BAB 1: MUSUHKU JODOHKU?
Hari itu, kantin kampus penuh sesak. Mahasiswa berdesakan seperti ikan sarden, berebut tempat duduk dan makanan. Di tengah kekacauan itu, seorang pria dengan langkah santai berjalan sambil memegang semangkuk bakso.
Namanya Fajar.
Tampangnya? Lumayan.
Sikapnya? Tengil.
Hobinya? Mengganggu orang, terutama mereka yang gampang naik darah.
Sementara itu, Liana, seorang mahasiswi yang dikenal judes dan bawel, sedang tergesa-gesa keluar dari kantin. Di tangannya ada beberapa buku tebal, hasil pinjaman dari perpustakaan. Matanya fokus ke layar ponsel, sibuk mengetik sesuatu.
Dan seperti yang sudah bisa ditebak…
BRUKK!
Buku-buku Liana jatuh berserakan. Fajar, yang tak kalah kaget, melihat semangkuk baksonya terbalik ke lantai. Ia mematung.
Liana mendongak dengan tatapan setajam pisau dapur. "Kamu itu nggak punya mata, ya?!"
Fajar menatap gadis di depannya. Rambutnya dikuncir, alisnya tegas, dan ekspresinya seperti singa betina yang siap menerkam.
Ia menghela napas dramatis. "Lho, aku yang ditabrak, kenapa aku yang disalahin?"
Liana melipat tangan di dada. "Aku lagi jalan lurus! Kamu yang tiba-tiba nyelonong!"
Fajar menunjuk lantai dengan tatapan sedih. "Lihat tuh, bakso aku. Mati sia-sia. Kasihan banget."
Liana mendengus. "Bakso doang diratapi. Ambil tuh, aku beliin yang baru."
Fajar mendongak, tersenyum lebar. "Wah, serius? Kamu baik juga, ya?"
Liana mengangkat sebelah alis. "Iya, tapi sambil beliin, aku bakal ceramahin kamu soal cara jalan yang benar."
Fajar tertawa kecil. "Menarik. Aku suka tantangan."
Dan itulah awal mula segalanya—bukan pertemuan romantis yang manis, tapi perang kecil yang kelak akan berlanjut sepanjang hidup mereka.
BAB 2: PACARAN?
Dari luar, hubungan mereka tampak seperti pasangan pada umumnya. Tapi kenyataannya? Lebih mirip duel setiap hari.
1. Debat Tidak Pernah Berakhir
Contohnya, ketika mereka main ke mal.
Liana berhenti di depan rak shampo, membandingkan dua botol yang hampir sama. "Kamu lebih suka yang wangi bunga atau buah?"
Fajar melirik malas. "Sama aja, kan?"
Liana mendelik. "Enggak! Ini beda! Yang satu ada ekstrak lidah buaya, yang satu vitamin E!"
Fajar menarik napas panjang. "Li, aku cowok. Aku bahkan nggak bisa bedain bau lavender dan melati. Yang penting rambut bersih."
Liana mendengus. "Dasar nggak peka!"
Pada akhirnya, setelah 30 menit penuh perdebatan, Liana tetap memilih shampo yang sejak awal ingin dibeli.
2. Siapa yang Lebih Dominan?
Di restoran, mereka pun tak pernah bisa sepakat.
Liana: "Kamu pesen salad, ya?"
Fajar: "Kenapa harus salad?"
Liana: "Biar sehat. Kamu kan kebanyakan junk food."
Fajar: "Aku lebih suka ayam goreng."
Liana: "Yaudah, kita kompromi. Kamu pesen salad, aku pesen steak."
Fajar: "Mana ada kompromi begitu?"
Tapi anehnya, meskipun sering berdebat, mereka tetap tidak bisa jauh dari satu sama lain.
BAB 3: LAMARAN
Fajar tahu, jika ia ingin melamar Liana, ia harus punya strategi yang matang. Cewek seperti Liana bukan tipe yang bisa diluluhkan hanya dengan bunga atau lilin di restoran mewah.
Jadi, ia memilih pendekatan yang lebih spontan.
Suatu hari, mereka duduk di taman kampus, menikmati senja setelah seharian kuliah. Liana sibuk membaca buku, sementara Fajar menggambar sesuatu di pasir dengan ranting.
Tiba-tiba, ia bertanya, "Li, kalau aku ngajak kamu nikah, kamu bakal jawab apa?"
Liana tetap menatap bukunya. "Tergantung. Kamu ngajaknya serius atau cuma bercanda kayak biasanya?"
Fajar tersenyum kecil. "Serius."
Liana akhirnya menutup bukunya, menatapnya dengan ekspresi penuh selidik. "Alasannya?"
Fajar menggaruk kepalanya. "Karena aku nggak bisa bayangin berdebat sama orang lain selain kamu."
Liana menatapnya lama. Lalu, dengan nada datar, ia menjawab, "Aku mau. Tapi dengan satu syarat."
"Apapun itu, aku turuti!" Fajar langsung antusias.
Liana tersenyum licik. "Kalau kita berantem, kamu yang harus minta maaf duluan."
Fajar terdiam beberapa detik. Lalu ia menghela napas. "Oke, deal."
Liana tertawa kecil. "Jangan nyesel!"
Dan dengan begitu, perang dalam rumah tangga pun resmi dimulai.
BAB 4: BULAN MADU ATAU ARENA PERTEMPURAN?
Mereka memilih Bali untuk bulan madu.
Namun, malam pertama mereka di hotel justru diisi dengan… debat soal AC.
Liana meringkuk di tempat tidur. "Matikan AC! Aku kedinginan!"
Fajar yang hanya pakai kaus tipis mengerang. "Tapi aku kepanasan, Li."
Liana menarik selimut tebal. "Yaudah, kamu pakai jaket."
Fajar memandanginya. "Jaket? Di hotel bintang lima?!"
Akhirnya, solusinya adalah kompromi aneh: setengah badan Fajar tertutup selimut, setengah lagi dibiarkan terpapar AC.
Paginya, Liana tertawa melihat suaminya tidur dalam posisi aneh. "Kamu itu suami paling konyol yang pernah ada."
Fajar membuka mata setengah sadar. "Dan kamu istri paling menyebalkan yang aku cintai."
Mereka saling tersenyum, menyadari bahwa meskipun hubungan mereka penuh kekacauan, itulah yang membuatnya spesial.
Tapi mereka belum tahu bahwa tantangan sesungguhnya baru akan dimulai—saat Liana hamil.
BAB 5: HAMIL—UJIAN KESABARAN SEORANG SUAMI
Fajar selalu mengira bahwa pernikahan akan jadi medan perang utama dalam hidupnya. Tapi ternyata, itu belum apa-apa dibanding menghadapi Liana saat hamil.
Dulu, Liana memang judes, tapi masih masuk akal. Sekarang? Liana berubah menjadi mesin emosi tanpa tombol off.
1. Ngidam Tak Masuk Akal
Suatu malam, pukul 02:00 dini hari.
Liana membangunkan Fajar dengan mata berbinar. "Sayang... aku pengen duren."
Fajar, yang masih setengah sadar, mengerjap. "Lho, sekarang?"
Liana mengangguk, memasang ekspresi penuh harap.
Fajar menatap jam. "Li, ini udah tengah malam. Mana ada yang jual duren?"
Liana mengerucutkan bibirnya. "Tapi aku pengen..."
Fajar menghela napas. "Besok pagi, ya?"
Liana diam sebentar, lalu mendekatkan wajahnya. Dengan suara rendah dan penuh ancaman, ia berkata, "Kalau kamu beneran sayang aku... kamu pasti cari sekarang."
Dan begitulah, Fajar akhirnya keluar rumah mencari duren. Setelah satu jam keliling kota dan hampir ditangkap satpam komplek karena dikira maling, ia akhirnya menemukan penjual duren yang nyaris tutup.
Saat Fajar pulang dengan bangga membawa duren...
Liana sudah tidur.
2. Suami Jadi Tempat Salah Paham Dunia
Liana jadi semakin bawel, dan Fajar harus menghadapi dampaknya.
Di supermarket, Liana sedang memilih susu hamil ketika seorang ibu-ibu menghampiri mereka.
Ibu itu tersenyum ramah ke Liana. "Berapa bulan, Nak?"
Liana menjawab santai, "Lima bulan, Bu."
Lalu, si ibu tiba-tiba menatap Fajar dengan sinis. "Suami harus lebih perhatian! Jangan cuma disuruh belanja, tapi temenin istri ke dokter juga!"
Fajar melongo. "Lho, Bu, saya selalu nganter, kok."
Si ibu hanya mendengus dan pergi.
Liana terkikik pelan. "Kamu keliatan kayak suami jahat, sih."
Fajar memandangnya dengan penuh luka batin. "Aku nggak jahat, aku korban."
BAB 6: MELAHIRKAN
Hari itu akhirnya tiba.
Liana mengalami kontraksi. Fajar panik luar biasa.
Di rumah sakit, Liana mencengkram tangan Fajar sekuat tenaga. "FAJAR!! INI SEMUA GARA-GARA KAMU!!"
Fajar menahan rasa sakit di tangannya. "T-tapi kan kita berdua yang bikin, Li..."
"DIAM!!"
Sepuluh jam kemudian, tangisan bayi menggema di ruangan.
Fajar melihat sosok mungil itu dan hatinya meleleh. "Rio... anak kita, Li..."
Liana, yang kelelahan, tersenyum lemah. "Namanya cocok, ya?"
Fajar mengangguk, menatap Liana dengan penuh rasa terima kasih. "Kamu hebat."
Untuk pertama kalinya, tidak ada debat di antara mereka.
Hanya cinta.
BAB 7: PERAWAT BAYI
Hari-hari pertama mengurus bayi lebih melelahkan dari kuliah, kerja, dan berantem sama Liana sekaligus.
Fajar tak menyangka bahwa seorang bayi sekecil itu bisa menghasilkan suara sebesar konser rock.
Malam-malam mereka diwarnai tangisan Rio. Fajar bangun dengan mata bengkak. "Li, kamu yang gantian, ya?"
Liana menggumam setengah sadar, "Tugas suami adalah membantu istri..."
Fajar mengerang. "Tapi aku juga manusia, Li..."
Puncaknya terjadi ketika Fajar sedang menikmati mie instan jam 2 pagi, dan tiba-tiba Rio menangis lagi.
Fajar menatapnya lelah. "Rio, Papa cuma minta 10 menit aja..."
Rio tetap menangis.
Liana, tanpa membuka mata, berkata, "Fajar... kalau kamu sayang aku, kamu bakal gendong dia sekarang juga."
Fajar menghela napas, mengambil Rio dalam gendongannya. "Ya ampun, hidupku sekarang ditentukan dua manusia bawel..."
Tapi anehnya, di tengah rasa lelah, ia tersenyum.
Karena inilah keluarga kecilnya.
BAB 8: AYAH YANG CEMBURU
Sejak Rio lahir, Liana makin sibuk sebagai ibu. Fajar? Ia perlahan merasa tersisih.
Dulu, kalau pulang kerja, Liana selalu menyambutnya dengan senyum manis dan makanan hangat. Sekarang?
Begitu masuk rumah…
"Sayang, aku pulang!" seru Fajar penuh harapan.
Tak ada jawaban.
Ia melongok ke kamar. Liana sedang duduk di kasur, menatap Rio dengan ekspresi penuh cinta.
Fajar berdeham. "Ehm, halo? Suamimu pulang, nih."
Liana menoleh sebentar, lalu kembali menatap Rio. "Oh, ya, hai."
Fajar menatap Rio, yang tampak puas dipeluk ibunya. "Kamu nih, bocah, merebut istri Papa."
Rio balas menatapnya, lalu tersenyum dengan gaya khas bayi yang menang.
Fajar mendesah. "Dulu aku nomor satu. Sekarang aku kayak tamu di rumah sendiri."
Liana tertawa kecil. "Ah, kamu lebay!"
Fajar menghela napas. "Ya udahlah. Aku makan dulu."
Saat ia ke dapur, ternyata makannya sudah dihabiskan Rio.
Fajar menatap piring kosong itu dengan mata nanar. "Astaga... bahkan makanan pun dia rebut dariku."
BAB 9: PERSAINGAN
Seiring waktu, Rio tumbuh semakin pintar dan… menjadi pesaing utama Fajar.
Pertama, perebutan perhatian.
Saat duduk di sofa, Fajar mencoba menyandarkan kepalanya ke bahu Liana.
"Sayang, aku capek..."
Belum sempat bersandar, Rio tiba-tiba melompat ke pangkuan Liana.
Fajar melongo. "Eh, bocah! Itu tempat Papa!"
Rio menatapnya dengan mata polos. "Mama... punya io…"
Fajar mencibir. "Mama punya Papa duluan, Dek."
Rio merentangkan tangannya ke Liana. "Mamaaa…"
Liana terkikik, lalu memeluk Rio.
Fajar melongo. "Lho, aku dicuekin lagi?! Apa aku harus jadi bayi juga biar diperhatiin?"
Liana tertawa makin keras.
Kedua, perebutan susu.
Malam itu, Fajar tengah menikmati segelas susu di meja makan.
Rio tiba-tiba datang dan menatap gelasnya.
"Papa… susu…"
Fajar mengangkat alis. "Buat Papa, ini."
Rio memajukan bibirnya. "Io mau…"
Fajar menghela napas. "Dek, ini udah tengah malam. Susu kamu kan udah diminum tadi?"
Rio memasang wajah memelas. "Io mauuuu…"
Liana muncul dari kamar. "Ya ampun, Fajar, kasih aja ke anakmu!"
Fajar mendelik. "Kenapa sih aku selalu kalah?"
Rio tersenyum puas sambil merebut gelas susu itu.
Fajar mengusap wajahnya. "Besok aku bakal kasih Rio sekotak susu... tapi isinya air putih."
BAB 10: KEHANGATAN KELUARGA
Puncaknya terjadi suatu malam.
Setelah bertarung seharian memperebutkan Liana, Rio dan Fajar sama-sama kelelahan.
Ketika Liana masuk kamar, ia menemukan dua lelaki yang paling ia sayangi tidur berdampingan.
Fajar, yang biasanya selalu mengeluh, kini memeluk Rio dengan lembut dalam tidurnya.
Rio, yang biasanya menjahilinya, kini tidur nyenyak di dada ayahnya.
Liana berdiri diam di depan mereka. Matanya sedikit basah.
Ia baru sadar.
Selama ini, ia terlalu fokus pada Rio dan mengabaikan Fajar.
Padahal, suaminya juga berjuang. Ia bekerja, membantu mengurus anak, dan tetap sabar meskipun sering merasa tersisih.
Liana tersenyum lembut. Mungkin, mulai besok, ia harus lebih adil.
Ia menyelimuti mereka berdua, lalu mencium kening suami dan anaknya.
"Makasih ya, dua lelaki paling nyebelin tapi paling aku sayang."
EPILOG: KELUARGA ITU SALING MENGERTI
Keesokan paginya, saat Fajar bangun, ia merasa ada sesuatu yang berbeda.
Liana ada di dapur, membuatkan sarapan spesial untuknya.
Fajar melongo. "Ini... buat aku?"
Liana tersenyum. "Iya. Kamu kan juga suamiku, bukan cuma ayahnya Rio."
Fajar menatapnya dengan penuh haru. "Ya ampun… akhirnya aku diperhatiin lagi!"
Rio yang baru bangun berlari ke meja. "Io mau!"
Fajar dengan sigap mengangkat piringnya. "Nope. Kali ini Papa yang menang!"
Liana tertawa. "Dasar, dua bocah gede di rumahku."
Dan begitulah, meski hidup mereka penuh perdebatan, akhirnya mereka paham:
Keluarga bukan soal siapa yang paling diperhatikan.
Keluarga adalah tentang berbagi cinta, pengertian, dan kebahagiaan bersama.
TAMAT.
Ombak dan Karang - Cerpen@iqna