Bagian 1: Pernikahan yang Tak Diinginkan
"Saya menolak!"
Faris dan Hana kompak berseru di hadapan orang tua mereka.
"Ayah, Ibu, ini nggak masuk akal! Kita nggak saling kenal!" protes Hana, matanya melotot ke arah pria di sebelahnya yang tampak malas-malasan duduk di sofa.
"Betul! Lagian saya udah punya pacar, dan..." Faris terhenti sejenak. "Eh, kamu siapa namanya?" tanyanya, menunjuk Hana tanpa basa-basi.
Hana mendelik tajam. "Hana!"
"Ah, ya, Hana." Faris mengangguk-angguk, lalu kembali memandang kedua orang tua mereka. "Intinya, saya nggak bisa menikah dengan dia."
Ayah Hana, Pak Ridwan, hanya tertawa kecil, sementara Ibu Faris, Bu Rina, menyesap tehnya dengan tenang.
"Kalian ini seperti nggak pernah dengar pepatah, 'Orang tua selalu tahu yang terbaik'," ujar Pak Ridwan.
"Kali ini Ayah salah," Hana menyela. "Saya sudah punya pacar! Namanya Rangga, dia CPNS, hampir mapan, dan kami sudah merencanakan masa depan bersama."
Faris menyeringai. "Wah, CPNS. Keren. Kalau saya pacaran sama Livia, dia influencer, endorse-nya jutaan, dan…" Dia menyipitkan mata ke arah orang tuanya. "Dan Livia yang biasa bayar makan saya di restoran mahal!"
Bu Rina tersenyum manis. "Nah, itu dia. Kalau kamu nggak nurut, dompet digitalmu kami blokir."
Wajah Faris langsung pucat. "Ha?!"
"Dan Hana," lanjut Pak Ridwan, "jika kamu menolak, jangan harap kateringmu bisa terus jalan. Siapa yang selama ini bantu modal?"
Hana terdiam. Napasnya memburu, otaknya berputar mencari celah untuk melawan. Tapi semakin dipikir, semakin ia sadar kalau ini perang yang mustahil dimenangkan.
Faris juga tampak berpikir keras, tapi lebih ke arah 'berapa lama saya bisa bertahan hidup tanpa dompet digital?'.
Setelah hening beberapa saat, akhirnya mereka menghela napas bersamaan.
"Baiklah," kata Faris lemas. "Tapi saya menikah dengan syarat!"
"Betul!" Hana menimpali. "Pernikahan ini hanya formalitas. Kami akan menjalani hidup masing-masing dan segera cerai tanpa membuat kalian kecewa."
Pak Ridwan dan Bu Rina saling berpandangan sebelum tersenyum. "Silakan saja," jawab mereka enteng.
Faris dan Hana saling melirik. Ini terasa seperti jebakan, tapi mereka tidak punya pilihan.
Dan begitulah, dalam waktu kurang dari seminggu, mereka yang tadinya tak saling mengenal harus berdiri di pelaminan, tersenyum di depan tamu undangan yang mengira mereka pasangan bahagia, padahal masing-masing punya rencana kabur di kepalanya.
Namun, tak ada yang tahu bahwa ini baru awal dari perang besar dalam rumah tangga mereka.
*i*
Hari pernikahan tiba lebih cepat dari yang mereka harapkan.
Di ruangan akad yang penuh sanak saudara dan tamu undangan, Faris duduk bersila di hadapan penghulu, berhadapan dengan Pak Ridwan. Di sampingnya, Hana menundukkan wajah, jari-jarinya menggenggam ujung jilbab dengan erat.
"Bismillahirrahmanirrahim…"
Faris menghembuskan napas. Tangannya berkeringat. Ini dia, momen yang akan mengubah hidupnya.
Penghulu mulai membacakan akad. Semua mata tertuju pada Faris.
"Saya terima nikahnya Hana binti Ridwan dengan mas kawin tersebut, tunai."
Hening.
Detik demi detik berlalu.
Penghulu mengangguk. "Sah?"
"Sah!" seru para saksi.
Faris mengedip. Hah? Udah?
Hana meliriknya sekilas, tampak sama kagetnya.
Orang-orang bersorak kecil, beberapa ibu-ibu di belakang sudah sibuk mengusap air mata haru.
Hana memalingkan wajah. "Kamu nggak grogi sama sekali?" bisiknya pelan.
Faris berdeham. "Jujur, aku kira bakal keseleo lidah."
"Tsk," Hana menggeleng pelan, sedikit kesal karena ternyata akad berjalan begitu mulus.
Tapi kemulusan itu tak bertahan lama.
Resepsi Pernikahan: Kekacauan Dimulai
Mereka kini duduk di pelaminan, senyum dipaksakan, tangan terlipat di pangkuan. Seolah-olah mereka pasangan paling bahagia di dunia.
Padahal…
"Kakiku pegal," bisik Faris di sela-sela senyumnya.
"Kamu kira aku nggak?" desis Hana tanpa menggerakkan bibirnya.
Satu per satu tamu datang memberikan selamat. Ada yang mendoakan, ada yang menyuruh segera punya anak (Astagfirullah, baru juga nikah!), dan ada juga yang sibuk berfoto tanpa peduli ekspresi wajah mereka sudah hampir keram.
Tapi puncak kekacauan terjadi saat sesi lempar bunga.
Hana berdiri dengan anggun, siap melempar buket bunga ke arah para gadis yang sudah bersiap di belakangnya.
Sementara itu, Faris berdiri di samping, sibuk mengecek dompet digitalnya. "Masih diblokir."
"Faris!" Hana berbisik tajam.
"Hah? Oh iya, lempar, lempar!"
Hana menarik napas, mengangkat bunga ke belakang, dan melemparnya dengan penuh gaya.
Dan bunga itu…
Meluncur langsung ke wajah Livia.
Gedebuk!
Ruangan mendadak hening.
Livia, yang tadi tampil cantik dengan dress mahalnya, kini terduduk di lantai dengan buket bunga menempel di mukanya.
Hana langsung menutup mulut. Ya Allah…
Faris menatap adegan itu dengan ekspresi ngeri. Mampus.
Di seberang ruangan, Rangga—pacar Hana—juga melongo, sementara tamu lainnya mulai tertawa kecil.
Livia perlahan menarik buket dari wajahnya, matanya menyipit ke arah Faris.
Faris menelan ludah. "Sayang, itu… bukan aku yang lempar."
Livia bangkit dengan penuh keanggunan, menepuk dress-nya, lalu tersenyum kecil. "Nggak apa-apa kok, Mas."
"Oh, syukurlah."
"Tapi akun Instagram kamu bakal aku unfollow."
Faris tertegun. "Hah?!"
Sementara itu, Hana mencuri pandang ke arah Rangga, yang kini menatapnya dengan ekspresi campur aduk antara bingung, kecewa, dan… geli?
Rangga hanya menghela napas lalu tersenyum kecil. "Lemparannya mantap," katanya pelan sebelum beranjak pergi.
Hana langsung menunduk. Gawat.
Setelah semua tamu pulang dan mereka akhirnya bisa bernapas lega, Faris dan Hana duduk berdua di meja makan, masih dalam baju pengantin yang penuh sisa bedak dan keringat.
"Jadi…" Faris membuka pembicaraan. "Sekarang kita suami istri."
Hana menghela napas panjang. "Jangan ngingetin."
Faris mendengus kecil. "Ya udah. Besok kita mulai hidup baru… dengan strategi balas dendam masing-masing."
Hana menoleh dengan ekspresi tajam. "Siap."
Dan begitulah, pernikahan yang penuh paksaan ini resmi dimulai.
Tanpa ada yang tahu bahwa mereka berdua sedang bersiap untuk perang besar di dalam rumah tangga mereka sendiri.
Bagian 2: Hidup Serumah
Malam pertama setelah resepsi pernikahan, rumah itu terasa seperti medan perang yang baru saja tenang sebelum badai besar.
Mereka memang menikah, tapi itu bukan berarti mereka akan tinggal serumah layaknya pasangan bahagia. Tidak. Ini adalah perang dingin dengan aturan tak tertulis: tidak ada yang boleh kalah.
Dan medan perang pertama? Perebutan tempat tidur.
A. Rebutan Kamar Tidur
Begitu mereka tiba di rumah, Faris langsung merebahkan diri di kasur empuk di kamar utama, merasa lega akhirnya bisa melepas jas pengantin yang bikin gerah.
Namun, belum sempat matanya terpejam, suara langkah kaki mendekat.
"Bangun," kata Hana datar sambil berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada.
Faris melirik malas. "Kenapa?"
"Kamar ini buat aku."
Faris mendengus. "Hah? Siapa bilang? Kita kan tinggal berdua di rumah ini. Harusnya yang tidur di sini yang paling butuh kenyamanan. Dan itu aku."
Hana mengangkat alis. "Oh ya? Aku juga butuh. Lagian, ini rumah Mama Papa yang kasih buat kita. Dan aku anak kesayangan mereka."
Faris melipat tangannya di belakang kepala. "Tapi aku yang lebih gede badannya. Jadi aku lebih butuh kasur empuk."
"Oh ya?" Hana menyeringai kecil, lalu dengan tenang mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya—seikat kunci.
“Ceklek.”
Faris langsung terduduk. "Eh, itu—"
Dengan santai, Hana melangkah keluar, menutup pintu, dan…
“Klak.”
Menguncinya dari luar.
"HAH?! HANA?!" Faris melompat ke pintu dan mengguncangnya. "Ini nggak adil! Kamu curang!"
Dari luar, Hana tertawa kecil. "Kan kamu yang bilang harusnya yang paling cerdik yang menang. Selamat menikmati sofa, suami tercinta~"
Faris memutar otaknya cepat. Oke, dia kalah kali ini. Tapi perang baru saja dimulai!
B. Serangan Balik
Malam itu, Faris akhirnya menyerah dan tidur di sofa ruang tamu. Namun, saat bangun pagi, ide jenius langsung muncul di kepalanya.
"Baik, kamu boleh menang soal kamar," gumamnya sambil melirik ke arah kamar utama. "Tapi aku juga nggak akan tinggal diam."
Setelah mandi, Faris dengan sengaja meninggalkan handuk basahnya di atas sofa.
Dia tersenyum puas. "Selamat pagi, istriku tersayang. Semoga pagi ini menyebalkan buatmu."
Tak lama, Hana keluar dari kamar dengan wajah segar, siap untuk memulai hari.
Namun begitu melihat pemandangan di sofa, matanya menyipit.
Faris yang duduk santai di meja makan cuma melirik sekilas dan berkata santai, "Aduh, kayaknya tadi lupa jemur handuk ya. Kasihan sofanya, jadi basah."
Hana tidak langsung bereaksi. Dia hanya tersenyum kecil. "Oh, gitu ya? Nggak apa-apa, suami sholeh. Nanti aku yang urus."
Faris mengangkat alis. Kok tumben, Hana nggak marah?
Oh, dia harusnya sadar.
Ini belum selesai.
C. Menu Sehat "Super Lezat"
Faris sudah bersiap untuk berangkat kerja saat mencium aroma harum dari dapur. Perutnya langsung berbunyi.
"Oh, akhirnya ada manfaatnya juga punya istri," gumamnya sambil berjalan ke meja makan.
Di atas meja, sudah tersaji piring berisi makanan yang tampak cantik dan sehat: nasi merah, dada ayam kukus tanpa kulit, dan tumis sayur hijau.
Faris duduk dan mengambil suapan pertama.
Kunyah… kunyah…
Berhenti.
Matanya membelalak. INI RASA APA?!
Hana yang duduk di seberang meja menyandarkan dagunya di tangan. "Kenapa? Kok diem?"
Faris menelan dengan susah payah. "Ini… kenapa rasanya kayak makan kertas?"
"Oh, itu karena aku sengaja nggak pakai garam. Kan lebih sehat."
Faris menghela napas. "Hana…"
"Ya?"
"Aku nggak diet!"
Hana mengangkat bahu. "Ya, siapa tahu aja kamu mau mulai hidup sehat."
Faris melirik ke dapur. "Nggak ada kecap?"
"Nggak ada."
"Sambal?"
"Nggak ada."
"Garam?"
"Enggak juga."
Faris menatap makanan di depannya dengan pilu. Tapi dia nggak bisa kalah begitu saja.
Dengan tekad bulat, dia menghabiskan makanan itu tanpa ekspresi.
Hana menatapnya dengan tatapan terkejut. "Kamu makan semua?"
Faris menyeringai. "Tentu. Aku kan suami yang baik."
Hana mengerutkan kening. Ini mencurigakan.
Dan kecurigaannya terbukti beberapa saat kemudian, ketika dia masuk dapur dan menemukan satu botol kecap manis yang isinya tinggal setengah.
Hana menyipitkan mata. Oh, jadi dia sembunyi-sembunyi nyari rasa? Baiklah. Aku akan bikin serangan lebih besar.
Di sisi lain, Faris duduk di ruang tamu, tersenyum puas.
Tapi dia lupa satu hal.
Hana nggak pernah kalah dua kali berturut-turut.
Dan perang ini baru saja memanas.
*q*
Setelah kemenangan tipisnya dalam duel "makan sehat tanpa garam," Hana merencanakan serangan balasan yang lebih besar. Jika Faris mengira bisa menang dengan sembunyi-sembunyi makan kecap, dia salah besar.
Karena kali ini, Hana akan menyerang dengan senjata paling ampuh: OLAHRAGA HEBAT DI PAGI BUTA.
D. Subuh yang Tidak Tenang
Faris terlelap di sofa, menikmati mimpinya yang indah. Dalam mimpi itu, ia sedang bersantai di pantai, angin sepoi-sepoi berhembus, ombak bergulung lembut…
Tapi tiba-tiba…
DUG-DUG-DUG-DUG-DUG!!
"ONE, TWO, THREE, FOUR! LEBIH SEMANGAT!!"
Faris terbangun dengan mata membelalak. APA INI?!
Begitu membuka mata, pemandangan yang ia lihat sangat bertolak belakang dengan suasana pantai yang damai di mimpinya.
Di tengah ruang tamu, Hana sedang lompat-lompat dengan skipping rope, mengenakan baju olahraga lengkap, dengan musik EDM volume maksimum!
“DUG DUG DUG! DUG DUG DUG!”
Faris menatap Hana dengan wajah setengah sadar. "Astaghfirullah… Hana?! Kenapa olahraga di sini?!"
Hana berhenti lompat sebentar, lalu tersenyum manis. "Oh, kamu bangun? Bagus! Artinya aku nggak ganggu, kan?"
Faris masih mencoba memahami situasi. "Ini masih jam berapa sih?"
Hana melirik jam. "Jam empat."
"JAM EMPAT?! HANA, ORANG NORMAL TIDUR JAM SEGITU!"
Hana kembali melompat-lompat sambil berkata dengan santai, "Ya kan bagus, kamu bisa ikut olahraga juga. Sehat lho! Masa suami aku lemes kayak kucing kurang makan?"
Faris menutup wajah dengan bantal. Dia harus balas dendam. Tapi bagaimana?
E. Kipas Angin Jahat
Siang itu, Faris akhirnya menemukan strategi pembalasan.
Dia menunggu saat yang tepat: ketika Hana sedang maskeran dengan masker bubuk.
Begitu Hana mengoleskan masker hijau di wajahnya, ia duduk manis di sofa, menunggu maskernya mengering. Matanya terpejam, menikmati sensasi rileks yang menyegarkan.
Di situlah Faris beraksi.
Pelan-pelan, dia menyeret kipas angin raksasa ke depan Hana.
Dia menyalakan kipas itu di KECEPATAN MAKSIMUM.
"WUUUUSSSSHHHH!!!"
Dalam sekejap, masker bubuk di wajah Hana langsung kering dan retak! Serbuk hijau terbang ke mana-mana!
"Astaghfirullah!" Hana langsung membuka mata dan menjerit. "FARIS!"
Faris tertawa puas sambil duduk santai. "Oh, maaf, aku kepanasan. Aku kan harus tetap segar, biar nggak lemes kayak kucing kurang makan."
Hana mematung. Napasnya teratur. Matanya menyipit.
Faris mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Eh, kamu baik-baik aja, kan?"
Hana tersenyum. Senyuman itu menakutkan.
"Oh, aku baik-baik aja," katanya pelan.
Faris bergidik. Tunggu. Dia terlalu tenang. Ini nggak beres.
Dan benar saja.
Malam itu, Faris pulang dari kantor dan mendapati SELURUH KAMAR MANDINYA DIPENUHI LILIN WANGI DAN SABUN AROMATERAPI.
Dia melongo. "Hana… ini apaan?"
Hana muncul dari dapur dengan wajah penuh kepuasan. "Relaxing spa."
"APA?!"
"Setelah olahraga pagi dan masker herbal, sekarang aku butuh mandi dengan suasana menenangkan."
"Tapi… tapi ini kamar mandi! Kok jadi kayak tempat yoga?"
Hana tersenyum lebih lebar. "Masalah buat kamu?"
Faris mendesah dalam hati. Oke, kali ini dia kalah lagi.
Tapi ini belum selesai.
Perang ini masih panjang.
***
Melihat Faris yang setiap malam harus tidur di sofa, Hana akhirnya luluh dan diam-diam membersihkan serta menyiapkan kamar kedua untuknya. Saat Faris menyadari niat baik itu, ada rasa terharu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Tanpa banyak bicara, ia pun ikut membantu, mengangkat barang-barang dan merapikan tempat tidur bersama Hana. Untuk pertama kalinya sejak menikah, mereka bekerja sama tanpa perang dingin atau aksi saling balas dendam. Malam itu, meski tetap di kamar terpisah, ada suasana damai di antara mereka—gencatan senjata sementara, setidaknya untuk satu hari.
***
Bagian 2.A – Cemburu? Gak mungkin!
Malam itu, Faris sedang duduk santai di ruang tamu, memainkan ponselnya sambil sesekali menguap. Hana baru keluar dari kamar mandi dengan piyama bermotif stroberi dan rambut setengah basah. Dia melihat sekilas ke arah Faris, yang tampak sibuk sendiri.
“Tumben serius banget, Ris?” tanya Hana, pura-pura cuek sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
Faris mengangkat bahu. “Biasa, balas chat temen.”
Hana melirik layar ponsel Faris dari sudut mata. Siapa yang dia chat malam-malam begini? Tapi tentu saja, dia harus sok kalem.
“Cewek?” tanyanya dengan nada santai, tapi sedikit menekankan kata ‘cewek’.
Faris tersedak minumannya. “Heh?! Enggak, lah!”
“Tadi panik kenapa?”
“Mana ada panik,” elak Faris sambil berusaha bersikap santai.
Hana memutar bola matanya. Dia pun duduk di sofa sambil pura-pura sibuk melihat ponselnya. Lalu tiba-tiba dia terkikik sendiri.
Faris melirik penasaran. “Kenapa ketawa?”
“Oh, enggak. Ini, ada yang kirim chat,” jawab Hana dengan nada misterius.
Faris mengerutkan dahi. “Siapa?”
“Ya… ada deh.”
Faris mencoba fokus ke ponselnya lagi, tapi pikirannya terusik. Hana senyum-senyum sendiri membaca chat? Dari siapa? Dia menahan diri untuk tidak bertanya, tapi sesekali mencuri pandang ke layar Hana.
“Ris, kalau misalnya ada orang yang tiba-tiba nanyain kabar, kira-kira kenapa ya?” Hana bertanya dengan wajah polos.
Faris menelan ludah. “Ya… mungkin dia kangen?”
“Oh… berarti kalau misalnya ada cowok yang tiba-tiba ngechat aku, itu tandanya dia kangen, ya?”
Faris langsung menegakkan duduknya. “Siapa cowok itu?”
Hana tersenyum licik. “Ya… ada deh.”
Faris langsung memasang tampang sok tenang, tapi matanya mulai menyipit curiga. “Cowok mana? Temen lama?”
Hana sengaja tidak menjawab dan malah memainkan rambutnya sambil tersenyum penuh arti. Faris mulai gelisah.
“Penting banget ya, chat dia?” tanya Faris dengan nada yang berusaha santai, tapi jelas ada sedikit rasa kesal di dalamnya.
Hana mengangguk mantap. “Banget.”
Faris menghela napas panjang. “Oh… ya udah. Aku juga ada yang ngechat nih.”
Hana melirik sekilas ke layar ponsel Faris, tapi tetap sok tenang. “Siapa?”
“Ya… ada deh,” balas Faris, meniru jawaban Hana tadi.
Hana mendelik. “Cewek?”
Faris mengangkat bahu santai. “Ya… mungkin.”
Wajah Hana langsung berubah, tapi dia buru-buru menutupi ekspresinya dengan minum air. Faris menahan senyum puas melihatnya.
Setelah beberapa menit penuh keheningan, Hana akhirnya tak tahan dan bertanya, “Cewek mana?”
Faris tersenyum menang. “Kepo?”
“Enggak.”
“Ya udah.”
Hana merengut. Kenapa rasanya dia yang kalah sekarang? Padahal tadi dia yang bikin Faris penasaran duluan.
Akhirnya, setelah beberapa saat saling diam-diaman, Hana mencoba mencuri pandang ke layar ponsel Faris. Namun, sialnya, Faris tiba-tiba menoleh ke arahnya.
“Kamu ngintip, ya?” tuduh Faris dengan senyum jahil.
“Enggak! Aku cuma… ngeliat jam!” Hana buru-buru memalingkan wajah.
“Padahal jam ada di dinding.”
“Ya suka-suka aku, dong!”
Faris terkekeh pelan, lalu tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arah Hana.
“Ngaku aja, kamu cemburu, kan?” bisiknya.
Hana langsung berdiri. “Sok pede banget!”
Tapi baru satu langkah, dia malah tersandung kakinya sendiri dan hampir jatuh. Refleks, Faris menangkapnya. Seketika mereka berdua saling menatap dalam diam.
Faris tersenyum jahil. “Nih, aku kasih tahu biar kamu enggak penasaran. Yang chat aku tadi… tukang laundry.”
Hana mengerjapkan mata. “Hah?”
Faris menunjukkan layar ponselnya. “Kak, baju udah bisa diambil besok pagi, ya.”
Hana terdiam sejenak, lalu wajahnya memerah karena malu.
Faris tertawa. “Ternyata beneran cemburu.”
Hana mendengus. “Enggak ah! Aku cuma penasaran!”
“Penasaran sama siapa?” goda Faris.
Hana melipat tangan di dada, wajahnya merengut. Faris makin senang menggoda.
“Udah, udah. Sana tidur, Nona Cemburu,” kata Faris sambil menahan tawa.
“Bodo!” Hana langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras.
Faris tersenyum lebar ... Puas
Bagian 2.B – Drama Cemburu Tapi Gengsi (Pembalasan Hana)
Pagi harinya, Faris bangun dengan semangat. Rencananya, hari ini dia mau jogging di sekitar komplek. Dia melirik ke sofa dan tersenyum puas—Hana pasti masih malu gara-gara kejadian semalam.
Saat Faris sedang stretching di depan rumah, Hana keluar dari dalam dengan wajah cerah. Yang bikin Faris heran, dia memakai outfit olahraga lengkap—legging, hoodie, sepatu running, dan headset di telinga.
Faris mengangkat alis. “Mau ke mana?”
“Oh, jogging,” jawab Hana santai.
Faris makin heran. “Sejak kapan kamu suka jogging?”
Hana tersenyum misterius. “Baru mulai… ada yang ngajakin.”
Faris langsung menyipitkan mata. “Ngajakin? Siapa?”
Hana hanya terkikik kecil dan mulai berjalan santai. “Ya… ada deh.”
Darah Faris langsung naik ke kepala. Dia buru-buru menyamakan langkah dengan Hana. “Cowok?”
Hana pura-pura tidak dengar dan malah menyesuaikan volume headset-nya.
Faris makin curiga. Dia melirik sekeliling, mencari tanda-tanda cowok mencurigakan yang mungkin jadi ‘partner jogging’ Hana.
Begitu sampai di taman kompleks, Hana sengaja memperlambat langkahnya dan melihat ponselnya. “Eh, udah nyampe. Dia udah nunggu, nih.”
Faris langsung panik. “Siapa yang nunggu?”
Hana tersenyum licik. “Kepo?”
Faris berusaha tetap tenang, tapi matanya liar mencari. “Nih orang mana? Kok enggak kelihatan?”
Hana berjalan ke arah bangku taman dan melambai. “Hai, Mas! Udah lama nunggu?”
Faris langsung menoleh dengan ekspresi setengah marah, setengah panik. Tapi yang dia lihat di bangku taman hanyalah… seekor kucing oranye gemuk yang sedang bersantai.
Hana langsung ngakak. “Faris, kenalin, ini Mas Oyen! Setia banget nungguin aku tiap pagi.”
Faris langsung menghela napas panjang. “Astaghfirullah, Hana!”
Hana tertawa puas melihat wajah Faris yang tadinya tegang sekarang berubah kesal.
Faris duduk di bangku dengan wajah sebal. “Tega banget sih, ... gue dikerjain”
Hana duduk di sampingnya, masih tertawa kecil. “Makanya, jangan sok bikin orang penasaran.”
Faris meliriknya tajam. “Liat aja nanti.”
Hana masih tersenyum menang. “Mau balas dendam? Gak bakal bisa, Faris Sayang~” godanya sambil menepuk pundak Faris.
Faris mendengus. Oke, pertarungan belum selesai.
Bagian 2.C – Perang Belum Selesai
Setelah kejadian ‘Mas Oyen’ di taman, Faris masih kesal. Dia tahu Hana cuma ngerjain dia, tapi tetap saja, rasa penasaran bercampur cemburu bikin dia gak tenang.
Nah, kali ini giliran dia yang bikin Hana penasaran!
* Faris VS Instastory Mencurigakan
Siang itu, Faris dengan sengaja unggah Instastory yang bikin kepo.
📸 Foto tangannya memegang dua gelas kopi di kafe.
💬 “Quality time sama yang spesial. ☕💕”
Bukan cuma Hana yang melihat, tapi dia yang paling bereaksi keras.
Hana yang sedang sibuk di dapur spontan melotot saat melihat story itu.
"Quality time sama yang spesial?! Siapa?! Kapan?! Dimana?!"
Tapi tentu saja, dia tetap jaim. Bukannya langsung bertanya, dia malah diam-diam stalking Instastory Faris untuk cari petunjuk.
Namun, sialnya, Faris hanya mengunggah foto tangannya dan dua gelas kopi. Wajah si "yang spesial" tidak terlihat.
Hana menggigit bibirnya. “Ah, masa bodo. Urusan dia!” katanya keras-keras.
Tapi lima menit kemudian, Hana tiba-tiba nyari alasan buat ke ruang tamu.
Kebetulan Faris lagi duduk di sofa, asik main HP. Hana mendekat dengan gerakan slow motion, lalu melirik ke layar HP Faris.
Faris sadar dan langsung memiringkan layarnya.
Hana langsung melotot. "Lho? Kok HP-nya dijaga banget?"
Faris tersenyum tipis. “Penasaran ya?” godanya.
Hana mendengus dan langsung pergi ke dapur dengan langkah penuh harga diri.
Namun, saat masuk dapur, dia malah buka Instagram lagi dan memeriksa story Faris sekali lagi.
** Hana VS Telepon Misterius
Malam harinya, giliran Faris yang kena jebakan.
Saat dia lagi santai di sofa, tiba-tiba HP Hana berbunyi.
📞 Nama yang muncul di layar: "Mas Rangga ❤️"
Faris yang baru minum teh hampir keselek.
"MAS RANGGA? Siapa nih? Kok ada emot love?!"
Hana, yang sadar Faris melihat layarnya, sengaja mengangkat telepon dengan suara manja.
“Halo, Mas... Iya, aku juga kangen~” katanya sambil melirik Faris.
Mata Faris langsung melebar.
Faris berusaha pura-pura cuek, tapi gerak-geriknya mencurigakan.
Dia jalan mondar-mandir di belakang Hana, pura-pura nyari remote TV yang jelas-jelas ada di depan matanya.
Hana tetap lanjut telepon. “Iya, Mas, kita harus sering ketemu lagi…”
Faris langsung duduk di samping Hana, memasang kuping tajam.
Hana menutup telepon, lalu menoleh santai. “Kenapa? Kok duduknya deket banget?”
Faris berusaha tetap cool. “Nggak papa, emangnya gak boleh deket istri sendiri?”
Hana tersenyum penuh kemenangan. “Oh, gitu~”
Faris akhirnya gak tahan. “Itu tadi siapa?” tanyanya sok santai.
Hana berusaha menahan tawa. “Mas Rangga.”
Faris nyengir sinis. “Mas Rangga siapa? Mantan?”
Hana mengangkat bahu. “Enggak juga.”
Faris menyipitkan mata. "Terus kenapa ada emoji love?!"
Hana tersenyum misterius. “Rahasiaaa~”
Faris menahan napas. DASAR WANITA!
Dia harus cari tahu.
*** Terbongkarnya Kebohongan!
Dua jam kemudian, Faris akhirnya menemukan cara cerdas.
Saat Hana pergi ke kamar mandi, HP-nya tergeletak di meja.
Faris langsung mengendap-endap mendekati HP itu.
Tangannya sudah siap menyentuh layar, tapi tiba-tiba...
“LAGI NGAPAIN, RIS?”
Faris melompat kaget seperti maling ketahuan.
Hana berdiri di belakangnya dengan tangan bersedekap.
Faris berusaha cari alasan. “A-aku cuma mau mindahin HP-nya… takut jatuh…”
Hana menyipitkan mata. “Oh ya?”
Faris tersenyum kaku. “Hehehe…”
Hana mengambil HP-nya, lalu menunjukkan sesuatu.
Di layar HP, nama kontak “Mas Rangga ❤️” ternyata nomor restoran langganan mereka.
Hana tertawa puas. “kepo yaaa?”
Faris menepuk jidat. DIPERMAINKAN LAGI!
Hana semakin puas melihat wajah Faris yang merah padam gara-gara malu.
Hana mendekat dan menyenggol bahunya. “Cemburu yaaa?”
Faris masih gengsi. “Nggak tuh.”
Hana terkikik. “Yakin?”
Faris mendengus. Pertarungan belum selesai!
Hana pun tersenyum penuh kemenangan.
Cemburu? Gak mungkin.
Bagian 3: Bulan Ramadhan, Gencatan Senjata dulu enggak sih!
Bulan Ramadhan akhirnya tiba, membawa suasana yang berbeda di rumah tangga Faris dan Hana. Meski masih sering saling menjahili, ada sesuatu yang mulai berubah dalam interaksi mereka—walau keduanya belum menyadarinya.
A. Sahur Pertama: Perang Dingin di Dapur
Jam 03.30 pagi, rumah masih gelap, dan suara alarm Hana berbunyi nyaring seperti sirene kapal perang.
Faris yang masih setengah tidur tersentak kaget, hampir jatuh dari kasur. "Astaghfirullah… ada gempa?! Ada maling?!"
Dia mengintip ke luar kamar dan melihat Hana sudah sibuk di dapur, dengan celemek bertuliskan “Healthy Food, Happy Life”.
Faris menghela napas. Oke, perang belum berakhir.
Dia masuk ke dapur, menyipitkan mata. "Kenapa udah ribut kayak warteg pas jam makan siang?"
Hana tidak menoleh. "Kalau nggak bangun sekarang, nanti kamu puasa tanpa sahur."
Faris menguap. "Ya udah, masakin aja."
Hana melirik sekilas, lalu tersenyum tipis. "Oke."
Lima belas menit kemudian…
Faris memandangi makanannya dengan ekspresi horor.
"Nasi merah, sayur rebus tanpa garam, dada ayam tanpa kulit, dan jus hijau?"
Hana menyeringai. "Sahur sehat, biar puasanya lancar."
Faris menelan ludah. "Kamu sengaja kan?"
Hana pura-pura berpikir. "Hmm… mungkin."
Faris melirik dapur, lalu bangkit diam-diam. Dia membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa menyelamatkan makanannya.
Namun sebelum tangannya mencapai botol kecap, Hana langsung berdiri di belakangnya.
"Berani coba-coba, Faris?" suaranya penuh ancaman.
Faris langsung menarik tangannya pelan. "Nggak, aku cuma… ambil air putih."
Di meja makan, mereka sahur dalam diam. Tapi tanpa mereka sadari, Faris tetap menghabiskan makanannya, dan Hana diam-diam tersenyum puas.
B. Ngabuburit dan Berbuka: Ajaib Tapi Nyaman
Menjelang maghrib, Faris dan Hana berdua duduk di ruang tamu, sama-sama lemas setelah seharian puasa.
Faris memegang remote TV. "Kita nonton apa?"
Hana menghela napas. "Apa aja yang bisa bikin lupa kalau kita lagi lapar."
Tiba-tiba, perut Faris berbunyi kencang.
Hana menoleh, lalu tertawa kecil. "Kasian banget, suami kurang gizi."
Faris pura-pura tersinggung. "Ya salah siapa, dari sahur udah disiksa pakai makanan burung."
Hana menyikutnya pelan. "Nggak semua makanan sehat itu nggak enak, tau."
Tanpa sadar, mereka mulai mengobrol lebih santai. Ngomongin masa kecil, sekolah, sampai kebiasaan konyol masing-masing.
Saat adzan maghrib berkumandang, mereka berbuka dengan teh hangat dan kurma.
Faris menatap teh yang dibuat Hana, lalu menyeruputnya pelan. "Wah, enak juga."
Hana meliriknya. "Tuh kan, nggak semua yang aku buat itu menyiksa."
Faris nyengir. "Ya… yang ini sih enak. Tapi menu sahur tadi tetap nggak bisa dimaafkan."
Hana hanya terkekeh.
Tanpa mereka sadari, obrolan kecil mereka malam itu terasa berbeda. Lebih ringan, lebih hangat.
C. Tarawih: Antara Ibadah dan Jajanan Masjid
Setelah berbuka, Hana menatap Faris dengan serius.
"Kita tarawih di masjid malam ini."
Faris menguap. "Besok aja, aku ngantuk banget."
Hana menyipitkan mata. "Di sana ada bazar makanan."
Lima menit kemudian, Faris sudah siap dengan baju koko dan peci.
Di masjid, Faris awalnya gelisah. Tapi saat sholat dimulai, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Suasana masjid yang damai, lantunan ayat-ayat suci, dan orang-orang yang khusyuk beribadah…
Dia menoleh sekilas ke Hana yang berdiri di barisan wanita. Kenapa rasanya nyaman ya?
Setelah selesai sholat, mereka berjalan di bazar masjid. Faris sibuk memilih gorengan, sementara Hana memilih kurma dan jus segar.
Saat mereka duduk di bangku kayu sambil makan, Hana melihat Faris diam saja.
"Kenapa?" tanyanya.
Faris mengunyah bakwan pelan. "Tadi sholatnya enak ya. Tenang."
Hana tersenyum kecil. "Makanya, jangan malas tarawih."
Faris hanya mengangguk. Untuk pertama kalinya, dia mulai menikmati momen bersama Hana—tanpa niat menjahili atau membalas dendam.
Dan tanpa mereka sadari, mereka mulai berubah.
Bagian 4: Lebaran dan Rahasia Masa Lalu
Ramadhan akhirnya berlalu, dan hari kemenangan pun tiba. Tapi bagi Faris dan Hana, kemenangan mereka bukan sekadar menahan lapar dan haus, melainkan menahan rasa merinding karena satu misi baru:
Mereka harus terlihat harmonis saat Lebaran.
Orang tua mereka sudah berharap banyak. Bahkan, mereka diminta untuk memanggil satu sama lain dengan panggilan mesra.
Masalahnya?
Baik Faris maupun Hana sama-sama geli sendiri saat mendengar panggilan “sayang” keluar dari mulut mereka.
A. Perjalanan Mudik dan Panggilan yang Bikin Merinding
Di pagi hari, setelah salat Ied, Faris dan Hana bersiap menuju rumah orang tua masing-masing. Rumah orang tua Faris berjarak 30 km, sementara rumah orang tua Hana 60 km dari rumah mereka.
Di dalam mobil, suasana canggung.
Hana melirik Faris yang sedang menyetir. "Kita harus mulai dari sekarang."
Faris mendesah. "Seriusan, Han? Nggak bisa nanti aja?"
Hana menyeringai. "Kalau kamu nolak, aku bakal panggil kamu ‘Mas Bebeb’ depan orang tuamu."
Faris langsung menegang. "Oke. Tapi kita pakai panggilan yang… nggak terlalu ekstrem, ya?"
Hana mengangguk. "Deal."
Faris mengambil napas dalam-dalam. "Ehem… Sayang, kamu nyaman duduknya?"
Hana merinding sendiri, tapi dia tetap membalas. "Nyaman, Mas… Uuuh, merinding!"
Faris buru-buru mengusap wajahnya, seakan mencoba menghapus rasa malu. "Sama, sumpah ini lebih berat dari puasa sebulan."
Tapi sepanjang perjalanan, mereka tetap berusaha.
"Sayang, mau mampir beli sesuatu dulu?"
"Terserah kamu, Mas."
"Kita muter lagu romantis biar lebih dapet feel-nya, Sayang?"
"Kalau kamu muter lagu ‘Cinta Luar Biasa’, aku bakal turun dari mobil sekarang, Mas."
Dan seterusnya…
Mereka berdua saling bertukar panggilan mesra dengan wajah meringis, seolah dipaksa menelan obat pahit.
Tapi anehnya, semakin lama, mereka mulai terbiasa.
B. Rumah Orang Tua Faris: Ujian Kesabaran
Saat sampai di rumah orang tua Faris, mereka langsung disambut dengan pelukan hangat.
Ibu Faris tersenyum senang. "Aduh, anak ibu sudah jadi suami sekarang. Hana, kamu betah, kan, Nak?"
Hana tersenyum manis. "Betah, Bu… Soalnya Mas Faris baik banget."
Faris hampir tersedak. Tapi dia menahan diri dan membalas, "Iya, Sayang, aku selalu berusaha jadi suami yang baik buat kamu."
Mata ibu Faris langsung berbinar. "Alhamdulillah… ibu jadi tenang."
Hana dan Faris saling berpandangan. Oke, misi berhasil di tahap pertama.
Tapi tantangan sebenarnya adalah keluarga besar.
Saat makan siang bersama, tante-tante mereka mulai beraksi.
"Wah, Faris makin mesra ya sekarang. Dulu kayaknya dingin banget sama cewek."
Faris tertawa kaku. "Namanya juga istri sendiri, Tante."
Sepupu-sepupunya menimpali, "Cieee… coba dong panggil sayang lagi!"
Hana langsung melirik Faris dengan tatapan jangan coba-coba nolak.
Faris menelan ludah. "Sayang, kamu mau tambah opor?"
Hana tersenyum, lalu membalas dengan nada manja yang sengaja dilebih-lebihkan. "Iya, Mas, ambilin dong~"
Keluarga Faris bersorak. "Waaah, cocok banget kalian!"
Faris dan Hana tersenyum… tapi dalam hati ingin segera kabur dari situasi ini.
C. Rumah Orang Tua Hana: Album Kenangan
Setelah melewati ujian di rumah Faris, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah orang tua Hana.
Setibanya di sana, suasana tak kalah meriah.
Ibunya Hana langsung memeluk mereka. "Hana, Faris, sini duduk! Ibu mau tunjukin sesuatu."
Hana mengernyit. "Apa tuh, Bu?"
Sang ibu mengeluarkan sebuah album foto tua dari lemari. "Ini foto-foto Hana waktu kecil. Lucu banget loh!"
Hana meneguk ludah. "Bu… nggak usah—"
Tapi sudah terlambat. Foto pertama yang muncul adalah Hana kecil yang gemuk, memakai dress merah muda, sedang manyun sambil memeluk boneka.
Faris langsung membelalakkan mata.
"HANA?! Ini kamu?"
Hana menutup wajah dengan kedua tangan. "Iya, kenapa sih?!"
Faris terdiam, mengingat sesuatu.
"Tunggu… Aku kayaknya pernah lihat kamu dulu… waktu kecil…"
Ibunya Hana tertawa. "Oh iya! Dulu kalian sering main bareng pas kecil. Hana itu dulu bawel banget, loh. Sampai pernah maksa Faris buat janji sesuatu."
Faris menatap ibunya Hana dengan curiga. "Janji apa?"
Ibunya Hana tertawa makin keras. "Hana waktu kecil pernah maksa kamu buat janji kalau kamu bakal nikahin dia pas udah gede!"
Mata Faris membesar. "SERIOUSLY?!"
Hana langsung panik. "Bu, udah dong! Nggak usah diceritain!"
Tapi ibunya Hana makin bersemangat. "Dulu kalau Faris nolak, Hana bakal ngamuk dan nangis gulung-gulung di lantai!"
Faris menoleh ke Hana dengan ekspresi horor sekaligus geli. "Jadi ini semua gara-gara janji waktu kecil?"
Hana menggerutu. "Aku kan masih kecil! Mana aku tahu bakal kejadian beneran!"
Tapi sebelum Hana bisa membela diri, album foto kembali terbuka.
Sekarang, giliran foto Faris kecil dengan gigi ompong di bagian depan.
Hana langsung terbahak. "HAAHAHA! Gigi kamu mana, Ris?! Ompong banget!"
Ibunya Hana menimpali. "Dulu dia kebanyakan makan permen. Sampai giginya copot di TK."
Hana sampai terpingkal-pingkal. "Gigi ompong, Mas Sayang! Aduh, geli banget!!"
Faris menutupi wajahnya. "Sudah! Stop! Ini sudah cukup memalukan!"
Mereka berdua tertawa sampai hampir menangis. Untuk pertama kalinya, bukan karena saling menjahili atau menjalankan misi harmonis, tapi karena benar-benar merasa nyaman satu sama lain.
Dan di momen itu, Faris menyadari sesuatu.
Mungkin, menikahi Hana bukan kesalahan seperti yang ia pikirkan selama ini.
Bagian 5: Kesan di Hati
Setelah semua kekonyolan dan drama yang mereka lalui, sesuatu berubah di antara Faris dan Hana.
Awalnya, pernikahan ini terasa seperti sebuah “kecelakaan.” Tapi perlahan, momen-momen kecil mulai terasa berbeda. Setiap candaan, tatapan, dan perhatian kecil mulai meninggalkan kesan di hati masing-masing.
Namun, sebelum mereka benar-benar memahami perasaan sendiri, satu insiden besar terjadi: mereka hampir cerai.
A. Kita Cerai Aja!
Suatu hari, dalam sebuah pertengkaran yang dipicu oleh hal sepele—seperti Faris lupa beli saus sambal untuk Hana—kemarahan meledak.
"Aku nggak tahan lagi, Sayang!" seru Hana dengan suara gemetar.
"Jadi, kamu mau apa, Sayang?" balas Faris, juga emosi.
Hening.
Hana menatap Faris dengan mata berkaca-kaca. "Kita cerai aja."
Faris terdiam. Ucapan itu menusuk jauh ke dalam hatinya.
Mereka berdua akhirnya pergi ke kantor pengadilan agama. Tapi, tepat sebelum proses dimulai, sesuatu terjadi…
Faris tiba-tiba menggenggam tangan Hana erat.
"Hana…" suaranya bergetar. "Kamu yakin kita mau berpisah?"
Hana menatap tangan Faris yang menggenggamnya. Hatinya terasa aneh—berat, sesak, dan sakit.
Dia ingin bilang "Iya"… Tapi mulutnya tak bisa mengucapkannya.
Sebuah keheningan panjang melingkupi mereka, sampai akhirnya Hana menghela napas panjang.
"Enggak."
Mereka saling bertatapan, lalu sama-sama tertawa kecil.
Mereka sadar. Mereka tidak benar-benar ingin berpisah.
Keputusan cerai gagal total.
Dan sebagai bentuk "damai", mereka memutuskan untuk pergi bulan madu.
B. Bulan Madu di Bromo: Keindahan yang Memabukkan
Bulan madu mereka dipilih di tempat yang sederhana, tapi romantis: Gunung Bromo.
Saat mereka sampai di sana, Pagi dini hari, angin dingin menyambut, membawa aroma embun pagi dan tanah basah.
Mereka naik ke Bukit Penanjakan untuk melihat matahari terbit.
Ketika cahaya keemasan pertama mulai muncul di ufuk timur, menerangi hamparan kabut yang menyelimuti lembah, Hana tanpa sadar menggenggam tangan Faris erat.
"Dingin banget, Mas."
Faris tersenyum, lalu tanpa berpikir panjang, merangkul Hana dari belakang.
Hana terkejut. Tapi, anehnya… dia tidak ingin melepaskan diri.
Matahari perlahan naik, mewarnai langit dengan semburat oranye, merah muda, dan ungu yang lembut.
Hana berdiri menatap pemandangan yang luar biasa indah. "Mas… ini luar biasa."
Faris tersenyum, berdiri di sampingnya. "Kayak kamu."
Hana melirik Faris dengan pipi memerah. "Gombal banget sih, Sayang."
Faris tertawa kecil. "Tapi bener, Sayang. Aku nggak nyesel datang ke sini bareng kamu."
Mereka berdiri di sana, tanpa kata-kata, hanya menikmati kebersamaan.
C. Malam Pertama yang Tertunda
Malam itu, mereka menginap di sebuah vila kayu kecil yang hangat dan nyaman.
Hana duduk di tepi tempat tidur, gugup.
"Jadi… kita tidur bareng?" suaranya nyaris seperti bisikan.
Faris yang juga duduk di ujung ranjang, mengusap tengkuknya, sama gugupnya. "Ya… kayaknya gitu, Sayang."
Hening.
Mereka berdua saling melirik sekilas, lalu buru-buru membuang pandangan.
Hana menarik napas panjang, berusaha tetap santai. "Oke… tapi aku ada syarat."
Faris menoleh. "Apa?"
"Jangan sentuh aku dulu!"
Faris terbatuk. "Astaga, Sayang… aku bukan serigala."
Hana memeluk bantal. "Pokoknya jangan aneh-aneh!"
Mereka akhirnya tidur bersebelahan, tapi masing-masing berusaha tidur menghadap sisi lain.
Tapi masalahnya, Hana ternyata punya kebiasaan tidur yang buruk.
Malam itu, Faris tiba-tiba terbangun karena merasakan sesuatu menindih dadanya.
Dia membuka mata… dan menemukan Hana sudah berpindah tempat, tidur di atas lengannya!
Bukan hanya itu—tangannya melingkar di pinggang Faris.
Faris menegang. "Ya Allah, gimana ini?!"
Jantungnya berdebar kencang.
Dia ingin membangunkan Hana, tapi takut bikin situasi makin canggung.
Jadi, dia hanya bisa terdiam, menatap wajah istrinya yang tertidur nyenyak.
Dan untuk pertama kalinya, dia menyadari betapa cantiknya Hana.
Pelan-pelan, dia tersenyum. "Dasar istri ajaib…"
Akhirnya, dia pun tertidur dengan perasaan yang aneh… tenang, nyaman, dan bahagia.
D. Salah Tingkah di Pagi Hari
Saat matahari pagi menyelinap masuk, Hana menggeliat, lalu membuka mata perlahan.
Saat itu juga, dia sadar.
Dia sedang memeluk Faris erat.
DAN WAJAHNYA CUMA BERJARAK BEBERAPA SENTIMETER DARI FARIS!
Jantungnya langsung berhenti sepersekian detik.
"ASTAGA, INI APA?!"
Wajahnya memerah seketika. Panik, dia langsung mendorong Faris!
"MAS!!!"
Faris yang masih setengah tidur langsung jatuh dari ranjang.
"ARGH!!"
Hana terkejut. "Astaga! Kamu nggak apa-apa, Sayang?"
Faris bangkit, mengusap kepalanya. "Aku baik-baik aja, Sayang… kecuali harga diriku yang jatuh juga."
Hana langsung salah tingkah. "Sumpah, aku nggak sengaja! Aku… aku cuma kaget!"
Faris menghela napas sambil tersenyum kecil. "Santai aja, Sayang… Toh kita udah sah."
Wajah Hana makin memerah.
Tapi sebelum dia bisa membalas, Faris tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan hangat.
Hana membeku. "M-Mas?"
Faris tersenyum. "Aku cuma mau bilang… aku bahagia, Sayang."
Hana menatap mata suaminya yang tulus, dan di momen itu, dia sadar…
Dia juga bahagia.
...
(Moment selanjutnya.. Sensor dulu dong)
Bagian 6: Berita Gembira
Setelah bulan madu yang penuh momen mendebarkan, Faris dan Hana mulai menjalani kehidupan rumah tangga yang lebih harmonis.
Mereka sudah lebih terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Perang gokil mereka tetap ada, tapi kini disertai dengan momen-momen manis yang membuat perasaan mereka semakin dalam.
Namun, kehidupan mereka berubah drastis empat bulan kemudian.
A. Hana Mulai Aneh
Suatu pagi, Faris terbangun karena suara ribut dari kamar mandi.
“Uweekk!!”
Faris langsung bangkit, panik. "Hana?!"
Dia melihat Hana bersandar di wastafel, wajahnya pucat.
Faris buru-buru menghampiri. "Sayang, kamu kenapa?"
Hana mengelap mulutnya pelan. "Aku… aku nggak tahu. Pagi-pagi aku mual banget."
Faris menatapnya dengan khawatir. "Kamu sakit?"
Hana menggeleng. "Rasanya bukan sakit biasa…"
Faris berpikir sejenak, lalu matanya membesar. "Jangan-jangan…!"
Hana menatap Faris dengan ekspresi yang sama. Saling terdiam.
"Faris…" suara Hana bergetar. "Jangan-jangan Aku… aku hamil?"
Mereka saling menatap dengan shock.
"Tes dulu," ujar Faris akhirnya.
B. Dua Garis Merah ini artinya apa?
Beberapa menit kemudian, Hana keluar dari kamar mandi dengan test pack di tangan.
Dia menatapnya lama, lalu menutup mulutnya dengan tangan.
Faris langsung menghampiri. "Sayang… hasilnya?"
Perlahan, Hana menunjukkan test pack itu.
Dua garis merah.
Sejenak, mereka hanya diam.
Lalu, tangis Hana pecah.
"Mas… aku hamil…"
Faris tercengang. Dadanya terasa hangat. Dia akan menjadi ayah.
Dengan cepat, dia menarik Hana ke dalam pelukannya.
"Hana…" suaranya bergetar. "Ini… ini berita terbaik dalam hidupku."
Hana menangis di dada Faris, tapi kali ini karena bahagia.
"Aku juga bahagia, Mas…"
Faris mengecup puncak kepala Hana dengan penuh kasih. "Mulai sekarang, kamu nggak boleh kecapekan, nggak boleh telat makan, dan harus lebih hati-hati, Sayang."
Hana mengangguk sambil tersenyum, mata mereka bertemu dalam kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
C. Reaksi Keluarga
Berita kehamilan Hana langsung menyebar ke kedua keluarga mereka.
Ibunya Hana langsung menangis bahagia saat mendengar kabar itu. "Akhirnya, aku bakal punya cucu!!"
Ibunya Faris juga langsung heboh. "Wah, Mas Faris, udah nggak boleh males-malesan lagi, ya! Harus lebih tanggung jawab!"
Sementara itu, ayah Hana dan ayah Faris cuma bisa saling pandang sambil tertawa kecil.
Ayah Hana menepuk pundak Faris. "Kamu udah siap jadi bapak, Nak?"
Faris menggaruk kepala. "Siap nggak siap, harus siap, Yah."
Semua tertawa.
Di sisi lain, Hana mulai mengalami ngidam aneh-aneh.
"Mas, aku mau mangga muda sama es krim!" tengah malam, Hana mengguncang tubuh Faris.
Faris yang setengah tidur langsung terbangun dengan panik. "Hah? Sekarang?! Sayang, itu kombinasi aneh banget…"
"Tapi aku kepengen banget, Mas…" Hana mengerucutkan bibirnya.
Faris menghela napas panjang… lalu tersenyum. "Oke, tunggu di sini, Sayang."
Dan begitulah, Faris berkeliaran di tengah malam demi istrinya tercinta.
Meski terkadang merepotkan, Faris menyadari sesuatu.
Dia benar-benar mencintai Hana.
D. Penutup
Di malam yang tenang, Faris duduk di tepi tempat tidur, menatap perut Hana yang mulai membesar.
Perlahan, dia meletakkan tangannya di sana.
"Hai, Nak…" bisiknya. "Ini Ayah."
Hana tersenyum, hatinya terasa penuh dengan cinta.
Faris menatap istrinya dalam-dalam. "Aku nggak pernah nyangka kita bakal sampai di titik ini, Sayang."
Hana tertawa kecil. "Aku juga nggak nyangka. Dari pernikahan 'terpaksa', sampai di sini…"
Faris tersenyum. "Tapi aku bersyukur. Kalau aku boleh mengulang waktu, aku tetap akan memilih kamu."
Hana menatap suaminya, lalu tanpa ragu, dia berbisik, "Aku juga, Mas."
Faris menarik Hana dalam pelukan hangat. Kini, mereka bukan lagi pasangan yang ‘terpaksa menikah’—mereka adalah dua orang yang benar-benar saling mencintai.
(TAMAT.)
@iqna
***
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***