa jin."
Sejenak, suasana hening.
Pak Ustadz melanjutkan, "Jin adalah makhluk Allah, sama seperti kita. Mereka diciptakan dari api, sedangkan manusia dari tanah. Mereka hidup di dunia ini, tapi dalam alam yang berbeda. Mereka bisa melihat kita, tapi kita tidak bisa melihat mereka kecuali jika mereka menghendaki."
Lelaki itu bergidik. "Jadi... mereka tinggal di rumah itu sebelum kami datang?"
"Ya," jawab Pak Ustadz. "Atau setidaknya, mereka sudah menganggap tempat itu sebagai bagian dari dunia mereka. Beberapa jin ada yang baik, ada juga yang tidak suka keberadaan manusia."
Istrinya mencengkeram ujung bajunya dengan gugup. "Lalu... bagaimana kami bisa hidup di sana dengan tenang?"
Pak Ustadz tersenyum tipis. "Ada beberapa hal yang bisa kalian lakukan. Perbanyak ibadah, jangan tinggalkan shalat, dan biasakan membaca Al-Qur’an di rumah. Bersihkan rumah dengan baik, terutama di sudut-sudut yang kotor dan lembap. Jangan biarkan rumah kalian menjadi tempat yang nyaman bagi mereka."
Lelaki itu mengangguk pelan.
"Tapi yang paling penting," lanjut Pak Ustadz, "jangan merasa takut berlebihan. Rasa takut hanya akan membuat mereka semakin mudah mengganggu."
Mereka saling pandang. Mudah diucapkan, tapi tidak mudah dilakukan.
Pak Ustadz menatap mereka dengan penuh pengertian. "Jika gangguan masih berlanjut, insyaAllah saya akan datang ke rumah kalian. Tapi untuk sekarang, lakukan dulu yang saya sarankan."
Lelaki itu menarik napas panjang. Setidaknya, mereka kini punya pegangan.
Mereka berpamitan, meninggalkan masjid dengan perasaan yang sedikit lebih ringan.
Namun di benaknya, lelaki itu masih bertanya-tanya…
Jika benar mereka adalah bangsa jin, lalu apa yang sebenarnya mereka inginkan?
Bagian 5: Bantuan Pak Ustadz
Malam itu, setelah sholat Isya, suara ketukan terdengar di pintu rumah kontrakan mereka.
Tok... Tok... Tok...
Lelaki itu menelan ludah, lalu bangkit perlahan. Istrinya menatapnya dengan khawatir, sedangkan anak mereka sudah tertidur pulas di kamar.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu.
"Assalamu’alaikum," suara lembut tapi tegas terdengar.
Lelaki itu menghela napas lega. "Wa’alaikumussalam, Pak Ustadz. Silakan masuk."
Pak Ustadz melangkah masuk dengan tenang, senyumnya tetap teduh seperti siang tadi. Namun, begitu memasuki rumah, tatapan matanya berubah sedikit lebih tajam, seolah sedang merasakan sesuatu.
"Bagaimana keadaan kalian setelah dari masjid?" tanyanya, duduk di tikar ruang tamu.
Lelaki itu menggaruk kepalanya. "Sejujurnya, Pak Ustadz... masih terasa aneh. Seperti ada yang memperhatikan kami terus."
Istrinya mengangguk, menambahkan, "Tadi sore saya sengaja membaca surat Al-Baqarah di ruang tengah... tapi entah kenapa tiba-tiba saya merasa merinding. Seperti ada yang tidak suka."
Pak Ustadz tersenyum tipis. "Wajar. Mereka memang tidak suka mendengar ayat suci dibacakan. Itu tanda bahwa mereka benar-benar ada di rumah ini."
Lelaki itu bergidik. "Pak Ustadz... apa mereka bisa pergi begitu saja kalau kita rajin beribadah?"
Pak Ustadz menghela napas. "Tidak selalu. Beberapa jin bisa diusir dengan mudah, tapi ada juga yang merasa rumah ini bagian dari dunia mereka. Tergantung siapa yang sedang kalian hadapi."
Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, sebelum bertanya, "Apa ada satu tempat di rumah ini yang terasa lebih aneh dibanding tempat lain?"
Suami istri itu saling berpandangan.
"Ada, Pak Ustadz," jawab istrinya ragu-ragu. "Dapur."
Pak Ustadz mengangguk pelan. "Mari kita lihat."
Mereka bertiga berjalan menuju dapur. Lelaki itu berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat.
Begitu memasuki dapur, suasana mendadak terasa lebih dingin. Lampu temaram di langit-langit tampak berkelip sebentar sebelum kembali stabil.
Pak Ustadz berdiri di tengah ruangan, matanya terpejam, bibirnya mulai melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya lembut tapi penuh wibawa, memenuhi setiap sudut dapur yang tiba-tiba terasa lebih sunyi dari biasanya.
Suami istri itu menahan napas.
Beberapa menit berlalu, lalu... terdengar sesuatu.
Bukan suara benda jatuh atau suara langkah kaki.
Tapi seperti... isakan lirih.
Tangisan seorang wanita.
Suara itu samar, namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Istrinya menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak ketakutan.
Pak Ustadz berhenti membaca dan membuka mata. Sorot matanya tajam.
"Siapa pun yang ada di sini..." katanya dengan suara tegas, "Aku datang bukan untuk mencari masalah. Aku hanya ingin tahu... kenapa kalian berada di sini?"
Tidak ada jawaban.
Tapi suara tangisan itu semakin pelan, sebelum akhirnya menghilang.
Pak Ustadz menoleh ke arah suami istri itu dan berbisik, "Mereka ada di sini. Tapi sepertinya... bukan untuk mengusir kalian. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar gangguan biasa."
Lelaki itu menelan ludah. "Maksudnya, Pak Ustadz?"
Pak Ustadz menghela napas panjang. "Aku rasa... mereka sedang berduka."
Dan di saat itulah, untuk pertama kalinya, lelaki itu merasa bahwa rumah ini bukan hanya sekadar rumah kosong yang dihuni oleh makhluk tak kasat mata.
Ada kisah lain yang tersembunyi di dalamnya.
Dan mereka harus mencari tahu.
Bagian 6: Dua Alam
Pak Ustadz masih berdiri di dapur, terdiam, menatap tajam ke sudut ruangan yang tampak biasa saja di mata manusia. Suami istri itu menunggu dengan cemas, tangan mereka saling menggenggam erat.
Hening.
Pak Ustadz berdiri tegap di dapur, sorot matanya tajam menembus ruang yang tampak kosong bagi manusia. Bibirnya bergerak pelan, melantunkan ayat-ayat suci, tapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar doa.
"Assalamualaikum" pak Ustadz menyapa.
Dalam dimensi yang berbeda, suara berat dan bergema terdengar, menjawabnya.
"Wa'alaikum salam... Manusia… mengapa kau mengusik kami?"
Pak Ustadz tetap tenang. Suara itu berasal dari sosok yang samar. Seorang pria dari bangsa jin, tinggi dan berwibawa, dengan sorot mata penuh kewaspadaan. Di sampingnya, sesosok perempuan jin berlutut, memeluk lengan suaminya, bahunya gemetar.
"Aku tidak datang untuk mengusik. Aku hanya ingin tahu, mengapa kalian mengusik manusia di rumah ini?" suara Pak Ustadz terdengar mantap, tak menunjukkan rasa gentar sedikit pun.
Jin pria itu menghela napas panjang. "Ini juga rumah kami… di sini kenangan kami…"
Pak Ustadz menatap jin perempuan yang masih menggigil. "Dan istrimu… apa yang sebenarnya terjadi?"
Tiba-tiba, jin perempuan itu mendongak. Wajahnya tampak muram, penuh kesedihan yang menusuk. "Anakku… anakku seharusnya tidak mati! Itu kesalahan manusia! Kesalahan yang tak termaafkan!"
Suara lirih itu berubah menjadi jeritan. Ruangan bergetar halus, udara menjadi lebih dingin. Tapi Pak Ustadz tetap berdiri kokoh.
"Ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi sehingga anak kalian meninggal? dan mengapa kalian mengganggu keluarga manusia ini? sedang bukan mereka yang bersalah pada kalian."
Kedua pasangan jin itu saling pandang, Kemudian menceritakan kisah mereka ...
Pak Ustadz menghela nafas panjang
"Allah tidak menciptakan manusia dan jin untuk saling menyakiti," ucapnya tegas. "Kesalahan itu bukan kesengajaan. Kau telah membiarkan kemarahan menguasaimu terlalu lama. Sekarang, kau ingin mengusik anak manusia yang tak bersalah?"
Jin pria itu bergerak cepat, berdiri di antara Pak Ustadz dan istrinya. "Aku sudah melarangnya! Tapi dia… dia menganggap bocah itu seperti anaknya!"
Pak Ustadz menghela napas. "Kalian telah berlarut dalam duka. Tapi ini bukan caranya. Jika kau menyukai anak manusia itu, maka doakanlah keselamatannya, bukan malah mengusiknya."
Jin perempuan itu terdiam. Mata gelapnya berkaca-kaca, meski tak ada air mata yang jatuh. Suaminya menunduk, seolah memahami kebenaran dalam kata-kata Pak Ustadz.
"Aku tidak akan membuat perjanjian dengan kalian," lanjut Pak Ustadz. "Tapi jika kalian ingin tetap di sini, kalian tidak boleh mengganggu mereka. Hiduplah di tempat kalian sendiri, tanpa menyeberang ke dunia manusia dengan niat buruk."
Keheningan menyelimuti dapur. Setelah beberapa saat, jin pria itu mengangguk pelan. "Baiklah… Tapi jika manusia menyakiti kami lagi…"
"Aku percaya, mereka sudah belajar. Selain itu.. penghuni rumah ini yang sekarang adalah manusia yang berbeda, dan kalian pun harus belajar menerima takdir."
Angin dingin perlahan memudar.
Pak Ustadz membuka matanya kembali dalam dunia manusia, melihat pasangan suami istri yang menatapnya penuh kecemasan.
Dia menarik napas dalam, lalu menoleh ke mereka dengan ekspresi serius.
"Aku sudah berbicara dengan mereka," ucapnya pelan.
Suami istri itu menegang.
Pak Ustadz melangkah pelan ke ruang tamu, memberi isyarat agar mereka mengikutinya. Begitu mereka duduk, ia melanjutkan.
"Mereka adalah sepasang suami istri dari kaum jin. Alhamdulillah, mereka juga beriman. Bukan dari golongan yang suka menyesatkan manusia."
Lelaki itu menelan ludah, masih sulit mencerna bahwa di rumah ini benar-benar ada 'penghuni lain' yang bisa diajak bicara.
"Sebenarnya, awalnya sang suami ingin mengusir kalian," lanjut Pak Ustadz. "Bukan karena benci, tapi karena khawatir. Istrinya sedang dalam keadaan yang tidak stabil. Ia takut jika istrinya marah dan tanpa sadar melukai kalian, terutama anak kalian."
Istrinya mencengkeram lengan suaminya lebih erat. "Kenapa... istrinya?"
Pak Ustadz menghela napas. "Mereka dulu juga punya anak. Tapi si kecil meninggal... karena kecerobohan manusia."
Sejenak, tak ada yang bersuara.
Pak Ustadz melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Dulu, di rumah ini, ada orang yang membuang air panas sembarangan. Anak mereka terkena siraman itu saat bermain. Tubuhnya lemah, dan akhirnya tak bisa bertahan. Sejak itu, istrinya jatuh dalam kesedihan yang mendalam. Dan ketika kalian datang, terutama anak kalian... entah bagaimana, hatinya sedikit tenang. Ia mulai menganggap anak kalian seperti anaknya sendiri."
Suami istri itu terdiam. Ada perasaan tidak nyaman menyusup ke dalam hati mereka.
"Aku sudah menegaskan," kata Pak Ustadz dengan tegas, "bahwa tidak boleh ada perjanjian antara manusia dan jin. Kalian tidak boleh bergantung pada mereka, begitu juga sebaliknya. Tidak ada ikatan, tidak ada persyaratan."
Suami istri itu mengangguk cepat.
"Lalu... mereka bilang apa, Pak?" tanya sang istri, masih cemas.
"Mereka paham," jawab Pak Ustadz. "Sang suami justru bersyukur istrinya jadi lebih tenang sejak kalian datang. Tapi aku sudah memperingatkan mereka, jika ada gangguan lagi—baik disengaja atau tidak—aku sendiri yang akan turun tangan. Dan mereka menerima itu."
Lelaki itu mengusap wajahnya, setengah lega, setengah masih ngeri.
"Jadi... mereka masih akan tinggal di sini?" tanyanya ragu.
Pak Ustadz tersenyum kecil. "Selama mereka tidak mengganggu, tidak masalah. Rumah ini sudah lama menjadi tempat mereka. Kalian hanya perlu lebih banyak beribadah, menjaga kebersihan, dan menghindari hal-hal yang bisa menyakiti makhluk lain, baik yang kasat mata maupun tidak."
Suami istri itu saling bertukar pandang.
Aneh.
Menyeramkan.
Tapi... juga masuk akal.
Mereka tak pernah benar-benar memikirkan bahwa dunia ini dihuni oleh lebih dari sekadar manusia. Kini, mereka tahu. Dan mereka hanya bisa berdoa agar kedamaian tetap terjaga.
Pak Ustadz bangkit. "Kalau ada hal aneh lagi, segera hubungi aku. Tapi insyaAllah, selama kalian menjaga ibadah dan tidak melakukan hal yang mengundang mereka, rumah ini akan lebih tenang."
Lelaki itu mengantar Pak Ustadz ke pintu, mengucapkan terima kasih dengan suara masih bergetar.
Begitu pintu tertutup, ia menoleh ke istrinya.
Mereka saling pandang.
Rumah ini masih sama. Sunyi. Tenang.
Tapi kini, mereka tahu.
Mereka tidak tinggal sendiri.
Bagian 7: Rumah yang Hidup
Empat tahun berlalu.
Rumah yang dulu terasa mencekam kini terasa lebih hangat. Dindingnya masih sama, catnya sudah mulai memudar di beberapa bagian, tapi kehangatan keluarga muda itu memenuhi setiap sudutnya.
Ekonomi mereka membaik. Suami sudah mendapatkan pekerjaan tetap, sementara istrinya membuka usaha bisnis online dari rumah. Dan berita yang lebih menggembirakan, pemilik rumah bersedia menjual rumah itu dengan harga yang sangat terjangkau.
Mereka tak lagi ragu.
Meskipun awalnya penuh teror, rumah ini telah menjadi bagian dari hidup mereka.
Kini, keluarga mereka bertambah. Anak kedua mereka, seorang bocah perempuan berusia tiga tahun, tumbuh ceria dan aktif. Berbeda dengan kakaknya yang dulu sempat mengalami gangguan aneh, anak kedua ini justru tampak sangat nyaman tinggal di rumah ini.
Kadang, ia tertawa sendiri di sudut ruangan. Kadang, ia mengobrol pelan dengan seseorang yang tak terlihat. Kadang, ia berlari ke arah kosong seolah ada yang mengajaknya bermain.
Suami istri itu hanya saling tatap setiap kali melihatnya.
Mereka tahu.
Tetangga lama mereka, yang tak kasat mata, mungkin masih ada.
Tapi kali ini, mereka mereka sudah terbiasa dan tak lagi ketakutan.
Mereka tetap waspada, tetap menjaga keluarga mereka dengan doa dan ibadah. Tidak ada yang tahu pasti niat para penghuni lama itu, sebaik apapun mereka terlihat. Tapi mereka percaya, selama mereka berpegang teguh pada agama, tidak ada yang bisa benar-benar mencelakai mereka tanpa izin Allah.
Dan rumah ini...
Rumah yang dulu begitu mencekam, kini menjadi rumah yang hidup.
Rumah yang menyimpan cerita.
Cerita dua keluarga dari dunia yang berbeda, yang belajar untuk hidup berdampingan.
Selesai.