28.4.25

Cinta Yang Tak Pernah Pudar - Cerpen

 

Cinta Yang Tak Pernah Pudar - Cerpen

Bagian 1: Rumah di Ujung Desa

Di sebuah desa yang damai, ada rumah tua yang sederhana tapi bersih dan asri. Halamannya luas, dipenuhi pohon mangga tua yang sudah puluhan tahun jadi saksi kehidupan penghuninya: Pak Umar dan Bu Siti.

Di teras rumah, ada sangkar burung tergantung rapi, sementara di bawahnya beberapa ekor kucing malas tidur di bangku panjang. Hubungan burung dan kucing di rumah ini sudah seperti pemiliknya—kadang damai, kadang ribut, tapi saling sayang tanpa bisa dipisahkan.


Burung vs Kucing: Episode Sehari-hari

Pagi itu, Pak Umar sedang mengobrol dengan burung kesayangannya, seperti biasa.

"Ayo, nyanyi dikit, Beb! Masak kalah sama burung tetangga? Biar kayak aku dulu waktu nembak Bu Siti, suara harus merdu!"

Bu Siti yang sedang menyapu halaman mendelik.

"Merdu dari Hong Kong! Dulu kamu nyanyi buat aku, malah ayam tetangga yang panik, langsung bertelur!"

Pak Umar terkekeh, tapi tawanya langsung hilang ketika melihat seekor kucing mencuri makanan burungnya.

"Siti! Itu kucingmu nyolong lagi! Aku gak terima!"

Bu Siti berbalik santai, tanpa merasa bersalah.

"Lho, salah burungmu! Kenapa makanannya enak? Kucingku gak bisa nahan godaan!"

Pak Umar melotot, sementara Bu Siti dengan santai melanjutkan sapunya.


Kesehatan yang Dirahasiakan

Meski sering bercanda dan terlihat sehat, keduanya sebenarnya punya penyakit masing-masing. Pak Umar kadang merasa dadanya sesak, tapi pura-pura tidak terjadi apa-apa. Bu Siti sering pusing dan lemas, tapi tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa.

Pagi itu, Bu Siti berhenti menyapu sebentar, memegangi dahinya. Pandangannya sedikit kabur, tapi saat melihat Pak Umar yang sedang memperbaiki sangkar burung, ia langsung berdiri tegak lagi.

"Gak boleh keliatan lemes, nanti si Kakek malah cemas."

Di sisi lain, Pak Umar juga merasa dadanya sedikit nyeri. Ia pun duduk sebentar di kursi teras, pura-pura mengelap keringat di leher. Saat Bu Siti menoleh, Pak Umar langsung berdiri lagi dan pura-pura memeriksa burungnya.

"Gak boleh keliatan lemah, nanti si Ndut malah repot mikirin aku."

Dan begitulah mereka, dua orang tua yang pura-pura kuat demi satu sama lain.


Anak-anak & Tawaran yang Tak Pernah Diterima

Siang harinya, anak sulung mereka, Rizal, datang bersama istrinya. Seperti biasa, tujuannya cuma satu: membujuk mereka pindah ke kota.

"Pak, Bu, tinggal sama kami aja, ya? Di sini kalian repot sendirian."

Pak Umar melipat tangan di dada, sementara Bu Siti sudah siap dengan alasan standar mereka.

"Lho, kita di sini gak sendirian. Ada burung, ada kucing, ada pohon mangga. Ramai!"

"Pak, Bu, itu beda."

"Ya emang beda, tapi lebih enak!"

Rizal mengusap wajah, istrinya ikut menghela napas. Sudah puluhan kali mereka membujuk, tapi jawaban orang tuanya selalu begitu.

Pak Umar berdeham.

"Rizal, di kota sana burung gak bisa bebas terbang, kucing gak bisa main di tanah, dan Bapak gak bisa duduk santai di teras sambil dengerin suara alam."

Bu Siti mengangguk.

"Di sini, kalau malam, kita bisa lihat bintang. Kalau siang, kita bisa becanda di teras. Kalau sore, kita bisa berdua minum teh sambil nostalgia."

Pak Umar melirik istrinya dan tersenyum kecil.

"Bener, kan, Bebeb?"

Bu Siti tersipu, lalu menoyor kepala suaminya.

"Ih, Kakek! Rizal di sini! Malu ah!"

Rizal hanya bisa menghela napas panjang. Orang tuanya memang keras kepala, tapi entah kenapa mereka juga terlihat begitu bahagia di rumah ini.


Bagian 2: Cinta yang Tak Pernah Pudar

Senja turun perlahan di desa. Angin sepoi-sepoi membelai halaman rumah, membuat daun mangga berbisik pelan. Pak Umar duduk di teras dengan secangkir teh, mengamati burungnya yang bertengger di sangkar. Di sebelahnya, Bu Siti sibuk mengelus kucingnya yang meringkuk manja di pangkuan.

Seperti biasa, mereka menikmati waktu sore bersama. Tapi ada yang sedikit berbeda hari ini.

Saling Menjaga dengan Cara Masing-Masing

Pak Umar melirik istrinya dari sudut mata. Ia memperhatikan bagaimana Bu Siti sesekali meremas tangannya sendiri, seperti sedang menahan sesuatu.

"Bu, teh bikinanku enak gak?" tanyanya tiba-tiba.

Bu Siti menoleh, mengernyit.

"Hah? Kapan bikin teh? Ini kan aku yang bikin tadi."

Pak Umar pura-pura mendesah.

"Ya ampun, Ndut, itu namanya tes. Mau tau aja, kamu masih waras atau udah mulai lupa-lupa."

Bu Siti mendelik, tapi Pak Umar malah menyodorkan piring kecil berisi pisang goreng.

"Udah, makan aja. Aku gorengin tadi, lho. Spesial buat kamu."

Bu Siti tersenyum kecil, tapi saat hendak mengambil pisang goreng, tangannya sedikit gemetar. Ia buru-buru menarik napas, lalu mengambil dengan santai seolah tak terjadi apa-apa.

"Tumben rajin, pasti ada maunya."

"Gak ada, beneran. Cuma pengen lihat istriku makan dengan lahap, biar makin montok."

"Huh, dasar Kakek genit!" Bu Siti mencubit lengan suaminya, membuat Pak Umar tergelak.

Di balik candaannya, Pak Umar hanya ingin memastikan istrinya makan dengan baik. Ia diam-diam memperhatikan setiap suapan, memastikan Bu Siti tidak kehilangan selera.

Di sisi lain, Bu Siti juga punya cara sendiri untuk menjaga suaminya.


Kucing vs Burung: Lagi-lagi Masalah Sepele

Pak Umar berdiri untuk mengambil air, tapi langkahnya sedikit tertahan. Tidak ingin Bu Siti melihat, ia berjalan lebih lambat dan sesantai mungkin.

Tapi tentu saja, istrinya tidak bisa dibohongi begitu saja.

"Lho, kamu mau ke mana, Bebeb?"

"Ambil air, bentar aja kok."

"Udah duduk aja, aku yang ambilin."

"Lho, tadi kan kamu yang udah bikin teh. Masa aku duduk manis doang?"

"Iya dong, tugas kamu tuh duduk dan tampan."

Pak Umar tergelak lagi, tapi tak menolak saat Bu Siti beranjak mengambil air untuknya. Di balik celetukan mereka, ada perhatian yang tak terucap.

Namun, ketenangan sore itu tak berlangsung lama. Salah satu kucing Bu Siti tiba-tiba melompat ke atas meja, mencoba mencuri pisang goreng.

"Siti! Kucingmu kurang ajar nih!"

"Lho, salahmu juga, naruh pisang goreng di tempat yang gampang dijangkau."

"Ya kali, aku harus gantung di langit-langit?"

Pak Umar mencubit pipi Bu Siti gemas, sementara istrinya hanya terkikik geli.

Di balik semua itu, mereka berdua tahu bahwa saling menjaga adalah hal yang paling berharga.


Bagian 3: Tidur yang damai

Malam itu, hujan turun gerimis. Dingin merayap pelan di rumah tua yang sudah menjadi saksi puluhan tahun perjalanan cinta dua insan.

Di dalam kamar, Bu Siti terbaring lemah, bersandar di bantal tinggi, sementara Pak Umar duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.

"Pak, kalau aku udah gak ada nanti, kamu harus cari istri lagi, ya?"

Pak Umar menoleh cepat, mendelik seolah baru saja mendengar berita paling absurd di dunia.

"Hah? Kamu pikir aku ini apa? Seperti burung dara yang gampang cari pasangan baru?"

Bu Siti tertawa kecil, batuknya terselip di antaranya. Napasnya terdengar lebih berat dari biasanya.

"Beneran, Pak. Aku ini gak bisa nemenin kamu terus. Nanti siapa yang bikinin kopi? Siapa yang mijitin kalau kaki pegel?"

Pak Umar menghela napas, menggoyang-goyangkan tangannya dengan dramatis.

"Halah, selama ini juga aku yang bikinin kopi buat kamu! Mijitin kamu juga. Jadi siapa yang lebih butuh siapa, nih?"

Bu Siti tersenyum, matanya menerawang ke langit-langit rumah.

"Tapi serius, Pak. Aku pengen kamu ada yang jaga nanti. Jangan sendirian."

Pak Umar menatapnya lama, lalu menggenggam tangannya lebih erat.

"Aku udah dijaga sama yang paling baik selama ini, Bu. Gak perlu yang lain."

Bu Siti terdiam, matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat mengedipkan air matanya supaya tidak jatuh.

"Yaudah, kalau gitu, aku titip burung-burungmu dan kucingku juga. Jangan lupa kasih makan, ya."

Pak Umar berusaha tersenyum kecil walau hatinya tak menentu

"Aku ngantuk, Pak… Aku mau tidur dulu."

Pak Umar mengusap rambut istrinya yang sudah banyak uban.

"Tidur aja, Ndut. Aku di sini."

Bu Siti menutup mata perlahan. Napasnya masih ada, meski pelan dan teratur. Tapi entah kenapa, Pak Umar merasa ada yang berbeda malam ini.


Kepergian yang Damai

Pak Umar masih duduk di sana, menggenggam tangannya, mengelus lembut punggungnya.

"Bu, sebelum tidur, ayo kita sambil doa yuk. Biar nyenyak."

Bu Siti mengangguk lemah, matanya tetap terpejam. Dengan suara lirih, Pak Umar membimbingnya membaca syahadat.

Satu kali…

Dua kali…

Di akhir kalimat itu, napas Bu Siti tertahan sejenak… lalu perlahan terdiam.

Pak Umar tetap diam, masih menggenggam tangannya. Matanya menatap istrinya yang kini benar-benar terlelap.

Anak-anak mereka yang mengaji di ruang keluarga merasakan suasana yang berbeda sehingga mereka masuk ke kamar dan melihat wajah Pak Umar terdiam dalam keheningan.

"Pak…?" suara anak sulungnya bergetar.

Pak Umar menoleh pelan, lalu tersenyum.

"Ibu kalian udah tidur dengan nyenyak."

Baru setelah itu, tangannya sedikit gemetar. Tapi air mata tak jatuh. Ia hanya menunduk, mengecup kening istrinya untuk terakhir kalinya.

"Selamat tidur, Ndut."


Beberapa Hari Kemudian

Pak Umar masih seperti biasa—atau setidaknya berusaha terlihat biasa. Ia masih duduk di teras setiap pagi, masih memberi makan burung-burungnya, masih bercanda dengan cucunya.

Tapi anak-anaknya tahu, ada sesuatu yang kosong di matanya.

Malam itu, ia duduk sendirian di ranjang, tempat Bu Siti biasa berbaring. Tangannya mengusap bantal di sampingnya, seolah masih ada kehangatan istrinya di sana.

"Aku juga mulai ngantuk, Bu…" gumamnya pelan.

Esok paginya, anak-anaknya menemukannya tertidur dengan damai di ranjang yang sama. Tangannya masih menggenggam bantal istrinya.

Wajahnya tersenyum.

Seolah ia baru saja bertemu kembali dengan seseorang yang sudah lama menunggunya.

(Tamat)


***

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.

Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.

***



Latest
Next Post

Author:

Iqbalnana.com

Iqna menyajikan berbagai cerita pendek, kisah inspiratif, dan tips gaya hidup yang menyegarkan. Temukan template kreatif, gambar menarik, dan konten hiburan yang menginspirasi di sela waktu senggang anda.