Bagian 1: Berlibur ke Rumah Nenek
Kereta api melaju membelah perbukitan hijau, mengguncang gerbong dengan ritme yang membuat Raka semakin gelisah. Ia memeluk ranselnya erat, matanya melirik ke jendela lalu kembali ke wajah teman-temannya.
"Apa nggak ada cara lain buat sampai ke desa nenekmu, Nad?" keluhnya, suaranya setengah berbisik, setengah bergetar. "Kenapa harus naik kereta tua begini? Kenapa nggak teleportasi aja sekalian?"
Gilang tertawa keras, menepuk pundak Raka dengan semangat yang berlebihan. "Teleportasi? Bro, kalau bisa teleportasi, gue udah ngilangin diri ke rumah pacar orang dari tadi!"
Tia menghela napas panjang, menyandarkan kepala ke kursi sambil melipat tangan di dada. "Bisa nggak sih, kamu nggak ngomong yang aneh-aneh, Gil? Kita baru mulai perjalanan, jangan sampai aku banting kamu ke rel kereta!"
Gilang pura-pura ketakutan, tangannya mendekap dadanya. "Ya ampun, Tia! Kok aku jadi takutnya bukan sama hantu, tapi sama kamu?"
Sementara mereka bertiga sibuk berdebat, Nadine tetap diam, menatap ke luar jendela dengan ekspresi misteriusnya yang seperti selalu menyimpan rahasia. Angin sore mengibarkan sedikit rambut panjangnya, membuatnya terlihat seperti pemeran utama dalam film-film romantis.
"Kenapa Nadine diem aja?" Raka akhirnya memberanikan diri bertanya.
Nadine menoleh pelan, menatap Raka dengan matanya yang tajam. "Aku lagi menikmati pemandangan."
Sesederhana itu jawabannya, tapi entah kenapa, Raka merasakan sesuatu yang dingin menjalar di punggungnya.
"Menikmati pemandangan atau melihat sesuatu?" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Gilang langsung menyenggol bahunya dengan keras. "Halah, jangan mulai yang aneh-aneh, Rak! Lagian, perjalanan ini bakal seru! Desa pegunungan, udara sejuk, dan..." Ia menyeringai, menatap Nadine dan Tia bergantian. "Siapa tahu kita ketemu gadis desa yang manis-manis!"
Tia langsung melayangkan sandal ke kepala Gilang. "Kurang ajar! Emangnya aku dan Nadine bukan gadis manis, hah?"
Nadine hanya tersenyum tipis, sementara Raka diam-diam menyetujui omongan Tia.
Perjalanan mereka berlanjut dengan serangkaian kekonyolan—dari Gilang yang hampir tertinggal saat berhenti di stasiun kecil untuk beli gorengan, hingga Raka yang panik saat ada ibu-ibu tiba-tiba menyodorkan bayi untuk digendong.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan berjam-jam, mereka tiba di desa tempat nenek Nadine tinggal. Desa itu tampak asri dengan rumah-rumah panggung yang dikelilingi hamparan sawah hijau. Aroma tanah basah menyambut mereka, bercampur dengan bau kayu bakar dari dapur rumah-rumah penduduk.
"Nenekmu tinggal di rumah yang mana, Nad?" tanya Raka, masih sedikit canggung setelah perjalanan panjang.
Nadine mengangkat dagunya ke arah sebuah rumah joglo tua yang berdiri megah di ujung desa. Rumah itu terlihat kokoh, meskipun beberapa bagian kayunya tampak sudah tua dan menghitam.
Tia berdecak kagum. "Rumah nenekmu kayak di film-film mistis, Nad."
Gilang langsung menggandeng lengan Raka dengan ekspresi panik. "Bro, jangan ngomong gitu! Ini baru bagian pertama perjalanan kita, jangan sampai endingnya kita jadi legenda desa!"
Raka menelan ludah. Ia tak tahu harus lebih takut dengan rumah nenek Nadine... atau dengan liburan ini sendiri.
Bagian 2: Malam Horor
Malam pertama di rumah nenek Nadine seharusnya menjadi malam yang damai—udara pegunungan yang sejuk, suara jangkrik yang merdu, dan aroma kayu bakar yang menguar dari dapur.
Tapi tidak bagi Raka.
Ia tidak bisa tidur. Bukan hanya karena kasurnya agak keras dan bantalnya bau kamper, tapi juga karena ia merasa rumah ini… terlalu sepi.
Raka melirik ke sekeliling kamar. Ia sekamar dengan Gilang, sementara Nadine dan Tia berada di kamar sebelah. Dinding kayu tipis rumah ini memungkinkan suara-suara dari luar terdengar jelas.
Dan saat itulah ia mendengarnya.
"Krekkk… Krekkkk…"
Suara seperti kayu yang diinjak perlahan.
Raka membelalakkan mata. Ia menoleh ke tempat tidur Gilang dan…
"Gilang?" bisiknya pelan.
Tapi Gilang malah ngorok dengan gaya yang sungguh tidak manusiawi—mulut menganga, tangan ke atas, satu kaki menjulur ke lantai.
Raka menggigit bibirnya. "Ah, mungkin cuma suara tikus…" gumamnya sendiri.
Tapi kemudian…
"Krekkkkk…"
Lebih dekat.
Raka menahan napas.
Pelan-pelan, ia menarik selimut sampai menutupi hampir seluruh wajahnya. Matanya membelalak menatap pintu kamar yang setengah terbuka. Cahaya temaram dari lampu minyak di ruang tengah membuat bayangan di dinding bergoyang-goyang menyeramkan.
Lalu… terdengar langkah kaki.
Satu… dua… tiga…
Langkah itu terdengar jelas, datang dari luar kamar.
Hati Raka hampir copot. Ia menelan ludah, perlahan mengulurkan tangan ke arah bantal dan…
BRAK!
Pintu kamar terbuka lebar!
"AAAAAAAHHHH!!!" Raka menjerit sambil melempar bantal ke arah sosok yang muncul.
Dan ternyata…
"WOY! NGAPAIN LO LEMPAR BANTAL?!"
Itu Tia.
Raka mengerjap beberapa kali. Napasnya masih tersengal. "T-tia? Ngapain kamu… tengah malam gini…?"
Tia berkacak pinggang. "Aku denger suara aneh dari luar rumah. Aku bangunin Nadine, tapi dia cuma bilang, 'Jangan khawatir, aku tahu apa itu,' terus tidur lagi. Jadi aku ke sini buat ngajak kalian periksa!"
Raka langsung menggeleng heboh. "GILA KAMU?! NGAPAIN NYARI MASALAH MALAM-MALAM BEGINI?!"
Tia menatapnya tajam. "Kalau kamu takut, yaudah di kamar aja. Aku sama Gilang aja yang pergi."
Mendengar namanya disebut, Gilang mendadak bangun. "Hah? Apa? Cewek? Di mana?"
Tia mendelik. "BUKAN! Kita mau periksa suara aneh di luar!"
Gilang menguap lebar. "Yah… oke lah, siapa tahu ketemu kuntilanak cantik."
Raka ingin menangis. Kenapa temannya ini begini semua?!
Akhirnya, dengan langkah berat dan hati penuh ketakutan, Raka mengikuti mereka keluar kamar. Rumah nenek Nadine terasa lebih menyeramkan di malam hari. Lampu minyak di ruang tengah berkelip-kelip, menciptakan bayangan panjang di dinding kayu.
Begitu mereka tiba di beranda, mereka membeku.
Di kejauhan, di antara pohon pisang di belakang rumah… terlihat sosok putih melayang.
Mereka bertiga menatapnya tanpa berkedip.
Sosok itu bergerak… melayang… lalu…
"Pocong…" Raka berbisik, lututnya langsung melemas.
Tia menutup mulutnya dengan tangan. Gilang malah mengeluarkan HP.
"Bro," bisiknya. "Ini kalau direkam, bisa viral nggak ya?"
"VIRAL PALALU!" Raka hampir menangis. "KITA KABUR AJA DULU!"
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, pocong itu tiba-tiba berlari ke arah mereka!
"AAAAAAAAAAHHH!!!"
Mereka bertiga langsung lari tunggang-langgang masuk ke dalam rumah, menabrak meja, menjatuhkan piring, dan akhirnya terkapar di lantai.
Lalu, terdengar suara pintu kamar Nadine terbuka.
Nadine, dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasa, menatap mereka bertiga yang gemetar di lantai. "Kalian kenapa?"
"Pocong!" Raka setengah menjerit. "Di belakang rumah!"
Nadine menoleh ke luar. Lalu, dengan sangat santai, ia berkata, "Oh. Itu bukan pocong."
Raka hampir pingsan. "BUKAN?! Terus apa?!"
Nadine menghela napas. "Itu kain putih jemuran nenek yang diterbangkan angin."
Sunyi.
Raka, Gilang, dan Tia saling berpandangan.
Lalu, tanpa aba-aba, Tia menggeplak kepala Raka dan Gilang. "INI GARA-GARA KALIAN KECILAN NYALI! DASAR BODOH!"
Raka mengelus kepalanya sambil mengerang kesal. "T-tapi… tadi aku lihat beneran ada yang lari…"
Nadine menatap mereka dengan ekspresi misteriusnya. "Mungkin bukan kain jemuran yang kamu lihat…"
Hening.
Raka merinding lagi.
Malam itu, ia sama sekali tidak bisa tidur.
Bagian 3: Kematian Misterius
Pagi itu, desa gempar.
Seorang warga ditemukan meninggal dunia di rumahnya—tanpa tanda-tanda kekerasan, tanpa suara teriakan, tanpa ada yang tahu apa penyebabnya.
Raka, yang masih trauma dengan "pocong jemuran" semalam, baru saja duduk di beranda bersama Gilang, menikmati teh manis buatan nenek Nadine, ketika suara gaduh dari rumah sebelah menarik perhatian mereka.
"Warga! Warga! Pak Jaya meninggal!"
Raka nyaris menjatuhkan cangkirnya. Gilang yang sedang menggigit gorengan langsung tersedak.
"A-apaan tuh?!" Raka langsung panik.
Tia keluar dari rumah dengan wajah penasaran. "Seriusan? Kok bisa?"
Nadine keluar paling akhir, wajahnya tetap tenang seperti biasa. "Ayo kita lihat."
Mereka berempat bergegas ke rumah Pak Jaya. Warga sudah ramai berkerumun, beberapa terlihat bisik-bisik dengan ekspresi tegang. Istri Pak Jaya menangis di beranda, dikelilingi ibu-ibu yang berusaha menenangkan.
Di dalam rumah, tubuh Pak Jaya terbujur kaku di tempat tidur.
"Kami nggak tahu kenapa," kata seorang bapak tua, suaranya bergetar. "Tadi pagi istrinya bangun, suaminya sudah nggak bernyawa. Semalam dia sehat-sehat aja."
Raka merinding. Ini… beneran horor.
"Kalian nggak ingat?" seorang pria lain berbicara dengan nada seram. "Dulu, di desa ini juga pernah terjadi hal serupa. Satu per satu orang meninggal, mendadak begitu saja."
"Iya," ibu-ibu mulai bergidik. "Katanya, kalau jin penguasa bukit sudah marah, dia akan menjemput nyawa manusia setiap malam…"
Raka langsung pucat. INI DIA! MOMEN YANG PALING IA TAKUTKAN!
Tia memutar mata. "Aduh, bisa nggak sih kita jangan langsung mikirnya mistis? Bisa aja Pak Jaya punya penyakit dalam."
"Betul," Gilang mengangguk sambil mengunyah gorengan yang entah dari mana. "Misalnya penyakit jantung, kan bisa meninggal tiba-tiba."
Tapi warga tampaknya lebih suka teori jin.
"Jin marah! Mungkin karena kita nggak lagi memberi sesajen!" seorang ibu berseru.
"Wah, jangan-jangan karena kemarin ada yang pulang kemalaman dari sawah? Katanya jin nggak suka orang kerja sampai larut!"
Mata Raka membelalak. JANGAN-JANGAN ITU MEREKA YANG DIMAKSUD?!
Ia langsung mencengkram lengan Gilang. "Bro, kita kemarin pulang kemaleman dari sawah…" bisiknya panik.
Gilang menepuk bahunya santai. "Santai, bro. Kalau jinnya perempuan, bisa kita rayu."
Tia langsung menyikut Gilang tanpa ampun.
Sementara itu, Nadine memperhatikan tubuh Pak Jaya dengan ekspresi serius. Ia berjongkok, memperhatikan wajah almarhum.
"Tidak ada tanda luka atau bekas cekikan," gumamnya. "Wajahnya terlihat kelelahan… Sepertinya beliau meninggal dalam tidur."
Sebelum ada yang bisa menanggapi, tiba-tiba terdengar teriakan dari luar.
"TOLOOOOONG!!! ADA YANG PINGSAN DI SAWAH!!"
Warga berhamburan ke arah sumber suara. Di tepi sawah, seorang bapak paruh baya tergeletak. Dadanya naik turun cepat, wajahnya memerah, dan napasnya tersengal-sengal.
"Astagfirullah! Pak Darto!" seorang ibu menjerit.
Beberapa warga langsung menolongnya, tapi tak lama setelah itu… tubuh Pak Darto kejang sesaat, lalu terkulai lemas.
Sunyi.
Raka merinding. Baru aja ngomongin kematian misterius, kok ada yang tumbang lagi?!
"Pak Darto… meninggal?" bisik seorang pemuda.
Warga mulai panik.
"Waduh… kalau udah dua orang begini, pasti ini ada yang nggak beres!"
"Benar! Pasti ini santet! Atau… jin sudah memulai revolusinya!"
"REVOLUSI JIN?! APAAN ITU?!" Raka hampir pingsan.
"Kita harus manggil dukun!" seseorang berseru.
"Benar! Kita perlu sesajen di perempatan jalan!"
"Sacrifice! Harus ada tumbal!"
Raka langsung bersembunyi di belakang Gilang. "Bro, kalau ada yang jadi tumbal, lo aja ya. Gue masih mau hidup."
Gilang malah nyengir. "Kalau tumbalnya harus yang ganteng, udah pasti gue sih."
Tia menghela napas panjang. "Astaga… Desa ini bener-bener masih percaya takhayul ya?"
Sementara itu, Nadine tetap diam, matanya tajam menatap tubuh Pak Darto. Ia menyentuh pergelangan tangan almarhum.
"Lemas… napas sesak… dan meninggal dalam waktu singkat…" bisiknya pelan.
"Ada yang aneh?" tanya Tia.
Nadine mendongak, menatap Tia dan Raka dengan ekspresi serius.
"Aku nggak yakin ini ulah makhluk halus."
"Hah?" Raka berkedip. "Terus kalau bukan jin atau santet, ini apa?"
Nadine diam sejenak. Lalu, dengan suara pelan tapi tegas, ia berkata,
"Aku curiga ini penyakit menular."
Hening.
Lalu, tiba-tiba…
"WAAAAAAAAAAAHH!! ADA YANG KESURUPAN!!!"
Tiba-tiba, seorang pemuda melompat-lompat di tengah kerumunan, berteriak-teriak dengan suara berat. "JIN MARAH! JIN MARAH! KALIAN SEMUA AKAN MATI!"
Warga makin panik. Ada yang berlari ketakutan, ada yang malah bersujud sambil menangis.
Raka sudah ingin kabur, tapi Nadine menarik tangannya.
"Tunggu," bisik Nadine. "Aku kenal dia. Itu si Jarwo. Dia emang suka cari perhatian."
Gilang mengangkat alis. "Tunggu, lo yakin ini bukan kesurupan beneran?"
Tiba-tiba, si "kesurupan" mendekati seorang gadis desa dan…
"Eh, Mbak, kenalan yuk…"
…langsung modus.
Gilang ngakak. "Woi, kesurupan kok masih sempet flirting?! NORAK LU!"
Tia langsung melempar sandal ke kepala Jarwo. "Dasar ABABIL!!"
Suasana yang tadinya tegang langsung berubah kacau. Beberapa warga yang awalnya ketakutan mulai sadar bahwa mereka habis dikerjain.
Namun di balik semua kekacauan ini, Raka masih merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Dua kematian dalam sehari. Penyebabnya misterius.
Dan kalau dugaan Nadine benar, desa ini mungkin sedang menghadapi ancaman yang lebih besar dari sekadar cerita hantu…
Bagian 4: Makhluk Halus?
Meskipun sudah dua orang meninggal secara misterius dalam sehari, warga desa tetap lebih percaya bahwa ini adalah ulah jin daripada mencari penjelasan logis.
"Pokoknya ini pasti karena kita kurang sesajen!" ujar seorang ibu dengan nada penuh keyakinan.
"Benar! Kita harus bikin sesajen besar di perempatan jalan biar jinnya nggak marah lagi!" tambah seorang bapak.
"Harus ada yang pimpin ritualnya. Panggil Mbah Surip!"
Raka mengernyit. "Mbah Surip siapa?"
Gilang menjawab sambil mengunyah gorengan lagi. "Dukun terkenal di desa ini. Katanya dia bisa ngobrol sama jin."
"Serius?" Tia mencibir. "Kenapa kalian lebih percaya jin daripada penyakit?"
"Lah, emang kamu bisa lihat penyakit? Bisa ngobrol sama virus?" seorang pemuda menantang.
Tia hampir meledak. "Astaga, logika kalian tuh di mana?!"
Sementara itu, Nadine tetap diam, memperhatikan diskusi warga.
Tak lama, seorang lelaki tua dengan jubah lusuh dan tongkat kayu muncul, diikuti beberapa orang yang membawa dupa dan sesajen.
Mbah Surip.
Warga langsung bersorak, seolah kedatangan penyelamat.
"Kalian semua tenang!" suara Mbah Surip bergetar penuh wibawa. "Aku akan berkomunikasi dengan jin desa ini dan mencari tahu apa yang terjadi."
Ia duduk bersila di tengah perempatan jalan, lalu mulai membakar dupa sambil menggumamkan sesuatu.
Raka menelan ludah. Sejujurnya, ia mulai terpengaruh suasana mistis ini.
Tapi saat ia melirik ke samping, Nadine hanya menyilangkan tangan dengan wajah datar.
Beberapa saat kemudian, Mbah Surip tiba-tiba terdiam. Matanya mendelik, tubuhnya bergetar.
"A-AKU MELIHATNYA!!"
Warga menahan napas.
"Jin desa ini marah! Dia merasa terganggu karena ada orang-orang luar yang datang ke desa ini!"
Raka, Tia, Gilang, dan Nadine langsung saling pandang.
"Bro… kita kan orang luar?" bisik Raka dengan suara panik.
"Yaelah, jin kok rasis…" gumam Gilang.
Tia memijat kening. "Aku nggak percaya ini…"
Mbah Surip melanjutkan. "Jin menuntut sesajen! Kalau tidak, akan ada lebih banyak korban!"
Warga makin panik. Mereka langsung bergegas menyiapkan sesajen besar di perempatan desa—nasi tumpeng, ayam panggang, buah-buahan, dan bahkan rokok.
Raka melihat ini dengan ekspresi campur aduk. "Jadi… jinnya suka makan enak dan ngerokok?"
Gilang mengangguk bijak. "Jin di desa ini seleranya mahal."
Di sisi lain, Nadine menarik napas panjang. "Ini sudah keterlaluan."
"Apa maksudmu?" tanya Raka.
Nadine menatapnya dengan serius. "Ini bukan jin. Aku yakin ini penyakit."
Tia mengangguk. "Setuju. Gejalanya mirip penyakit menular. Pingsan, sesak napas, lalu meninggal… Ini mirip COVID!"
Raka menelan ludah. "Jangan bercanda… Jadi, kita kena wabah?"
"Semuanya belum pasti, tapi kemungkinan besar iya," kata Nadine.
Gilang tiba-tiba menyela. "Tapi kenapa cuma beberapa orang yang kena? Kalau penyakit, harusnya menyebar lebih luas, kan?"
"Itu yang harus kita cari tahu," ujar Nadine. "Tapi satu hal yang jelas, sesajen nggak akan menyelesaikan masalah ini."
Tia menghela napas panjang. "Tapi kalau kita ngomong gini ke warga, mereka nggak bakal percaya."
Benar saja.
Warga sibuk menggelar ritual, sementara orang-orang yang jatuh sakit malah tidak mendapatkan perawatan yang layak.
Mbah Surip terus menggumamkan mantra, membakar dupa, dan menggelar ritual.
Tapi di saat yang sama…
Ada seorang lagi yang tiba-tiba jatuh pingsan.
Dan kali ini, gejalanya semakin parah.
Raka merinding. Jika ini benar-benar wabah, desa ini dalam bahaya besar…
Bagian 5: Tetap Berlanjut
Malam itu, suasana desa semakin mencekam. Ritual yang dilakukan Mbah Surip siang tadi belum menunjukkan hasil apa pun, tapi warga tetap bersikeras bahwa jin sedang menguji kesabaran mereka.
"Kita harus sabar menunggu," kata seorang bapak dengan wajah tegang. "Kalau jin masih marah, berarti sesajennya kurang."
Tia memutar mata. "Atau mungkin karena jin nggak ada hubungannya sama ini?"
Namun, sebelum ada yang bisa membalas, tiba-tiba…
AARRGGHHHHH!!!
Jeritan melengking terdengar dari kejauhan, membuat semua orang terdiam.
Gilang, yang sedang asyik ngemil pisang goreng, langsung tersedak. "Ehem! Astaga! Itu suara apa?!"
Raka langsung berdiri dengan wajah pucat. "Gue nggak mau tahu, pokoknya kita jangan keluar!"
Tapi tentu saja, Nadine sudah lebih dulu bergerak ke luar rumah.
"HEY! NADINE!!" Raka terpaksa mengejar, diikuti Tia dan Gilang yang setengah terpaksa.
Mereka berlari ke arah sumber suara—sebuah rumah di pinggir desa. Di sana, mereka menemukan seorang perempuan muda sedang menangis histeris di teras rumahnya.
"Pak Joko! Bangun, Pak! Tolong!"
Di dalam rumah, seorang pria paruh baya terbaring di atas kasur, tubuhnya kaku, wajahnya pucat, dan napasnya tak terdengar lagi.
"Pak Joko meninggal..." bisik seorang warga yang berdiri di belakang mereka.
"Sekali lagi… pingsan, sesak napas, lalu meninggal," gumam Nadine.
Tia langsung menggigit bibir. "Gejalanya persis seperti yang sebelumnya..."
Raka menelan ludah. "Jadi… ini bukan kutukan, kan?"
Gilang menghela napas. "Kalau kutukan, kenapa nggak ada yang meninggal dengan cara meledak atau kebakar tiba-tiba? Selalu sesak napas dulu, pingsan, terus… ya, begitu."
Tia dan Nadine saling berpandangan. Gilang mungkin sering bercanda, tapi kali ini masuk akal.
Namun sebelum mereka bisa membahas lebih lanjut, tiba-tiba...
WOOSH!
Angin berhembus kencang. Dari kejauhan, samar-samar mereka melihat sesuatu…
Sosok putih melayang di antara pepohonan.
Pocong.
"AAAAAAHHH!!!" Raka langsung berlari tanpa menunggu yang lain.
"HEY! TUNGGU!" teriak Tia.
Tapi Gilang justru memicingkan mata. "Loh, itu pocongnya kok kayak agak—"
Tiba-tiba, pocong itu melompat ke arah mereka!
"AAAAAAA!!!" Kali ini, bahkan Gilang juga ikut kabur.
Mereka berempat berlari sekencang mungkin melewati sawah, sungai kecil, dan akhirnya sampai kembali di rumah nenek Nadine.
Mereka ngos-ngosan, wajah penuh keringat, sementara Raka hampir pingsan sendiri.
"Se—serius... itu... pocong...!" Raka berusaha bernapas normal.
Gilang menyandarkan diri ke dinding. "Gue yakin itu bukan hantu asli..."
Tia menatapnya tajam. "Apa maksudmu?"
Gilang mengusap keringat. "Pocong tadi tuh... kayak nggak niat serem."
"Apa?"
"Dia kayak, ya, melompatnya aneh. Terlalu... gimana ya... kayak main-main."
Tia terdiam. Sekarang kalau dipikir lagi, pocong itu memang tidak terlalu menyeramkan. Gerakannya lebih mirip seseorang yang sedang bermain-main.
Nadine tiba-tiba membuka ponselnya. Ia mengingat sesuatu.
"Ada yang aneh," katanya. "Tadi sore aku sempat lihat beberapa pemuda desa kumpul-kumpul. Mereka bawa kamera, tripod, dan pakai kain putih..."
Tia tersentak. "Jangan-jangan... mereka bikin konten horor?"
Gilang mengangguk pelan. "Dugaan gue makin kuat. Kayaknya ada yang bikin prank pocong di desa ini."
"Tapi kalau begitu..." Raka menelan ludah. "Kematian warga-warga itu... bukan karena pocong?"
Nadine menatapnya dalam-dalam. "Iya. Dan itu yang harus kita buktikan."
Namun sebelum mereka bisa menyusun rencana lebih lanjut, terdengar suara ketukan di jendela.
Tok. Tok. Tok.
Mereka semua langsung menoleh.
Dan di luar jendela...
Ada pocong sedang menatap mereka.
"AAAAAAAAAAAAA!!!"
Bagian 6: Sosok Misterius
Jeritan Raka menggema di dalam rumah, sementara Nadine dan Tia buru-buru mencari benda apa pun untuk berjaga-jaga. Gilang, yang lebih tenang, mendekat ke jendela dengan tatapan curiga.
"Eh, kalian sadar nggak?" bisiknya sambil menunjuk ke luar. "Pocongnya diem aja. Nggak gerak."
Tia memicingkan mata. "Tunggu… dia kayak… lagi nunggu sesuatu?"
Gilang mengambil senter, menyorot ke luar. Sosok pocong itu tetap diam, tapi sekarang mereka bisa melihat sesuatu yang aneh:
Tali di kepalanya… agak longgar.
"Hah?" Nadine mendekat. "Itu beneran pocong, kan?"
Raka gemetar di belakang. "Mau pocong asli atau bohongan, kita nggak usah deket-deket lah!"
Namun sebelum mereka bisa melakukan apa pun, tiba-tiba…
Pocong itu kabur.
"Buru dia!" seru Nadine.
Mereka langsung berlari keluar, mengejar sosok tersebut. Pocong itu melompat-lompat dengan kecepatan aneh, seakan sedang terburu-buru. Mereka berempat mengejar hingga ke area hutan kecil di belakang rumah.
Lalu, tiba-tiba—
"UGH!"
Seseorang dari arah lain menerjang pocong itu hingga jatuh terjerembab.
"Kena!"
Mereka semua terkejut.
Seorang pria muda berdiri di sana, mengenakan jaket dan kacamata, wajahnya serius. Ia menahan tubuh si pocong, lalu dengan sigap membuka kain putih yang membungkus kepala sosok itu.
Dan ternyata…
Seorang pemuda berambut gondrong dengan ekspresi panik!
"BANG SATRIO?!" teriak Gilang kaget.
Salah satu pemuda desa yang mereka kenal!
"ASTAGA! JANGAN DIPUKUL! JANGAN DIPUKUL!" Bang Satrio meronta-ronta.
Nadine melipat tangan. "Jadi… lo ini pocongnya?"
Bang Satrio tertawa canggung. "Ehe… eh… gua cuma… ini… latihan buat konten horor..."
Tia memijat pelipisnya. "Latihan?!"
Raka masih gemetaran. "Kalian nggak ngerti gimana takutnya gua tadi!"
Pria misterius yang tadi menubruk Bang Satrio berdiri, melipat tangan di dada. "Aku udah curiga. Dari awal, aku tahu ini pasti manusia."
Nadine menatapnya. "Dan… kamu siapa?"
Pria itu menghela napas. "Kenalkan, aku Dr. Arya, dokter yang sedang ditugaskan ke desa ini. Aku mendengar ada banyak kematian mendadak, jadi aku datang untuk menyelidiki."
Gilang bersedekap. "Dokter? Jadi, kamu nggak percaya ini kerjaan makhluk halus?"
Dr. Arya tersenyum tipis. "Aku percaya pada sains, bukan takhayul. Dan dari gejalanya, aku punya teori."
Mereka semua menatapnya serius.
"Orang-orang yang meninggal mengalami sesak napas mendadak, lalu pingsan dan tidak bangun lagi, kan?"
Mereka mengangguk.
"Ini bukan kutukan. Ini penyakit menular."
Mereka semua membelalak.
"Jadi… kita bukan dikejar hantu, tapi wabah?" bisik Raka ngeri.
Dr. Arya mengangguk. "Ya. Dan jika kita tidak segera bertindak, mungkin akan ada lebih banyak korban."
Mereka semua saling berpandangan.
Masalahnya ternyata lebih besar dari sekadar pocong bohongan.
Bagian 7: Kenyataan
Mereka berlima duduk melingkar di rumah nenek Nadine. Wajah mereka penuh ketegangan. Hanya Bang Satrio yang masih menunduk malu setelah ketahuan jadi pocong bohongan.
Dr. Arya menatap mereka satu per satu. "Dengar, aku yakin desa ini sedang terkena wabah penyakit menular yang serius. Gejalanya mirip dengan pneumonia akut atau penyakit pernapasan lainnya."
Raka menelan ludah. "Jadi… ini beneran wabah?!"
Dr. Arya mengangguk. "Iya. Tapi masalahnya, penduduk di sini lebih percaya pada takhayul daripada sains."
Nadine bersedekap. "Berarti kita harus kasih tahu mereka!"
Tia menghela napas. "Gampang ngomongnya. Tapi kita kasih tahu dengan cara apa? Semua orang udah kepalang takut sama pocong dan kutukan."
Gilang tiba-tiba menepuk meja. "Kita lawan takhayul dengan takhayul!"
Semua menoleh padanya.
Raka menyipitkan mata. "Gimana caranya?"
Gilang menyeringai. "Gampang. Kalau mereka percaya desa ini lagi diserang makhluk halus, kita buat mereka percaya kalau ada solusi mistis buat ngusir penyakit ini."
Dr. Arya memiringkan kepalanya. "Kamu serius mau pakai cara itu?"
Gilang mengangguk. "Serius! Kita manfaatin ketakutan mereka, tapi buat kebaikan!"
Nadine berpikir sejenak. "Hmm… masuk akal juga. Kalau mereka nggak mau dengerin dokter, mungkin mereka mau dengerin ‘dukun sakti’."
Dr. Arya menarik napas panjang. "Baiklah. Kalau ini satu-satunya cara agar mereka bisa percaya, aku setuju."
Tia tersenyum lebar. "Oke, kalau gitu, kita butuh rencana!"
Operasi "Dukun Sakti dan Perang Mistis" Dimulai!
Esok paginya, berita besar menyebar ke seluruh desa: seorang dukun sakti dari kota datang untuk menyelamatkan desa dari kutukan pocong!
Siapa dukun sakti itu?
Dr. Arya sendiri.
Dengan jubah hitam yang dipinjam dari kepala desa dan kacamata hitam agar terlihat lebih misterius, Dr. Arya mulai melakukan "ritual".
"DESA INI SEDANG DALAM BAHAYA!" teriaknya di balai desa.
Penduduk yang ketakutan langsung berkumpul.
"ADA PERANG BESAR ANTARA MAKHLUK HALUS! DAN UNTUK MENANG, KALIAN HARUS MELAKUKAN RITUAL PERLINDUNGAN!"
Penduduk saling berbisik. "Ritual apa?"
Dr. Arya mengangkat tangan. "Mulai sekarang, kalian harus memakai penutup wajah! Karena jin jahat suka mengincar yang tidak menutupi hidung dan mulut!"
Semua orang mengangguk panik.
"KALIAN JUGA HARUS MENJAUHI ORANG YANG SAKIT! SIAPA PUN YANG BATUK ATAU DEMAM, HARUS DIKARANTINA DI BALAI DESA UNTUK DIBERSIHKAN DARI ENERGI NEGATIF!"
Penduduk makin panik.
"JANGAN BERTAMU KE RUMAH ORANG LAIN SELAMA 30 HARI! JIN JAHAT SUKA IKUT DARI RUMAH KE RUMAH!"
Orang-orang langsung mengangguk cepat.
"JANGAN BERKERUMUN TANPA IZIN! DAN YANG PALING PENTING, JANGAN MAIN JUDI ATAU MINUM MINUMAN KERAS, KARENA ITU BISA MEMANGGIL HANTU!!!"
Seorang bapak-bapak langsung pingsan di tempat.
Rencana mereka berhasil.
Semua orang segera memakai masker, menghindari kerumunan, dan setiap orang yang merasa sakit langsung melapor ke balai desa.
Sementara itu, untuk memastikan tidak ada yang melanggar aturan, 4 sekawan dan Bang Satrio cs melakukan operasi rahasia.
*i*q*
Setiap malam, mereka menyamar jadi pocong dan kuntilanak bohongan, lalu menakut-nakuti orang yang ketahuan melanggar aturan.
Seorang pemuda ketahuan duduk-duduk di warung tanpa masker? Langsung di-"hantui" pocong Raka.
Sekelompok orang ketahuan kumpul-kumpul sambil main kartu? Kuntilanak Nadine mendadak muncul di belakang mereka.
Ada yang berani minum tuak di kebun kosong? Pocong Bang Satrio nongol sambil berteriak: "HAU HAUAHAAA!!!"
Hasilnya? Dalam waktu seminggu, tidak ada yang berani melanggar aturan lagi.
Dr. Arya, yang sekarang dikenal sebagai "Dukun Sakti dari Kota", terus mengobati orang-orang yang sakit, dengan alasan “mengusir roh jahat”.
Dan tanpa mereka sadari… jumlah warga yang jatuh sakit semakin berkurang.
Tia tertawa kecil saat mereka berkumpul di rumah nenek. "Gila, kita kayak tim superhero. Tapi versi lokal."
Nadine tersenyum puas. "Yang penting warga aman. Dan nggak ada lagi yang percaya pocong-pocongan."
Gilang menyengir. "Gimana kalau kita buat tim khusus? Nama timnya… Pembasmi Pocong Gadungan!"
Raka langsung menggeleng panik. "NOPE. Gue pensiun dari dunia horor. Titik."
Mereka semua tertawa.
Tapi tanpa mereka sadari, ujian terakhir masih menunggu.
Karena justru mereka sendirilah yang akan kena akibatnya.
Bagian 8: Seperti Air
Waktu berlalu dengan cepat. Kehidupan di desa mulai tenang, meski warga tetap berjaga-jaga. Kebanyakan dari mereka kini memakai masker dengan penuh keyakinan. Mereka bahkan terlihat lebih akrab, saling menyapa dan menjaga jarak dengan penuh rasa solidaritas, meski harus berjuang dengan cara yang sedikit kocak.
Pada suatu pagi yang cerah, 4 sekawan kembali berkumpul di rumah nenek Nadine, sambil menikmati segelas teh hangat yang diseduh dengan penuh cinta oleh nenek. Meski kehidupan mereka kembali seperti semula, perasaan cemas tetap ada, terutama bagi Gilang, yang selalu berpikir bahwa ada lebih banyak hal yang harus diwaspadai.
Namun, suasana yang tadinya penuh ketegangan kini berubah menjadi lebih sejuk, lebih seperti air. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang ada—dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
"Bayangin aja, kita udah jadi penyelamat desa!" ujar Gilang sambil tertawa lebar, meski sebenarnya ia merasa sedikit cemas. "Nggak nyangka, kita bisa bikin desa ini jadi aman dengan cara kita sendiri."
Tia menatapnya sambil tersenyum. "Kadang, kita memang perlu sedikit keberanian buat nyentuh hati orang lain. Cuma… kita nggak boleh sombong."
Nadine mengangguk setuju, memandang matahari yang bersinar lembut di balik jendela. "Betul. Kalau kita bisa bermanfaat, kita harus terus membantu. Setiap orang butuh sedikit bantuan, dan bahkan keceriaan. Seperti air, kita harus bisa menyesuaikan diri. Kalau ada yang kesulitan, kita bantu. Tapi kalau mereka bahagia, kita ikut bahagia."
Raka tersenyum, kemudian menepuk pundak Gilang. "Gilang, kita memang beneran kayak air. Cuma kita nggak bisa mengalir terlalu keras, nanti semua orang kaget."
Gilang mengernyit. "Eh, gue nggak keras kok!"
"Apa tuh yang namanya ngeprank orang? Kalau itu bukan aliran keras, gue nggak tahu deh," sahut Tia dengan canda.
Mereka tertawa bersama, menikmati kebersamaan yang kian erat. Di luar, udara desa yang sejuk membawa kedamaian. Tak ada lagi ketegangan yang mengganggu mereka. Semua kembali terasa alami dan mengalir dengan mudah. Namun meski semuanya tampak baik-baik saja, mereka tahu bahwa ujian besar belum sepenuhnya selesai.
Setelah beberapa hari, kabar baik datang dari balai desa. Tidak ada lagi kematian misterius. Bahkan yang lebih mengesankan, warga desa yang dulunya ragu kini menjadi lebih percaya pada pendekatan yang lebih rasional. Mereka semakin sadar bahwa persatuan dan gotong royong adalah kunci.
Namun, meski segala hal sudah mulai membaik, sebuah kabar datang yang membuat mereka terkejut. Sepertinya masalah belum sepenuhnya usai.
*n*a*
Suatu malam, ketika mereka sedang menikmati makan malam bersama nenek Nadine, tiba-tiba Gilang merasakan pusing yang hebat.
"Eh, ada yang aneh nih. Gue merasa agak demam," kata Gilang sambil memegangi dahi. "Aduh, jangan-jangan gue kena gejala itu juga!"
Raka langsung panik, melompat berdiri. "Gilang! Jangan bilang lo ikut-ikutan sakit, lo nggak bisa! Siapa yang bakal jadi Pocong Pembasmi kalau lo sakit?!"
Gilang meraba dadanya. "Iya, gue takut juga, Rak. Ini kayak flu, deh. Tapi kayak… flu yang datang dari dimensi lain."
Tia meliriknya sambil mencibir. "Gilang, lo kadang-kadang bisa kocak juga ya. Ini bukan saatnya buat bercanda."
Tapi tanpa mereka sadari, rasa cemas semakin menggelayuti hati mereka. Mereka cepat-cepat melakukan isolasi mandiri, meski sedikit tertunda karena ketawa dan kebingungannya sendiri. Mereka merasa, meskipun perasaan cemas datang begitu cepat, mereka tetap bisa menyesuaikan diri, seperti air yang mengalir menembus celah-celah batu.
Dr. Arya, yang sudah mulai nyaman dengan peranannya sebagai “Dukun Sakti”, datang membawa obat-obatan dan menyemangati mereka. "Ayo, jangan panik. Kita pasti bisa sembuh. Ingat, hidup ini bukan soal seberapa keras kita menahan badai, tapi seberapa cepat kita bisa bangkit setelah badai lewat."
Waktunya Berpisah
Setelah beberapa hari, mereka akhirnya dinyatakan sembuh dari flu yang sepertinya hanya gejala sementara. Mereka kembali beraktivitas seperti biasa. Namun, meskipun mereka sudah bisa kembali, ada satu hal yang mengganjal. Kehidupan di desa ini sudah terlalu banyak memberi pelajaran tentang persatuan, keberanian, dan tentu saja, kebersamaan yang selalu memberi manfaat pada orang lain.
Mereka menyadari, meskipun masalah mereka sudah selesai, tapi ada banyak hal yang harus dipelajari. Menjadi seperti air—bermanfaat dan selalu menyesuaikan diri—ternyata menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga.
"Well, kita sudah melakukan yang terbaik," kata Nadine sambil mengangkat kopinya. "Dan kalau ada yang perlu dibantu, ya kita bantu lagi. Selalu, dengan cara yang kita bisa."
Gilang mengangguk dengan penuh percaya diri. "Betul. Kadang, kita harus sedikit kocak biar orang nggak terlalu tegang, kan? Tapi yang penting, kita tetap ada untuk mereka."
Raka tertawa. "Iya, dan kita tetap bisa jadi pahlawan versi kita sendiri!"
Dengan senyum penuh kelegaan, mereka meninggalkan rumah nenek Nadine, siap kembali ke kota dan melanjutkan hidup mereka. Meski begitu, petualangan mereka di desa ini akan selalu ada di ingatan, seperti air yang mengalir sepanjang hidup mereka, bermanfaat dan menenangkan.
Epilog:
Saat mereka beranjak dari desa, mereka tak tahu bahwa petualangan baru akan segera menanti mereka. Tetapi untuk kali ini, mereka sudah siap. Karena, seperti air, mereka sudah tahu caranya beradaptasi dan selalu memberikan manfaat—meskipun sedikit kocak.
Tamat