Bagian 1: Gang Buntu
Malam mulai merayap naik ketika Arya dan Bimo masih sibuk menatap layar ponsel. Mereka berdiri di trotoar sempit, diterangi lampu jalan yang berkedip seperti lampu diskotik murahan.
"Katanya deket sini, bro," kata Bimo sambil menyipitkan mata ke aplikasi GPS diponsel. "Tapi kok kita malah muter-muter kayak figuran di sinetron azab?"
Arya menghela napas. “Lo yakin ini alamatnya? Gue udah capek muter kayak kipas angin.”
“Yakin! Ini sih udah akurat 99,9%.”
“Tuh yang 0,1%-nya kenapa nggak lo pikirin?”
Bimo tak menggubris. Matanya tiba-tiba berbinar seperti kucing lihat ikan asin. “Bro! Itu dia!”
Arya mengikuti arah jari Bimo. Seorang gadis berjalan di ujung gang. Rambut panjangnya tergerai, wajahnya samar dalam remang, tapi satu yang pasti—dia mirip sekali dengan gadis yang mereka cari!
Tanpa pikir panjang, Bimo langsung melesat. "Mbak! Tunggu!"
Arya terpaksa ikut mengejar. Ia tak mau ditinggal di gang asing sendirian.
Mereka menyusuri jalan sempit dengan tembok tinggi di kiri-kanan. Beberapa orang yang duduk di warung kopi pinggir jalan menatap mereka dengan ekspresi aneh. Seorang bapak tua sempat bersuara, “Jangan masuk ke sana, Nak! Itu gang—ku...”
Tapi Bimo sudah keburu masuk. Arya menelan ludah, lalu melangkah mengikuti sahabatnya.
Di ujung gang, gadis itu melangkah masuk ke sebuah rumah kuno dengan pagar berkarat. Tak ada plang alamat, tak ada lampu di teras. Rumah itu berdiri sendirian seperti tak pernah dikunjungi manusia.
Bimo tanpa ragu mendorong gerbang yang berderit nyaring. Ia lalu mengetuk pintu dengan penuh semangat. “Permisi! Kami datang dengan niat baik dan hati suci.”
Arya mendelik. "Lo ngomong apaan sih?"
Pintu depan tiba-tiba berderak… dan terbuka sendiri.
Arya dan Bimo saling berpandangan. Tidak ada siapa pun di balik pintu.
"Masuk aja kali ya?" Bimo mengangkat bahu, lalu melangkah masuk.
"Bro, ini aneh," bisik Arya, tapi ia tetap mengikuti.
Begitu mereka melewati ambang pintu… BRAK!
Pintu menutup sendiri dengan keras.
Gelap.
Hanya ada keheningan.
Jantung Arya langsung memompa darah dengan kecepatan turbo. "B-Bim, lo nggak ngerasa ada yang janggal?"
"Apa?" Bimo mencoba melihat sekeliling. Matanya mulai terbiasa dengan kegelapan. "Tadi rumah ini kecil dari luar… Kok dalemnya kayak lorong mal gini?"
Arya melirik ke belakang. Tidak ada pintu. Yang ada hanya lorong panjang yang membentang ke depan.
"Kita ke mana ini?" suara Arya bergetar.
Bimo mencoba meraba dinding. "Kayaknya nggak ada jalan balik… Jadi… maju aja kali ya?"
Mereka menelan ludah, lalu mulai melangkah.
Lorong itu dingin, berbau tanah basah dan… sesuatu yang tidak ingin mereka pikirkan.
Mereka berjalan semakin jauh, lorong seakan tak berujung. Hingga akhirnya, sebuah cahaya samar terlihat di depan.
"Akhirnya!" Bimo mempercepat langkah, tapi begitu mereka melewati cahaya itu—
Blar!
Mereka tiba-tiba berada di tempat yang sama sekali berbeda.
Bukan lagi di dalam rumah kuno.
Bukan lagi di gang sempit kota mereka.
Mereka berdiri di tengah kota yang aneh.
Langitnya kelabu, bulan bulat besar menggantung di langit, tapi cahayanya tidak memberikan kehangatan. Bangunan di sekitar tampak tua dan megah, seperti sisa-sisa kerajaan kuno yang sudah lama ditinggalkan. Jalanan berbatu dipenuhi orang-orang yang berjalan perlahan…
Tapi mereka bukan orang biasa.
Beberapa memakai pakaian lusuh dengan wajah pucat, tatapan kosong. Ada yang berjalan tertatih seperti mayat hidup. Ada yang berkulit hitam pekat dengan mata merah menyala. Seorang nenek berdiri di sudut, tersenyum pada mereka—giginya bertaring panjang.
Bimo dan Arya terdiam.
Sama sekali tidak terdengar suara kendaraan. Tidak ada suara orang bercakap-cakap.
Hanya ada suara angin melolong dan… bisikan-bisikan samar yang seakan berasal dari segala arah.
Arya menarik napas panjang. "Bim…"
"Iya?"
"Kita… di mana?"
Bimo menelan ludah. "Kayaknya… kita nyasar ke dunia yang bukan dunia kita…"
Arya mengerjapkan mata, memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. "Jadi lo mau bilang… kita masuk ke dunia gaib?"
Bimo mengangguk pelan.
Hening.
Lalu dengan suara bergetar, Arya berkata,
“Bim… kalau lo nggak keberatan… boleh nggak kita panik sekarang?”
Bimo mengangkat tangan. "Setuju. Gue panik duluan."
Dan tanpa aba-aba, mereka berdua langsung berteriak sekencang-kencangnya, AAAAAAARGH!
Bagian 2: Panik
Teriakan mereka menggema di udara.
Dan sialnya, jeritan panik Arya dan Bimo justru menarik perhatian.
Sosok-sosok yang tadi berjalan perlahan kini menoleh serempak ke arah mereka. Beberapa makhluk dengan wajah pucat dan mata kosong mulai melangkah mendekat. Nenek bertaring di sudut gang tersenyum lebih lebar, seakan baru saja melihat dua potong ayam goreng berjalan sendiri ke arahnya.
Arya dan Bimo langsung refleks menutup mulut.
"Kita harus kabur," bisik Arya dengan suara nyaris tak terdengar.
Bimo mengangguk cepat. Mereka berdua beringsut mundur pelan-pelan.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Makhluk-makhluk itu semakin mendekat.
Empat langkah.
Lima langkah.
Nenek bertaring melangkah ke depan, mengendus udara seperti mencium aroma santapan lezat.
Enam langkah.
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari jauh. Seperti suara ribuan kaki berlarian.
Arya menoleh ke belakang. “Bim… lo denger itu?”
Belum sempat Bimo menjawab, sesuatu menerjang kaki mereka.
“WAAA!!”
Mereka berdua terjerembab ke tanah. Sesuatu yang kecil dan banyak menindih tubuh mereka.
Arya membuka mata. Lalu langsung membelalak.
"TUYUL!!"
Makhluk-makhluk kecil berkepala botak, dengan tubuh sekecil anak balita, bergerombol di atas mereka. Tuyul-tuyul itu menjerit-jerit kegirangan seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.
Bimo langsung refleks meraba kantongnya. "Dompet gue! Dompet gue!"
Terlambat. Beberapa tuyul sudah berhamburan sambil tertawa, masing-masing membawa barang-barang yang tadi ada di kantong mereka. Satu tuyul memegang dompet Arya, tuyul lain membawa dompet Bimo, ada yang menenteng kunci motor, bahkan ada yang berusaha memakai sepatu sebelah Bimo yang entah kenapa tiba-tiba lepas.
"BALIKIN!!" teriak Arya sambil berusaha meraih dompetnya. Tapi tuyul itu malah lompat ke kepala tuyul lain, lalu ketawa cekikikan.
Bimo mencoba mengusir tuyul-tuyul di atasnya. "Pergi! Pergi! Dasar makhluk receh!"
Tuyul-tuyul itu malah makin semangat. Ada yang naik ke pundak Bimo, ada yang menarik rambut Arya.
Sementara itu, di kejauhan, makhluk-makhluk seram yang tadi mengejar mereka berhenti sejenak, menonton kejadian itu dengan ekspresi bingung. Bahkan si nenek bertaring tampak mengernyit, bukannya takut dimakan tuyul, tapi takut kecopetan.
Arya dan Bimo nyaris putus asa menghadapi serbuan bocil supranatural ini… Sampai tiba-tiba…
JLEB!
Satu tuyul menjerit kaget. Telinganya dijewer oleh sebuah tangan kecil.
Tuyul itu langsung menangis sekencang-kencangnya.
“HUAAAAAAAAAAAA!!!”
Arya dan Bimo menoleh.
Seorang gadis berdiri di tengah mereka. Rambut hitam panjangnya berkibar, matanya berbinar geli. Ia menjewer satu tuyul di tangan kanan, dan satu lagi di tangan kiri.
"Kalian ini nakal banget, sih?" katanya santai. Lalu, dengan tangan terampil, ia menjewer tuyul-tuyul lain satu per satu.
Tangisan tuyul langsung pecah serempak.
"HUAAAAA!!! SAKIT!!!"
Arya dan Bimo bengong.
"Ternyata lemah juga," bisik Arya.
Bimo mengangguk. "Kita tadi dibantai sama makhluk-makhluk yang lemah karena dijewer? Malu banget."
Gadis itu tertawa kecil, lalu melepas jewerannya. Tuyul-tuyul itu langsung mengusap-usap telinga mereka yang memerah, cemberut seperti anak kecil yang baru dihukum.
"Kalau mau main, jangan kasar ya," kata gadis itu lagi.
Tuyul-tuyul itu akhirnya menyerah. Dengan wajah ngambek, mereka mengembalikan dompet, kunci motor, dan sepatu Bimo.
Untuk menenangkan mereka, gadis itu mengeluarkan beberapa permen rasa susu sapi dari sakunya dan memberikannya pada tuyul-tuyul itu. Arya dan Bimo ikut memberikan recehan yang ada di kantong mereka.
Yang mengejutkan, setelah menerima permen dan uang receh, tuyul-tuyul itu berubah total.
Mereka tidak lagi nakal.
Mereka tersenyum lebar, lalu mulai menggandeng Arya dan Bimo seperti anak-anak yang baru saja mendapat hadiah.
"Abang baik!" kata satu tuyul.
"Kami bantu abang kalau abang mau apa-apa!" kata tuyul lain.
Arya dan Bimo saling pandang.
Bimo langsung mendekat ke gadis yang baru saja menolong mereka. “Nona penyelamat, terima kasih. Lo siapa, sih? Lo orang beneran atau hantu?”
Gadis itu mengangkat alis. “Menurut lo?”
“Ehm… orang beneran, sih. Tapi lo bisa lawan hantu. Berarti lo…”
“Namaku Maya.” Gadis itu tersenyum. “Aku manusia. Tapi aku bisa lihat hantu dan tahu cara menghadapi mereka.”
Arya menghela napas lega. "Syukur deh kita ketemu manusia."
Maya tertawa. "Emang kalian kira kalian doang yang bisa masuk ke dunia lain?"
Bimo nyengir. “Gue sih cuma mikir kita tadi nyasar, terus masuk ke tempat yang salah. Nggak nyangka kita malah masuk ke alam lain.”
Tuyul-tuyul itu masih mengerubungi mereka. Salah satu tuyul kecil menarik-narik lengan Arya.
"Abang mau apa? Kami bisa bantu!"
Bimo langsung tertarik. "Serius? Bisa bantu cari jalan pulang?"
Tuyul-tuyul itu mengangguk.
Bimo hampir saja mengiyakan, tapi tiba-tiba Maya menepuk pundaknya. “Jangan.”
Arya dan Bimo menoleh heran.
"Kenapa?" tanya Arya.
Maya memasang wajah serius. “Kalau kalian minta sesuatu ke mereka, mereka pasti minta balasan.”
Bimo mengangkat bahu. “Ya udah, kita kasih duit lagi.”
Maya menggeleng. “Balasan mereka nggak selalu duit. Mereka bisa minta sesuatu yang lebih besar. Bisa jadi nyawa kalian.”
Arya menelan ludah. “Serius?”
“Serius,” kata Maya. “Sekali kalian menerima bantuan dari mereka, kalian terikat. Mereka bisa minta tumbal, bahkan tujuh turunan.”
Bimo langsung mundur selangkah. "Oke, batal! Gue nggak mau tiba-tiba ada cicit gue di masa depan yang kena kutukan!"
Arya ikut mengangguk cepat. “Kita cari jalan sendiri aja, deh.”
Maya tersenyum. “Pintar.”
Tuyul-tuyul yang mendengar itu tampak kecewa, tapi tetap tersenyum manis.
Salah satu tuyul berkata, “Ya udah, kalau nggak mau bantuan, kami main lagi yaaa!”
Dan dalam sekejap, mereka semua main lagi, ada yang lari kesana kemari, menghilang, atau tertawa-tawa ke arah gelap.
Arya dan Bimo akhirnya bisa bernapas lega.
Maya menatap mereka dengan senyum geli. "Jadi… kalian mau aku bantu nyari jalan pulang?"
Arya dan Bimo saling pandang.
Bimo langsung menjabat tangan Maya. “Setelah pengalaman barusan, gue nggak akan nolak bantuan manusia. Maya, lo sekarang pemimpin kita!”
Arya mengangguk semangat. “Tolong bawa kita keluar dari sini sebelum kita dikeroyok tuyul lagi.”
Maya tertawa. “Baiklah. Tapi jalannya nggak bakal gampang.”
Arya dan Bimo menghela napas bersamaan.
Mereka belum tahu tantangan apa yang menunggu di depan. Tapi satu hal pasti—malam ini akan jadi malam terpanjang dalam hidup mereka.
Bagian 3: Tawaran yang Tak Bisa Ditolak
Di bawah sinar bulan pucat yang menggantung di langit kelabu, Arya dan Bimo duduk bersila di tanah. Napas mereka masih tersengal setelah pertarungan sengit dengan gerombolan tuyul yang berakhir dengan permen dan recehan. Beberapa Tuyul kini asyik bermain disekitar sambil sesekali melihat ke arah mereka dengan ekspresi jahil.
Di depan Arya dan Bimo, Maya berdiri dengan santai, menyilangkan tangan di dada sambil menatap dua pemuda itu seperti guru yang menunggu muridnya sadar kalau PR mereka belum dikerjakan.
"Jadi, kalian nyasar ke sini gara-gara ngikutin cewek?" suara Maya penuh nada mengejek.
Arya menunduk, menyesal. "Bukan nyasar, sih… lebih ke... ya, tersesat, deh."
Bimo malah tersenyum bangga. "Tanda kalau insting gue buat milih cewek cakep tuh akurat!"
Maya mendengus. "Akurat kepeleset masuk dunia lain, maksudnya?"
Arya langsung menyikut Bimo yang masih cengengesan. "Terus gimana? Bisa bantu kita balik, kan?"
Maya berjongkok, menatap mereka dengan ekspresi seperti kucing yang baru saja menangkap dua tikus bodoh. "Bisa. Tapi kalian harus bantu aku dulu."
Arya spontan mengernyit. "Loh, kok ada syarat?"
"Ya iyalah," jawab Maya enteng. "Gue masuk ke dunia ini buat nyari sesuatu, bukan buat main petak umpet sama tuyul. Kalau kalian mau gue anterin balik, bantu gue dulu."
Arya melotot. "Ini pemerasan!"
Bimo mengangguk sok bijak. "Bener, tapi walau diperas, kita rela kok, kita harus tetap melindungi yang lemah."
Maya menatap Bimo dengan tajam. "Siapa yang lemah?"
Bimo cepat-cepat mengangkat tangan. "Maksud gue... kan lo sendirian di sini, bahaya kalau nggak ada yang nemenin. Jadi kita bantu sebagai... apa ya istilahnya... partner investigasi!"
Maya mendengus kecil. "Terserah deh. Intinya, ada satu hantu yang gue cari, namanya Rani. Berdasarkan cerita dan ciri-ciri yang lo sebutin tadi, kemungkinan besar itu Dia.."
Arya dan Bimo saling pandang.
"Serius? Jadi kita ngikutin hantu tadi?!" Arya hampir pingsan di tempat.
Bimo malah nyengir. "Tapi cantik."
Maya memutar mata. "Yaudah, sekarang kita cari tahu keberadaan dia. Selain Rani, ada satu lagi yang gue curigai, tuyul mustika. Mereka itu spesialis pencuri benda-benda bertuah. Dan..." Maya menatap Arya dan Bimo dengan ekspresi serius, "mereka mungkin kerja sama."
Arya menelan ludah. "Terus, mustika itu apaan?"
Maya merogoh saku jaketnya, mengeluarkan batu kecil berwarna keemasan yang tampak biasa saja. "Seperti ini!, di dunia manusia, ini cuma batu biasa. Tapi di alam ghaib, kalau berada di tangan yang salah, bisa jadi benda berbahaya."
Bimo melirik batu itu dengan alis berkerut. "Itu kayak... batu akik magic gitu?"
Maya menghela napas panjang. "Intinya, benda ini bisa bikin hantu atau makhluk lain makin kuat. Kalau dicuri dan dipakai buat hal jahat, bisa berabe."
Arya meneguk ludah. "Jadi... yang nyolong batu itu bisa jadi sekuat apa?"
Maya menyeringai kecil. "Kita nggak akan tahu kalau nggak cari dulu, kan?"
Bimo langsung berdehem. "Oke, setuju. Kita cari si Rani dan tuyul mustika, terus kita pulang."
Maya menoleh ke arah sekelompok tuyul yang masih sibuk bermain ayunan. "Kita tanya mereka dulu. Biasanya tuyul-tuyul kayak gini suka denger gosip."
Arya langsung berbisik ke Bimo. "Lo yakin mau nanya ke tuyul? Mereka tukang colong duit, bukan reporter infotainment."
Bimo mengangkat bahu. "Daripada kita cari buta-buta? Mending tanya dulu. Lagian, kita udah ngasih mereka permen, masa nggak bisa kasih info?"
Maya berjalan mendekati tuyul-tuyul itu, lalu bersedekap. "Oke, anak-anak. Ada yang pernah dengar nama tuyul mustika atau Rani?"
Tuyul-tuyul itu serempak diam. Seolah baru saja ditanya soal ujian matematika.
Beberapa dari mereka saling lirik-lirikan, lalu salah satu dari mereka—yang terlihat paling kecil—menggaruk kepala botaknya. "Ehm... siapa tuh? Gak kenal..."
Maya menyipitkan mata. "Bener nggak kenal atau nggak mau ngomong?"
Tuyul-tuyul itu mulai gelisah. Beberapa pura-pura main pasir, ada juga yang tiba-tiba sibuk mengikat tali sepatu yang bahkan nggak ada.
Bimo menyenggol Arya. "Wah, mereka ngumpetin sesuatu, nih."
Maya menghela napas. "Kalau kalian tahu sesuatu dan nggak mau ngomong, berarti kalian takut."
Tuyul kecil itu melirik teman-temannya, lalu mendekat dengan suara berbisik. "Bukan takut... tapi kalau kita ngomong, nanti dia tahu."
Arya dan Bimo saling pandang, bulu kuduk mereka langsung meremang.
Bimo menelan ludah. "Dia siapa?"
Tuyul itu menatap mereka dengan mata lebar. "Dia yang suka... ngikutin dari bayangan."
Arya langsung merinding. "Oke, gue usul kita balik aja sekarang."
Maya malah tersenyum kecil. "Nggak bisa. Ini justru makin menarik."
Arya ingin protes, tapi sebelum sempat membuka mulut, suara langkah kaki kecil-kecil mulai terdengar.
Dari balik semak-semak, sesuatu mengintip dengan mata hijau menyala.
Bimo berbisik panik. "Oke, kalau itu tuyul mustika, kita mending kabur aja nggak sih?"
Maya menyeringai. "Atau... kita tangkap duluan?"
Bagian 4: Serangan Pasukan Tengkorak
Dari balik semak-semak, sesuatu mengintip dengan mata merah menyala.
Arya menelan ludah. "Bimo, gue nggak mau nuduh sih, tapi feeling gue jelek."
Bimo mengangguk cepat. "Sama. Biasanya kalau di film-film, mata merah artinya villain kelas menengah ke atas."
Maya tetap tenang. Dia merogoh sakunya, bersiap mengeluarkan sesuatu—mungkin jimat, mungkin permen. Tapi sebelum sempat melakukan apa-apa, semak-semak itu bergoyang liar. Sesuatu melompat keluar.
Bukan tuyul mustika.
Bukan juga Rani.
Tapi... PASUKAN TENGKORAK.
Puluhan tengkorak berjalan dengan gerakan kaku, tulang-tulang mereka berbunyi seperti kursi lipat yang didudukin orang kegendutan. Mata mereka menyala merah, mulut mereka terbuka lebar, seperti sedang tertawa tanpa suara.
"Maya... ini normal nggak?" Arya mulai melangkah mundur.
"Normal sih nggak, tapi ya... biasa terjadi." Maya menjawab santai, tapi tangannya sudah mengepal.
Bimo berkacak pinggang. "Oke, mereka emang serem, tapi toh mereka cuma tulang doang. Kita tinggal—ARGH!"
Tengkorak terdepan tiba-tiba menyerang! Bimo reflek meninju, dan... BRAK! Kepala tengkorak itu copot, terlempar ke udara, lalu jatuh ke tanah, menggelinding pelan.
Arya dan Bimo saling tatap.
"Hah? Segampang ini?"
Belum sempat mereka lega, kepala yang copot itu tiba-tiba melompat balik, nyambung lagi ke badannya. Tengkorak itu berdiri seperti nggak ada yang terjadi.
"Oke. Gue ralat. Nggak gampang." Bimo mundur perlahan.
Maya mulai bertarung. Tendangannya menghajar satu tengkorak, membuatnya ambyar jadi tumpukan tulang. Tapi belum sempat dia menyerang yang lain, tulang-tulang itu bergerak sendiri, menyusun ulang, dan...
"ASTAGA, KENAPA MEREKA JADI MEGATRON?!" Arya menjerit panik.
Pasukan tengkorak mulai menyatu. Satu kepala, dua lengan ekstra, kaki dari beberapa tengkorak yang bergabung. Sekarang mereka bukan cuma tengkorak biasa—mereka berubah jadi monster tulang setinggi dua kali manusia.
Bimo sudah setengah nyerah. "Maya, solusi. Sekarang."
Maya menggeram, melirik ke kanan-kiri, lalu mendadak tersenyum. "Gampang."
Arya dan Bimo menatapnya penuh harap.
"Guk."
Arya mengerutkan dahi. "Apa?"
Maya mengangkat tangan, serius. "GUK.
Bimo melongo. "Maya... ini bukan waktu buat becanda."
Maya menatap mereka tajam. "Bukan becanda. Mereka takut anjing. Cepetan, pura-pura jadi anjing. Guk-guk."
Arya dan Bimo menatap satu sama lain, lalu menatap pasukan tengkorak yang semakin dekat.
"Maya, ini konyol." Arya menolak.
Maya menyipitkan mata. "Lo mau dikejar-kejar Power Rangers Tulang atau nggak?"
Bimo langsung pasang kuda-kuda. "GUK! GUK! GUK!"
Arya terdiam.
Bimo menyikutnya. "Buruan!"
Arya menarik napas dalam, menekan harga dirinya yang tersisa, lalu berteriak: "GUK! GUK! WOOF! ARF! WOOF!"
Hasilnya?
Pasukan tengkorak langsung berhenti. Mata merah mereka mendadak meredup. Tulang-tulang mereka mulai bergetar. Lalu...
KLOTAK!
KLOTAK!
KLOTAK!
Satu per satu, mereka ambruk, lari tunggang langgang. Beberapa kepalanya langsung meluncur sendiri, menggelinding ke semak-semak. Ada yang lompat ke pohon, ada yang masuk ke dalam tanah kayak takut ditagih utang.
Arya dan Bimo masih berdiri kaku, menyalak ke udara.
Maya mengangguk puas. "Tuh kan, efektif."
Bimo terengah-engah. "Kok bisa?"
Maya mengangkat bahu. "Mereka dulunya pasukan kuno, zaman dulu banyak anjing penjaga di kuburan. Katanya tulang mereka sering dijadiin camilan, Jadi ya... trauma."
Arya menjatuhkan diri ke tanah. "Gue nggak percaya gue barusan jadi anjing."
Maya tidak peduli. Dia langsung menyambar satu tengkorak yang masih tersisa, mengangkatnya tinggi-tinggi. "Nah, yang ini bakal kasih kita jawaban."
Tengkorak itu menggigil, seluruh tulangnya gemetar hebat.
KLOTAK.
KLOTAK.
KLOTAK.
Maya menghela napas. "Oke, kayaknya kita perlu strategi lain. Ada yang bisa bahasa tengkorak?"
Arya dan Bimo serempak menggeleng.
Maya menyeringai. "Seru juga. Oke, mari kita interogasi tulang hidup ini."
Bagian 5: Menginterogasi Tengkorak Hidup
Maya menatap tengkorak yang masih bergetar di tangannya. Tulang-belulangnya gemeretak seperti koin di toples kaca.
"Oke, kita mulai interogasi."
Bimo menyilangkan tangan. "Masalahnya, dia nggak punya bibir. Gimana cara dia ngomong?"
Arya mengangguk setuju. "Bahkan kalau dia bisa ngomong pun, mana bisa kita ngerti bahasa klotek-klotek?"
Maya berpikir sejenak. Lalu, tanpa aba-aba, dia mengguncang tengkorak itu keras-keras.
"WOY, JAWAB!"
KLOTAK KLOTAK KLOTAK!
Tengkorak itu menggigil makin parah. Tapi tetap saja, tak ada satu pun kata yang keluar.
Bimo menyentuh dagunya. "Mungkin... kita bisa pakai bahasa isyarat?"
Arya mendelik. "Serius, Mo? Ini tengkorak, bukan badut pantomim."
Maya mengangkat tangan. "Tenang, aku punya cara."
Dia lalu merogoh kantongnya, mengeluarkan sebutir batu kecil bercahaya ungu.
"Ini batu penerjemah arwah. Seharusnya bisa bikin dia ngomong dalam bahasa kita."
Arya dan Bimo langsung menatap batu itu dengan harapan.
Maya menaruh batu itu di ubun-ubun tengkorak. Seketika, udara di sekitar mereka bergetar, dan dari dalam tulang belulang yang gemetar itu, terdengar suara serak seperti pintu berkarat yang dibuka paksa.
"A-aku... aku nggak tahu apa-apa..."
Arya mengangkat alis. "Whoa. Itu barusan... dia ngomong?"
Bimo melongo. "Keren! Udah kayak sulap di acara TV!"
Maya mencengkeram tengkorak itu lebih erat. "Dengerin baik-baik, Bro Tulang. Kami cuma mau tahu dua hal. Siapa yang menyuruhmu? Di mana pencuri mustika bersembunyi?"
Tengkorak itu makin bergetar, nyaris copot sendinya sendiri. "Aku... aku nggak bisa bilang..."
Arya mendesah. "Kenapa? Karena lo nggak tahu atau karena lo takut?"
Tengkorak itu diam. Lalu, dengan suara lirih, dia menjawab:
"Kalau aku bicara, aku bisa... hilang..."
Bimo menelan ludah. "Oke, itu agak mengerikan."
Maya tetap tak goyah. "Denger, kami bukan musuh. Kami cuma mau menyelesaikan masalah ini. Kalau kamu tahu sesuatu, tolong kasih tahu kami."
Tengkorak itu masih ragu-ragu, tapi akhirnya dia bergumam pelan:
"Dia... tidak sendirian... dia punya... Majikan yang lebih besar..."
Arya langsung tegak. "Maksud lo, lebih besar dari lo dan pasukan Power Rangers Tulang tadi?"
Tengkorak itu mengangguk. "Ya... sesuatu yang lebih tua... lebih kuat... lebih gelap..."
Maya menyipitkan mata. "Siapa?"
Sebelum tengkorak itu bisa menjawab, tiba-tiba seluruh tubuhnya bergetar hebat. Cahaya ungu dari batu penerjemah redup seketika.
Tengkorak itu mulai retak.
KRAK!
"A-Apa yang terjadi?!" Bimo panik.
Maya menggertakkan giginya. "Sial. Sepertinya ada yang nggak mau dia bicara!"
Tengkorak itu menatap mereka dengan cahaya merah terakhir di matanya. "Ma-maaf... mereka... tahu aku di sini..."
Dan dengan suara KRAK! yang terakhir, tengkorak itu meledak menjadi tumpukan debu.
Arya dan Bimo mundur selangkah.
"Oke. Itu... sangat nggak bagus." Arya menggaruk kepala. "Kita baru dapet info dikit, eh udah bubar jadi debu."
Maya menghela napas. "Ya... ini berarti kita menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar tuyul mustika dan hantu penasaran."
Bimo menarik napas panjang. "Jadi, sekarang apa?"
Maya berdiri, menatap kegelapan hutan ghaib di depan mereka.
"Sekarang? Kita cari tahu siapa dalang sebenarnya di balik semua ini."
Bagian 6: Pertarungan melawan Kolor Ijo
Malam di dunia ghaib terasa lebih kelam dari biasanya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang… busuk. Bukan busuk biasa, tapi busuk yang seperti campuran bau kaus kaki habis dipakai sebulan dan cucian baju yang direndem air deterjen kadaluarsa lupa dibilas.
"Gue ngerasa nggak enak," Arya bergidik, menoleh ke kanan-kiri. "Ini kayak… tempat persembunyian predator."
"Udah jangan parno," Bimo menepuk pundaknya, meski jelas keringat dinginnya juga mulai mengalir. "Siapa pun yang tinggal di sini, pasti cuma... makhluk biasa."
"Ya, makhluk biasa yang belum tentu punya hobi berkebun, Mo," Maya mendengus, berjalan di depan.
Baru saja mereka melewati pohon besar dengan akar menjuntai, suara GUBRAK! terdengar di depan. Sesosok bayangan gelap melompat turun dari atas pohon dengan gerakan akrobatik yang agak berlebihan.
Mata mereka membelalak.
Makhluk itu berdiri dengan kaki terbuka lebar, dadanya dibusungkan dengan percaya diri, dan satu tangan dikepalkan ke pinggang.
Kulitnya hitam butek seperti orang yang nggak pernah mandi seumur hidup. Matanya hijau mencolok seperti keranjang belanja plastik di pasar. Yang bikin lebih mencolok lagi—dan agak mengganggu—adalah celana kolornya yang hijau terang dan terlalu ketat.
"SIAPA BERANI MASUK WILAYAH KOLOOOR IJO?!"
Arya dan Bimo spontan mundur.
"Itu… itu… KOLOOOR IJO!" Arya nyaris pingsan.
"Gawat!" Bimo gemetar. "Maya, cepat lari sebelum dia ngambil CD kamu!"
Maya hanya mendesah. "Kalian ini… dasar cowok nggak guna."
Kolor Ijo menyeringai, memperlihatkan giginya yang kuning dan tidak rata. "Kalian pasti cewek cantik dan—eh? Cuma satu? Yah, yaudah, lumayanlah."
Maya langsung menendang batu ke arahnya. "Kurang ajar! Berani meremehkan gue?!"
Kolor Ijo menghindar dengan lincah. "Waduh, galak juga. Gue jadi makin tertarik!"
Arya dan Bimo langsung berdiri di belakang Maya. "Maya, ayo buru-buru hajar dia, terus kita kabur!"
Maya berdecak, lalu melompat menyerang. Duel pun dimulai.
Kolor Ijo memang kuat dan lincah, tapi Maya lebih cepat. Setiap pukulannya membuat Kolor Ijo terpental. Namun, anehnya, tiap kali hampir kalah, makhluk itu selalu tertawa seperti tidak ada beban hidup.
"Hahaha! Kalian pikir bisa ngalahin gue? Gue ini Raja Fashion Dunia Ghaib! Kalian mau tahu koleksi gue?"
Tiba-tiba, dari balik pohon besar, muncul sesuatu yang membuat Arya dan Bimo merinding.
Lemari kaca berisi… boneka Barbie.
"T-Tunggu… dia koleksi Barbie?!" Arya membelalak.
Kolor Ijo mengangguk bangga. "Lengkap! Dari yang klasik sampai edisi terbatas! Bahkan ada yang bisa nyanyi!"
Maya berhenti menyerang sejenak. "Oke, itu agak disturbing."
Bimo mengangguk cepat. "Banget. Gue nggak siap mental buat ini."
Tapi pertarungan tidak bisa berhenti begitu saja. Maya mengeluarkan sehelai celana kolor kuning keramat bermotif bebek dari tasnya. "Kalau lo nggak mau nyerah, lo harus pakai ini!"
Kolor Ijo langsung pucat. "APA?! TIDAAAK! ITU KOLOR KUTUKAN! GUE BENCI WARNA KUNING MOTIF BEBEK! NOOO!"
Arya dan Bimo saling pandang. "Tunggu, dia lebih takut sama kolor kuning bebek daripada pukulan Maya?"
Maya mengayun-ayunkan kolor bebek itu. "Pilihan lo ada dua: kasih tau informasi atau gue ganti kolor lo paksa!"
Kolor Ijo mengangkat tangan. "Oke, oke! Gue kasih tau! Lo harus ke… PASAR GELAP!"
Maya menyipitkan mata. "Pasar Gelap? Apa itu?"
Kolor Ijo menyeringai, sedikit senyum licik di wajahnya. "Itu tempat di mana kalian bisa nemuin semua informasi. Tapi…"
"Tapi apa?" Bimo menelan ludah.
Kolor Ijo terkekeh. "Tapi masuk ke sana gampang, keluarnya yang susah. Mungkin… lo nggak akan keluar sama sekali. Hahaha!"
Sebelum ada yang sempat menanyakan lebih lanjut, Kolor Ijo tiba-tiba melompat ke belakang, tertawa semakin keras. Tiba-tiba, kabut hitam menyelimuti sekeliling mereka.
Dan dalam sekejap…
Mereka bertiga terpisah.
***
Arya membuka matanya dan langsung mendapati dirinya di tempat yang benar-benar berbeda. Lampu-lampu merah menyala redup, aroma kemenyan dan dupa memenuhi udara. Suara bisikan terdengar dari segala arah.
Di depannya, ada berbagai makhluk aneh lalu lalang—hantu dengan tubuh separuh transparan, makhluk berbentuk asap, bahkan ada zombie yang terlihat duduk bersila dengan mata terpejam, berkomunikasi dengan entitas ghaib.
"Oke… ini resmi jadi pengalaman paling seram dalam hidup gue."
Sementara itu, Bimo juga muncul di area lain dari kota misterius. Dia berdiri di depan kios yang menjual berbagai benda ghaib, dari rambut kuntilanak, kuku pocong, hingga air mata genderuwo.
"Oke, ini lebih aneh dari yang gue bayangin…"
Di sisi lain, Maya sedang berjalan dengan wajah kesal. "Dasar kolor ijo! Kalau ketemu lagi, gue jamin dia bakal pake kolor Hello Kitty!"
Mereka bertiga kini terpisah, masing-masing harus mencari jalan sendiri-sendiri… tanpa tahu kalau jebakan besar sudah menunggu mereka.
Bagian 7: Pocong Jahil
Arya menelan ludah.
Dia berdiri di tengah gang sempit yang remang-remang, dikelilingi rumah-rumah tua yang berisi objek-objek ghaib. Lentera Lilin merah di sudut gang berkelip-kelip seolah mengejek keberaniannya yang hampir luntur.
"Kenapa gue sendirian di sini?" gumamnya.
Angin dingin berhembus, membawa aroma dupa yang bercampur dengan sesuatu yang lebih… misterius.
"Ngik."
Arya membeku. "A-apaan tuh?"
"Ngiiiik… klotak… krek…."
Arya menoleh pelan.
Di ujung gang, di bawah cahaya redup lilin, berdiri sesosok pocong. Kepalanya sedikit miring, tubuhnya bergoyang seperti sedang pemanasan sebelum olahraga.
Pocong itu tidak berbicara. Tapi suara "Ngiiik… klotak…" terus terdengar setiap kali dia bergerak.
"Ya Tuhan…" Arya mencengkeram dadanya, mencoba mengatur napas. "Gue udah biasa ketemu hantu, tapi kalau hantu model begini… duh!"
Pocong itu melompat maju.
"NGIIIIIK!"
Arya spontan kabur. "TIDAAAAK! INI TERLALU HOROR!"
Pocong itu terus mengejar. Melompat-lompat seperti bola karet yang kehilangan arah. Tapi, ya… karena kakinya terikat, lompatannya nggak lurus. Kadang miring ke kanan, kadang ke kiri, kadang malah hampir jatuh sendiri.
Arya akhirnya sadar sesuatu.
"Tunggu… dia nggak bisa lari, cuma lompat?"
Dia berhenti berlari dan menoleh ke belakang. Pocong itu, yang ternyata belum sampai juga, masih sibuk melompat-lompat dengan gaya yang kurang efisien.
"Jadi… lo ini pocong atau kanguru?" Arya mulai merasa lebih tenang.
"Ngiiik!" protes si pocong.
Arya mendekat, masih hati-hati. "Kalau lo nggak bisa jalan normal… berarti masalahnya ada di sini."
Dia menarik tali pengikat pocong di bagian atas kepala.
"Klotak!"
Pocong itu langsung membungkuk seperti balon yang kehilangan angin. Tapi tetap nggak bicara. Hanya terdengar suara "Krek… krek…" saat dia menggoyangkan tubuhnya.
Arya melirik ke bawah. "Nah, yang di kaki juga gue buka, ya?"
"Ngik?!"
"Iya, sabar…" Arya menarik tali terakhir.
Dan…
BRAK!
Kain kafan pocong itu jatuh, memperlihatkan bentuk aslinya—tulang belulang hidup yang masih terbungkus kain kafan longgar. Mata Arya membelalak.
"Wah… jadi lo bukan hantu utuh? Cuma tengkorak yang dibungkus kayak lontong?"
Si pocong menoleh ke dirinya sendiri, lalu ke Arya. Dan tiba-tiba… dia berhenti bergerak.
"Ngik?" katanya, pelan.
Arya mengangkat alis. "Kenapa? Lo sakit? Kakinya pegel abis lompat-lompat?"
Si pocong malah mengangkat kedua tangannya ke udara seperti seseorang yang baru merasakan kebebasan. Lalu, dengan langkah pelan… dia berjalan.
Yup. JALAN.
Bukan lompat.
Si pocong berhenti, menatap Arya seolah baru saja menemukan cinta sejatinya.
"Klotak-klotak-klotak…" tulangnya sedikit bergetar.
Arya menelan ludah. "Lo kenapa?"
Pocong itu mengulurkan tangan seperti mau jabat tangan.
"Ngiiik."
"Apa? Lo mau… berterima kasih?"
Pocong itu mengangguk.
Arya merasa ini makin aneh. "Oke… jadi karena gue buka tali pocong lo, sekarang lo nggak lompat-lompat lagi?"
Si pocong mengangguk lebih semangat.
"Dan sekarang lo mau ikut gue ke mana pun gue pergi?"
Si pocong mengangguk lebih kencang lagi, sampai kepalanya hampir jatuh dari leher.
Arya menghela napas panjang. "Ya Tuhan… kayaknya gue baru aja dapet sidekick baru."
Si pocong mengepalkan tangan seolah bilang, "Yes!"
Arya menepuk jidat. "Kenapa selalu gue?!"
Tapi di sisi lain… dia juga sadar.
Kalau makhluk ini bisa membantunya mencari Maya dan Bimo… mungkin ini bukan hal buruk.
Dengan enggan, Arya akhirnya berjalan lagi, kali ini ditemani tengkorak hidup berkafan yang sangat, sangat loyal.
Bimo dan Mama Kunti
Bimo berjalan sendirian di sebuah jalanan tua yang dipenuhi rumah-rumah kayu kosong. Angin berhembus, membawa aroma lembap dan wangi bunga kamboja yang mencurigakan.
Ia menelan ludah. "Kenapa gue malah ke daerah sini, sih? Ini pasti jebakan kolor ijo!"
Lampu-lampu minyak di beberapa rumah berkedip-kedip, memberikan cahaya yang justru membuat suasana semakin mencekam. Lalu, di ujung jalan…
Seorang wanita berdiri.
Cantik. Misterius. Rambut panjangnya tergerai, matanya sayu, wajahnya putih pucat seperti porselen. Gaun putihnya melambai pelan diterpa angin malam.
Bimo mengerutkan kening. "Ehm… halo, Mbak? Sendirian aja? Lagi nunggu ojol?"
Wanita itu menoleh perlahan. Tatapannya kosong, tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Bimo meremang.
"Kamu…" suara wanita itu lembut tapi dingin, seperti angin yang bertiup dari liang kubur.
Bimo tersenyum kaku. "Eh, iya? Saya?"
Tiba-tiba… ekspresi wanita itu berubah.
Dari cantik menjadi menyeramkan dalam sekejap.
Matanya membelalak, wajahnya retak seperti porselen pecah, bibirnya menyeringai dengan gigi yang hitam dan runcing. Suaranya berubah menjadi jeritan melengking.
"KAU LAKI-LAKI JAHAT! SUKA MENYAKITI WANITA! PANTAS KUBUNUH!"
Bimo hampir pingsan. "TUNGGU! APAAN INI?!"
Wanita itu melayang mendekat, rambutnya menjulur seperti tentakel, siap mencekik Bimo.
Bimo langsung refleks menutup mata dan menjerit… "MAMAAAAA!!!"
Hening.
Bimo mengintip satu mata.
Wanita itu tidak jadi mencekiknya. Wajahnya yang tadi penuh amarah kini berubah… bingung. Matanya berkaca-kaca.
"Apa… yang kamu bilang?" suaranya kini lebih lembut, meski masih sedikit serak menyeramkan.
Bimo melihat peluang. Dengan penuh drama, dia langsung bersimpuh. "Mamaaa… aku anakmu yang hilang! Selama ini aku mencari-cari Mama! Aku kangen peluk Mamaaaa!"
Wanita itu terpaku. Bibirnya bergetar. "A-anakku…?"
Bimo memasang ekspresi anak yatim piatu yang tersesat. "Iya, Ma! Aku sebatang kara di dunia ini! Aku butuh kasih sayang Mama!"
Wanita itu mulai menangis. Isakannya pelan, lalu semakin keras, sampai suaranya berubah menjadi tangisan khas kuntilanak.
Tapi… tidak ada niat menyerang.
Sebaliknya, dia berlutut dan memeluk Bimo erat. "Anakkuu! Akhirnya kamu kembali! Mama sudah lama menunggu!"
Bimo membeku.
Ya Tuhan.
Bau anyir dan amis ini… menusuk banget!
Tapi, demi keselamatannya, dia pasrah saja. "Iya, Ma… aku di sini sekarang…"
Kuntilanak itu mengusap kepala Bimo. "Jangan takut, Nak. Siapa pun yang berani mengganggumu, Mama akan membunuhnya!"
Bimo berkedut. "Ehehe… nggak usah segitunya juga, Ma…"
Si kuntilanak menatap Bimo dengan penuh kasih sayang yang sedikit… mengerikan. "Jangan takut lagi, Nak. Kamu nggak sendirian. Mulai sekarang, Mama akan selalu ada untukmu…"
Bimo tersenyum kaku. "Iya, Ma… makasih, Ma…"
Dan begitulah…
Tanpa direncanakan, Bimo kini punya pelindung baru—seorang kuntilanak galak yang sudah mengangkatnya sebagai anak angkat.
Bagian 8: Maya dan Rani
Maya berjalan di antara reruntuhan bangunan tua yang dipenuhi akar-akar besar seperti ular raksasa. Dunia gaib ini bukan hanya hutan lebat dan kuburan, ternyata ada juga puing-puing kota tua yang penuh misteri.
Di tengah-tengah reruntuhan, Maya melihat sosok seseorang.
Seorang gadis.
Mata mereka bertemu.
Tanpa banyak bicara, keduanya langsung menyerang.
Maya menghunus belatinya. Gadis itu—Rani—menghindar dengan lincah, lalu melompat ke atas tembok yang sudah retak.
"Kembalikan mustika itu!" bentak Maya.
Rani mengernyit. "Maaf, aku belum bisa mengembalikannya!"
Maya makin marah. Ia menyerang lagi, tetapi Rani berkelit, lalu berbalik menendang. Maya berhasil menahan serangan itu dengan lengannya.
Pertarungan mereka sengit.
Namun, di satu momen, Maya melihat sesuatu di mata Rani—kesedihan.
Bukan kebencian.
Ia melangkah mundur. "Tunggu… kamu bukan hantu, siapa kamu sebenarnya?"
Rani menurunkan tangannya. "Aku memang bukan hantu. Aku manusia, sama sepertimu."
Maya mengerutkan kening. "Lalu, kenapa kamu mencuri mustika itu dan masuk ke dunia ghaib ini?"
Rani menghela napas panjang. "Aku mencari ibuku."
Maya terdiam.
Rani menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Ibuku meninggal dengan penuh dendam. Ia diduga menjadi kuntilanak… Aku ingin menemukannya. Aku ingin meminta dia untuk ikhlas dan tidak kembali ke dunia manusia sebagai hantu yang menakut-nakuti orang."
Maya terdiam sejenak, lalu bertanya, "Balas dendamnya sudah selesai?"
Rani mengangguk. "Laki-laki yang menyakitinya sudah mokad… jantungan."
Maya menghela napas. "Baiklah… Jadi, sekarang mustika itu di mana?"
Rani menunduk. "Dicuri tuyul mustika."
Mata Maya membelalak. "APA?!"
Rani mengangkat tangan. "Aku nggak sengaja! Aku kehilangan konsentrasi sebentar, lalu tiba-tiba mustikanya hilang."
Maya memijit pelipisnya. "Tuyul itu nggak bisa dianggap remeh. Kalau mustika itu jatuh ke tangan makhluk jahat, bisa kacau!"
Rani menatap Maya dengan penuh rasa bersalah. "Aku tahu… Makanya aku mau bertanggung jawab. Aku juga mau bertanya tentang ibuku. Itu sebabnya aku ingin menemui Mbah Gondo, penguasa pasar gelap."
Maya menimbang sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Kita bekerja sama. Tapi ingat, kalau kita ketemu tuyul itu, jangan kasih ampun!"
"Setuju!"
Saat itu, mereka mendengar suara langkah kaki.
Arya muncul dari balik reruntuhan, diikuti oleh… tengkorak hidup tengil berkafan.
Maya dan Rani saling berpandangan.
"Arya, itu apaan?" tanya Maya, menunjuk tengkorak jahil yang berdiri di samping Arya seperti ajudan setia.
Arya menggaruk kepala. "Ehm… panjang ceritanya…"
Tengkorak itu berbunyi, "Klotak… klotak… ngik."
Maya dan Rani menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.
Arya hanya bisa menghela napas. "Pokoknya, dia baik. Dan sekarang dia ikut kita."
Rani menatap Arya. "Dan… kamu siapa?"
Arya juga menatap Rani. "Pertanyaan yang sama buat kamu."
Setelah sedikit cerita dan penjelasan, Rani akhirnya menyadari bahwa karena perbuatannya, Arya dan Bimo ikut terseret ke dunia ghaib itu.
Ia terkejut dan merasa bersalah. "Aku nggak menyangka kalau ini akan menyeret orang lain…"
Arya mengangkat bahu. "Yah… sekarang udah terlanjur. Jadi, ayo selesaikan masalah ini."
Maya menyilangkan tangan. "Baik. Kita semua punya alasan untuk menemui Mbah Gondo. Jadi, kita pergi bersama-sama."
Mereka bertiga (plus satu tengkorak hidup berkafan) mulai berjalan menuju pasar gelap—tempat misterius yang dikuasai Mbah Gondo.
Apa yang menanti mereka di sana?
Bagian 9: Mbah Gondo Penguasa Pasar Gelap
Maya, Rani, Arya, dan si tengkorak jahil akhirnya tiba di tujuan mereka.
Pasar Gelap Alam Gaib.
Sebuah tempat yang tidak ada di peta dunia manusia. Berada di pojokan paling gelap dari dunia ghaib itu, pasar ini dipenuhi oleh makhluk halus pedagang yang menjual segala macam benda terkutuk, jimat-jimat berbahaya, hingga jajanan mistis seperti onde-onde isi roh penasaran dan es teh tarik dari air mata pocong.
Tapi mereka tidak datang untuk belanja.
Mereka datang untuk mencari dan menantang penguasa pasar ini.
Mbah Gondo.
Sosok genderuwo raksasa yang duduk di atas singgasana dari tulang belulang dan batu nisan bekas. Tubuhnya hitam pekat seperti bayangan yang menolak diterangi cahaya. Matanya merah menyala, taringnya panjang, dan nafasnya… yah, sepertinya belum sikat gigi sejak zaman Majapahit.
Di kedua sisinya, berdiri dua pengawalnya:
Tuyul Mustika – tuyul kecil berkilau dengan kepala botak yang mengkilap seperti batu mustika. Gesit, cengeng, dan sedikit narsis.
Kolor Ijo – makhluk bertubuh tinggi besar dengan kulit hitam legam. Hanya celananya yang hijau terang, sama seperti matanya yang bersinar seperti lampu darurat di mal saat mati listrik, dan dipinggangnya terselip pusaka andalannya, yaitu.. boneka barbie edisi terbatas?!.
Maya melangkah maju, matanya tajam menusuk. "Mbah Gondo, kembalikan mustika itu!"
Mbah Gondo mengelus jenggot kasarnya. "Hohoho… kalian ini makhluk dunia fana yang sombong. Kenapa aku harus mengembalikannya?"
Arya menyela. "Karena itu bukan milikmu, Mbah! Itu milik dunia manusia!"
Mbah Gondo tertawa rendah, suaranya bergetar seperti gemuruh petir. "Kalian tidak mengerti… Mustika ini adalah kunci! Dengan ini, aku bisa membuka gerbang kemana saja, irit ongkos distribusi barang pasar gelap! Bisa kirim jimat santet ke luar negeri tanpa bayar bea cukai!"
Tuyul Mustika menambahkan, "Dan Mbah Gondo bisa jadi wali kota alam gaib! Bisa naikin harga di pasar tanpa perlu persetujuan DPH (Dewan Perwakilan Hantu)!"
Maya mengepalkan tangan. "Berarti ini bukan sekadar pencurian. Ini konspirasi ekonomi dunia gaib!"
Mbah Gondo mengangkat bahu. "Hohoho… bisnis adalah bisnis, Nduk."
Maya tidak tahan lagi. "Kalau begitu, kita rebut dengan cara lama… BAKU HANTAM!"
Dan pertarungan pun dimulai!
Arya dan Tengkorak Jahil vs Tuyul Mustika
Tuyul Mustika melompat ke sana kemari dengan kecepatan super, sulit ditangkap. Kepalanya yang licin mengkilap memantulkan cahaya seperti bola kristal, membuat Arya dan si tengkorak kesulitan membidiknya.
"Ngik! Klotak!" si tengkorak memberi isyarat ke Arya.
Arya mengangguk. "Iya, gue juga bingung, gimana cara nangkep bocah ini?!"
Tuyul Mustika mengejek. "Wkwkwk! Kalian lelet! Aku secepat angin! Aku sece—"
JLEB!
Tengkorak hidup dengan sigap mengibaskan kain kafan untuk membelit tubuh tuyul mustika, lalu menyodokkan jari tulangnya ke kepala Tuyul Mustika, tepat di ubun-ubunnya.
Tuyul kaget. "EH?! APA INI?! KOK KEPALAKU BERASA DIJEDOTIN?!"
Saat Tuyul lengah, Arya dengan sigap melompat dan menyergap dari samping untuk menjewer kuping Tuyul mustika. "GOTCHA! Mau lari ke mana sekarang?"
Tuyul Mustika meronta. "INI CURANG! AKU KAN KECIL! JANGAN MAIN KERAS! HUHUHUHUHU!"
Dan benar saja… Tuyul Mustika langsung gulung-gulung sambil nangis keras.
Arya menatap tengkorak. "Bener kata orang, bocah tuyul tuh kalo dijewer langsung KO."
Si tengkorak mengangguk puas. "Ngik!"
Maya dan Rani vs Kolor Ijo
Kolor Ijo tertawa angkuh. "Hanya dua gadis kecil yang melawanku? Hahahaha! Aku Kolor Ijo! Aku kebal serangan manusia!"
Maya menatap Rani. "Kita pakai taktik klasik."
Rani mengangguk. "Setuju."
Mereka berdua langsung menyerbu. Maya menyerang dari depan, Rani dari belakang.
Kolor Ijo mengibaskan tangannya, hampir mengenai Maya, tapi Rani sudah lebih dulu melompat dan menendang dari belakang.
"URGH!" Kolor Ijo terhuyung, tapi masih kuat.
Ia tertawa lagi. "Tak ada yang bisa mengalahkanku! Kolorku ini sakti! Hijau, suci, dan penuh misteri!"
Maya mengangguk pada Rani. Saat Kolor Ijo lengah, Rani dengan cepat mengambil sesuatu dari tasnya.
Sebuah kolor…
Warna kuning pisang…
Dengan motif bebek tekotok.
Kolor Ijo terdiam. "Eh, bentar, itu apaan?"
Maya berlari cepat, lompat ke pundaknya, lalu… BRUK!
Mereka berhasil memasangkan kolor kuning bebek tekotok itu ke kepalanya!
Kolor Ijo gelagapan, matanya tertutup kolor kuning.
Maya dan Rani menunggu reaksinya.
Lalu, suara lirih terdengar… "…tidak… harga diriku…"
Kolor Ijo memegang kepalanya. "TIDAAAAK!!!"
Ia menjerit dan langsung berlari ke kejauhan, menghilang ke dalam kegelapan, menolak menunjukkan wajahnya lagi karena malu.
Maya bersedekap. "Masalah selesai."
Rani menghela napas lega. "Gampang banget ternyata…"
***
Kini tinggal satu lawan terakhir.
Mbah Gondo berdiri, tubuhnya makin membesar. "Kalian hebat… Tapi lawan sesungguhnya adalah aku!"
Maya menarik belati kayu keramat. Rani bersiap dengan jurusnya. Arya dan si tengkorak juga siaga.
Tuyul Mustika masih nangis di pojokan.
Kolor Ijo? Sudah tidak mau muncul lagi.
Mbah Gondo menatap mereka satu per satu. "Kalian kira bisa mengalahkanku semudah itu?"
Maya menyeringai. "Kalau perlu, kita bakal kasih kolor pink Hello Kitty ke kepalamu!"
Mbah Gondo menggeram.
Matanya menyipit.
Wajahnya mulai terlihat… agak khawatir.
Pertarungan terakhir pun akan dimulai!
Bagian 10: Pertarungan Final vs Mbah Gondo
Pasar Gelap Alam Gaib berubah jadi arena pertempuran brutal.
Kios-kios berantakan.
Barang dagangan terlempar ke segala arah.
Sosis bakar pocong berhamburan.
Baju-baju kuntilanak model terbaru bertumpuk seperti cuci gudang.
Mbah Gondo berdiri di tengah reruntuhan, tubuhnya makin besar, makin gelap, dan makin menyeramkan. Aura kehitaman menyelimuti tubuhnya, seperti asap yang keluar dari kompor gas bocor.
Maya, Rani, Arya, dan si Tengkorak Jahil mencoba menyerang bersamaan.
Arya melompat dengan kayu pemukul, Maya menghunus belati kayu keramatnya, Rani melempar jampi-jampi, dan si Tengkorak… ya, dia cuma ketawa tengil sambil berusaha menjegal kaki Mbah Gondo.
BRAK!
Mbah Gondo mengibaskan tangannya. Dalam satu tebasan, Arya terlempar ke gerobak onde-onde setan.
DUK!
Maya dan Rani berhasil menghindar, tapi si tengkorak kena lempar dan kepalanya nyangkut di dalam toples permen jin.
"WOY! KEKUATANNYA NGGAK NGOTAK!" teriak Arya sambil berusaha keluar dari tumpukan gerobak dan onde-onde setan.
Maya menyeringai. "Kita harus buat strategi!"
Rani mengangguk. "Ya, tapi strategi apa?!"
Mereka tidak sempat berpikir lebih lama. Mbah Gondo kembali menyerang, menginjak kios-kios di sekitarnya seperti Minotour di game MLBB yang ngamuk ke minion, gara-gara di-spam skill stun.
Tiba-tiba, suara familiar terdengar dari kejauhan.
"TEMAN-TEMAN! AKU DATANG!"
Semua menoleh.
Di ujung pasar, berdiri seorang pemuda dengan rambut berkibar penuh semangat.
BAYU!
Dia datang dengan gagah, penuh percaya diri. Seolah-olah dia adalah pahlawan yang akan membalikkan keadaan.
Namun…
Begitu matanya melihat langsung sosok Mbah Gondo, yang besarnya seperti monyet Hulk habis makan creatine, keberaniannya langsung luntur seperti deterjen.
"EH, EH… SEBENTAR… KENAPA SEGEDHE ITU?!"
Tanpa pikir panjang, Bayu langsung sembunyi di balik punggung seorang wanita yang melayang di sampingnya.
Mama Kunti.
***
Maya, Arya, dan si tengkorak yang kepalanya masih nyangkut di toples langsung menatap aneh.
"SERIOUSLY?!"
Namun, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.
Begitu Rani melihat Mama Kunti, matanya melebar.
"Mama!"
Suasana mendadak berubah.
Dari pertarungan brutal ala monster boss vs minion, kini berubah jadi adegan sinetron jadul. Musik latar tiba-tiba berganti jadi instrumen piano melow. Cahaya di sekitar mereka mendadak fokus ke Rani dan Mama Kunti.
Semua makhluk yang ada di sana—Maya, Arya, Bayu, Tengkorak Jahil, bahkan Mbah Gondo—cuma bisa melongo.
"Jadi… ini mama kandungku?" tanya Rani dengan suara bergetar.
Mama Kunti tersenyum lembut. "Iya, Nak… Mama selalu mengawasi dari jauh…"
Air mata menggenang di mata Rani. "Mamaaa!"
Mereka pun berpelukan dalam keharuan yang dramatis.
Maya menghela napas, "Serius nih, lagi battle malah ada adegan reuni keluarga?"
Mbah Gondo yang awalnya sudah siap nendang kios sebelah, jadi bingung sendiri. "Eh, jadi gua nunggu dulu apa gimana?"
Si Tengkorak, yang akhirnya berhasil mencabut kepalanya dari toples permen jin, mengangguk. "Ngik!" (Terjemahan: "Kayaknya kita break dulu.")
***
Namun, suasana jadi makin absurd ketika dari arah lain, muncul sosok pemuda berambut rapi dengan aura flamboyan.
BIMO.
Begitu melihat Rani, matanya langsung berbinar.
"Rani… sejak pertama kali kita bertemu, aku tahu kalau—"
Tapi sebelum dia bisa menyelesaikan gombalannya, Mama Kunti menatap tajam.
"TIDAK BOLEH!"
Bimo kaget. "Eh, kenapa?!"
Mama Kunti melipat tangannya. "Bimo, kamu sudah kuanggap anakku sendiri. Sedangkan Rani adalah anak kandungku. Itu berarti… kalian bersaudara!
"TIDAK BOLEH PACARAN!"
Bimo langsung shock. "EH, APA?!?"
Wajahnya mendadak pucat seperti tahu basi. Dunia terasa runtuh di hadapannya.
Dalam kepanikannya, dia melirik Maya, mencoba mencari pelarian.
Tapi Maya hanya mengangkat kepalan tangan.
Bimo makin merana...
***
Mbah Gondo yang awalnya niatnya mau membantai semua orang, kini malah merasa kayak nonton sinetron di tengah medan perang.
"Jadi, kita lanjut berantem apa nunggu episodenya selesai?"
Maya akhirnya kembali fokus.
Matanya menatap genderuwo raksasa itu.
Ia mengangkat belati kayu keramat,.
"Lanjut."
Mbah Gondo menyeringai. "Bagus. Sekarang, pertarungan yang sebenarnya dimulai!"
Dan dengan itu, babak baru dari pertarungan epik pun dimulai…
Bagian 11: Amukan Ras Terkuat
Setelah adegan sinetron yang dramatis selesai, suasana kembali tegang.
Mbah Gondo, si genderuwo monster berbulu lebat, berdiri di tengah reruntuhan pasar gaib, siap menghancurkan siapa saja yang berani menantangnya.
Namun, sebelum Maya, Arya, atau yang lain bisa bergerak, suara dingin terdengar.
"Minggir, anak-anak."
Semua menoleh.
Di tengah kepulan debu dan sisa kios yang hancur, berdiri sosok yang kini memancarkan aura yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Mama Kunti.
Tapi ada yang berbeda…
Aura di sekelilingnya bukan aura mistis biasa.
Bukan aura horor khas kuntilanak.
Bukan aura siluman tingkat tinggi.
Ini… aura emak-emak.
Aura yang bisa menembus batas dunia manusia dan gaib.
Aura yang membuat jin setan merinding.
Aura yang kalau muncul di pasar, bisa bikin pedagang langsung kasih diskon tanpa ditawar.
Bahkan, Mbah Gondo yang selama ini merasa dirinya sebagai penguasa, tiba-tiba merasa keringat dingin menetes di punggungnya (padahal dia hantu, nggak punya keringat).
"H-haaah… a-aura apa ini?!"
Mama Kunti melangkah maju.
"Monyet hitam jahat ini serahkan padaku."
***
Tanpa basa-basi, pertarungan langsung dimulai.
Mbah Gondo mengayunkan cakar raksasanya!
Mama Kunti menghindar dengan mudah, melayang seperti kapas tertiup angin.
Mbah Gondo menyerang lagi!
WUSHH!
Cakar besarnya menerjang… tapi hanya menembus udara kosong.
Mama Kunti menghilang sekejap, lalu muncul di belakangnya dengan seringai menyeramkan.
"Lambat sekali, Gondo… Aku sudah terbiasa menghadapi anak bandel di dunia manusia!"
Mbah Gondo menggeram, tangannya bergetar. "SIAL, INI KUNTILANAK APA FLASH?!"
Pertarungan pun makin sengit!
Mama Kunti menggunakan jurus teleportasi ala emak-emak: "Muncul pas ada gratisan, ngilang pas disuruh bayar!"
Mbah Gondo membalas dengan pukulan gempa menghantam tanah!
DUARR! DUARR! DUARR!
Tanah bergetar, kios-kios makin porak-poranda, sosis bakar pocong beterbangan, kain kafan bekas beterbangan seperti spanduk kampanye.
Tapi serangannya nihil.
Karena…
Mama Kunti TIDAK MENYENTUH TANAH.
KOTLOK! NGIK.. NGIK.. NGIK?! (Terjemahannya: "GOBLOK! KUNTILANAK ITU NGGAK NGINJAK TANAH, JADI ULTIMATE LU NGEFLEK KE SIAPA?!") teriak Tengkorak Jahil dari kejauhan.
Yang kena efek justru…
Arya dan Bimo nyungsep ke dalam gerobak pisang goreng pocong.
Maya dan Rani jatuh terduduk di antara tumpukan kain kafan bekas.
Si tengkorak? Yah, kepalanya nyangkut lagi di toples permen jin.
Melihat Rani jatuh…
Mama Kunti tiba-tiba menggeram.
Tangannya mengepal. Matanya menyala merah.
Dan di saat itulah…
Jurus ultimate emak-emak keluar.
ULTIMATE: EM4K NG4MUK 2.0
Mama Kunti mengeluarkan suara yang memekakkan telinga.
"GONDO MONYET, KAMU MENYAKITI ANAKKU, KAMU HARUS TANGGUNG JAWAB!"
Dalam sekejap…
Mama Kunti melesat seperti roket tanpa bensin, menyerang Mbah Gondo dengan gerakan yang tidak masuk akal.
Bulu-bulu Mbah Gondo mulai rontok satu per satu.
Bukan sekadar rontok, tapi DICABUTI LANGSUNG!
"AARRGGHHH!!!" jerit Mbah Gondo.
Dengan kecepatan yang lebih cepat dari tangan emak-emak saat rebutan diskon, bulu-bulu di sekujur tubuhnya dicabut habis-habisan!
Crott!
Crott!
Crott!
Bulu di kepala, punggung, tangan, kaki, bahkan ekornya, semua habis dalam hitungan detik.
Hanya dalam waktu singkat…
Mbah Gondo tidak lagi terlihat seperti monster besar yang mengerikan.
Ternyata… tubuh aslinya kecil, kurus, dan kerempeng.
Tadinya dia tampak besar karena bulunya yang tebal.
Sekarang dia lebih mirip kucing Siam kehabisan bulu dibanding genderuwo raksasa.
Dan saat pencabutan bulu sudah hampir selesai…
Mama Kunti bersiap mencabut yang terakhir.
Bulu hidung.
"JANGAN! AMPUN! AMPUNNN!!!" jerit Mbah Gondo.
Tapi terlambat.
Pluck!
Satu helai terakhir itu tercabut.
Mbah Gondo langsung roboh.
Tubuhnya bergetar. Semangatnya hancur. Mentalnya remuk.
"AKU MENYERAH…" katanya lemas.
Mama Kunti melipat tangan, puas. "Bagus. Anak saya jangan disentuh lagi, ya?"
Mbah Gondo langsung mengangguk cepat. "IYA IYA, SIAP MAK!"
Setelah Pertarungan…
Semua orang yang tadinya babak belur mulai bangkit.
Arya dan Bimo keluar dari gerobak pisang goreng pocong, Maya membantu Rani berdiri, dan si Tengkorak akhirnya bisa menarik kepalanya dari toples permen jin.
Mereka semua menatap Mbah Gondo yang kini tampak lusuh dan menyedihkan.
Dari genderuwo mengerikan… kini jadi hantu kurus tanpa bulu.
Bimo bersiul. "Bro, lo kelihatan kayak ayam kampus abis dipatok senior."
Si Tengkorak ngakak. "Ngik-ngik! (Terjemahan: Kasian amat nasib lo, bro.)"
Maya menyeringai. "Jadi, masih mau sok-sokan jadi penguasa?"
Mbah Gondo buru-buru geleng kepala. "NGGAK! SAYA MUNDUR! SAYA MAU REHAB BULU DULU!"
Dan dengan wajah penuh trauma, dia kabur ke dalam kegelapan.
Epilog: Aura Emak-emak Adalah Yang Terkuat
Semua orang terdiam, menatap Mama Kunti dengan perasaan campur aduk.
Bayu menggaruk kepala. "Oke… jadi kesimpulannya…"
Arya melanjutkan, "…hantu paling kuat bukanlah genderuwo, siluman, atau jin iprit…"
Rani mengangguk. "…tapi hantu emak-emak."
Dan semua sepakat.
Bagian 12: Akhir dari Kekacauan
Suasana pasar gaib masih kacau-balau.
Sebagian kios ambruk. Barang dagangan bertebaran entah ke mana. Jin-jin dagang santet dan tuyul pegadaian sibuk menghitung kerugian. Namun, yang paling dramatis adalah suasana di tengah pasar…
Di sana, Mama Kunti berdiri tegak, auranya masih menyala seperti api kemenangan.
"GONDO! BALIK KE SINI, SEKARANG!"
Sebuah teriakan penuh kekuatan menggema, membawa energi yang tidak bisa dilawan.
Di kejauhan, bayangan kecil yang tadinya sudah melarikan diri mendadak berhenti.
Tubuhnya bergetar. Bulu-bulunya yang baru saja rontok seakan mencoba tumbuh kembali hanya untuk merinding.
Mbah Gondo tidak punya pilihan.
Seperti kucing yang baru kena marah karena numpahin air minum majikan, ia berjalan kembali dengan langkah gontai.
Saat akhirnya tiba di hadapan Mama Kunti, ia menunduk dalam. Tangannya yang besar tapi kerempeng menggenggam sesuatu.
Batu mustika.
Dengan ekspresi penuh penyesalan, ia menyerahkan mustika itu pada Maya.
Maya menerima batu itu dengan tatapan penuh arti. Benda kecil ini adalah alasan semua kekacauan terjadi, dan kini ia akhirnya kembali ke tangan yang benar.
"Bagus," kata Mama Kunti dingin. "Dan ingat, jangan macam-macam lagi atau aku bakal datang mencarimu… bahkan ke alam bawah sekalipun."
Mbah Gondo buru-buru mengangguk cepat, wajahnya penuh trauma. "I-Iya, Emak!"
***
Di sudut pasar yang porak-poranda, Rani berdiri memandangi ibunya.
Matanya berkaca-kaca. Tangannya gemetar.
Lalu, tanpa ragu, ia berlari dan memeluk Mama Kunti erat-erat.
"Mama… Mama menang!"
Mama Kunti terdiam sejenak. Tangannya yang dingin perlahan membelai rambut anaknya.
"Tentu saja, Nak…" suaranya lirih, ada kelembutan di balik kengerian seorang kuntilanak.
Rani tersenyum di pelukan ibunya, lalu berkata dengan suara bergetar, "Laki-laki brengsek yang bikin Mama jadi kayak gini… dia udah mokad. Kena penyakit jantung."
Mama Kunti terkejut. "Benarkah?"
Rani mengangguk. "Iya… Jadi Mama nggak perlu gentayangan lagi. Udah cukup. Istirahatlah di alam Mama, jangan keluyuran nambah dosa di dunia manusia."
Suasana hening.
Bahkan jin-jin pasar yang tadinya heboh mulai terdiam, menyadari bahwa ini adalah momen yang tidak boleh diganggu.
Mama Kunti tersenyum samar. Ada sesuatu yang terasa lepas dalam dirinya.
Lalu, dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, "Baiklah… Aku akan tenang di alamku. Tapi, kau juga harus janji satu hal, Rani."
Rani mengangkat wajahnya. "Apa, Ma?"
Mama Kunti menatapnya dalam-dalam. "Jangan pernah percaya buaya darat."
Seketika, tatapan Mama Kunti beralih ke satu orang.
Bimo.
Bimo yang sedari tadi menonton drama ini dengan tenang tiba-tiba tersedak ludahnya sendiri. "Eh, kok gua?!?"
Maya ngakak. Arya langsung tepuk jidat.
"Sumpah, Mak, saya ini korban fitnah!" Bimo berusaha membela diri, tapi tidak ada yang percaya.
Tengkorak hidup yang sedari tadi duduk diam malah mengeluarkan suara "Ngik-ngik!" yang jelas-jelas terdengar seperti tawa meledek.
***
Setelah semua urusan selesai, tiba waktunya bagi Arya, Bimo, Maya, dan Rani untuk kembali ke dunia manusia.
Mama Kunti membuka portal dua dunia—sebuah pusaran gelap yang berputar perlahan, seperti lorong tanpa ujung.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah masuk, tiba-tiba sesuatu berlari mendekat dengan kecepatan luar biasa.
Klotok-klotok-klotok-klotok!
Tengkorak hidup sahabat Arya!
Ia berlari sambil melambaikan tangan, seakan ingin ikut pergi bersama mereka.
Arya mengerutkan kening. "Tunggu, lo mau ikut ke dunia manusia?"
Tengkorak itu mengangguk cepat, kepalanya berbunyi "Klotok!" seolah menegaskan jawabannya.
Bimo bersiul. "Wow, bro. Lo beneran mau resign dari alam gaib?"
Tengkorak itu berjingkrak girang, mengeluarkan suara "Ngik-ngik-ngik!" yang jelas terdengar seperti "IYA DONG!"
Tapi sebelum ia bisa melompat ke portal, BRAKK!
Maya dan Mama Kunti langsung menghadangnya.
"TIDAK BOLEH."
Tengkorak itu terdiam. Kepalanya miring ke kanan, seakan bingung.
Maya menyilangkan tangan. "Dengar, kalau makhluk gaib masuk ke dunia manusia seenaknya, itu bisa bikin kekacauan."
Mama Kunti mengangguk. "Kalau rahasia dunia gaib terbuka luas, bisa ada invasi dari manusia ke dunia kita. Mereka mungkin akan mencoba mengklaim tanah ini atas nama nenek moyang atau semacamnya. Itu akan menghancurkan keseimbangan."
Tengkorak itu berkedip—atau setidaknya, kelihatannya begitu.
Lalu, ia menunduk kecewa.
Suara "Klotok…" pelan terdengar.
Bimo menepuk bahunya. "Jangan sedih, bro. Kita bakal inget lo."
Arya tersenyum. "Iya, dan kalau kita bisa, kita bakal balik lagi suatu hari nanti."
Tengkorak itu terdiam sejenak… lalu perlahan mengangkat kepalanya.
Meskipun ia tidak punya wajah, semua orang bisa merasakan…
Ia tersenyum.
***
Akhirnya, waktu perpisahan tiba.
Arya, Bimo, Maya, dan Rani melangkah masuk ke dalam portal.
Begitu mereka memasuki pusaran itu, mereka merasa seperti melayang melewati lorong tanpa ujung.
Cahaya dan bayangan berkedip-kedip di sekitar mereka.
Angin tak bersuara berputar di telinga mereka.
Mereka seperti tersedot ke dalam kehampaan, bergerak melewati dimensi yang tak terjangkau oleh akal manusia.
Dan perlahan…
Semuanya menjadi gelap.
Epilog: Mimpi yang Nyata?
Fajar baru saja menyingsing di pemakaman umum Gang Buntu. Suara ayam berkokok sayup-sayup bercampur dengan bunyi dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Namun, pagi yang seharusnya tenang mendadak dihebohkan oleh suara gaduh dari sekumpulan warga.
"Astaghfirullah! Lihat itu! Ada dua orang pemuda tergeletak di tengah kuburan!"
Seorang ibu-ibu berkerudung pink dengan daster bunga-bunga berteriak sambil menunjuk ke arah dua sosok yang ternyata tertidur pulas di tanah pemakaman.
Pak RT langsung maju, menyesuaikan letak sarungnya, lalu mendekati TKP dengan ekspresi serius. Warga lainnya mengikuti di belakang, penuh rasa ingin tahu.
Dan di sana, di tengah pemakaman yang masih diselimuti embun pagi…
Arya dan Bimo tertidur nyenyak.
Yang membuat heboh bukan cuma tempat mereka tidur, tapi juga posisi mereka tidur.
Arya memeluk sebuah nisan erat-erat, sementara Bimo juga melakukan hal yang sama pada kuburan lain di sebelahnya.
Pak RT maju mendekat dan membaca tulisan di batu nisan masing-masing.
"Maya..."
"Rani..."
Muka Pak RT langsung berubah.
"ASTAGHFIRULLAH! INI PELUK KUBURAN ORANG, WOY!!"
***
Arya adalah yang pertama kali terbangun.
Ia mengerjap-ngerjapkan mata, merasa kaku seperti habis kena serangan jutsu lumpuh level maksimal.
Kepalanya pening. Punggungnya pegal. Lalu, tiba-tiba…
"Woy! Bangun, bangun!"
Arya membuka mata lebih lebar. Dan begitu ia sadar di mana ia berada…
"ASTAGAAAA—"
Suaranya tercekat.
Ia baru menyadari bahwa wajahnya menempel di sebuah batu nisan dengan tulisan besar berbunyi:
MAYA
Arya langsung lompat mundur seperti ninja kena jebakan.
Sementara itu, di sebelahnya, Bimo masih mendengkur sambil nyengir, seperti orang yang sedang mimpi indah.
Arya yang masih setengah linglung menoleh ke nisan yang dipeluk Bimo.
"RANI."
Arya langsung pucat.
"Bimo… Woy, bangun!" Arya mengguncang-guncang tubuh Bimo.
Bimo mengerang sebentar, lalu membuka mata.
"Nggh… Kenapa sih, Bro? Baru jam berapa ini—"
Lalu, ia juga menyadari di mana ia berada.
Lalu membaca nisan di depannya.
"RANI."
Bimo berkedip. Lalu menoleh ke Arya, yang wajahnya udah seputih tembok.
Lalu menoleh ke sekitar.
Lalu melihat nisan Maya di sebelah Arya.
Lalu kembali ke nisannya sendiri.
Lalu ke Arya lagi.
Lalu ke nisannya lagi.
Lalu…
"AAARRGGHHH!!!"
Bimo langsung lompat ke belakang, sama paniknya seperti Arya tadi.
Warga yang dari tadi nonton cuma bisa geleng-geleng.
"Kalian tuh ngapain tidur di kuburan kayak gini?!?" bentak Pak RT.
Arya dan Bimo masih ngos-ngosan, napas mereka memburu.
Pikiran mereka berputar liar.
Apakah mereka sudah mati?!?
Apakah Maya dan Rani sebenarnya sudah meninggal dan mereka cuma berinteraksi dengan arwah?!?
Apakah ini cuma mimpi?!?
Tapi… kalau ini mimpi, kenapa mereka berdua mengalami hal yang sama persis, seperti orang lagi main MMORPG?
Arya dan Bimo saling bertukar pandang. Mereka tahu satu hal: ini bukan kebetulan.
Namun, sebelum mereka bisa menyusun teori lebih jauh, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Dari kejauhan, dua pasang mata mengintip di balik pohon beringin.
Sepasang mata cantik.
Dan… mereka sedang tertawa.
***
Di balik pohon, Maya dan Rani nyaris terguling menahan tawa.
"YA AMPUN! MUKA MEREKA WAKTU BANGUN! KAYAK ORANG KESURUPAN SETAN KARDIO!"
Rani berusaha menahan tawanya, tapi gagal.
Maya menghapus air mata yang keluar dari terlalu banyak ketawa. "Serius deh, ini prank terbaik sepanjang masa."
Rani mengangguk. "Beneran nggak nyangka mereka bakal sekaget itu."
Ya, semua ini adalah bagian dari rencana jahil mereka.
Maya dan Rani tahu kalau Arya dan Bimo bakal kebingungan saat bangun, jadi mereka memanfaatkan situasi dengan menyediakan nisan 'palsu'.
Padahal, Maya dan Rani masih hidup sehat wal afiat.
Dan sekarang, mereka tinggal menunggu momen terbaik untuk benar-benar menghantui Arya dan Bimo.
"Nanti pas mereka ketemu kita lagi, kita bikin kejutan." Rani menyeringai.
Maya mengangguk. "Yup. Mereka bakal kaget setengah mati."
Di kejauhan, Arya dan Bimo masih shock berat, sementara warga makin ramai membahas "misteri dua pemuda peluk kuburan".
Satu hal yang pasti…
Cerita ini belum benar-benar berakhir.
Mungkin, hanya tinggal menunggu sequel-nya.
SELESAI…?
Sementara iya dulu ... :)
Mustika Alam Ghaib - Cerpen @iqna