Bagian 1: Mantenan
Orang-orang tua zaman dulu sering ngasih wejangan yang kedengarannya aneh:
"Jangan makan di depan pintu, nanti sulit dapat jodoh."
"Jangan duduk menutupi jalan, nanti rezekinya mampet."
Zaman sekarang, petuah kayak gitu seringnya dianggap mitos basi—klise, lucu, nggak logis.
Tapi di sebuah desa kecil yang tenang di pinggiran kota, ada satu kejadian yang bikin nasihat-nasihat itu terasa kayak peringatan sungguhan.
Hari itu, Bagas dan Rini sedang menyelenggarakan resepsi pernikahan. Ekonomi mereka pas-pasan, jadi pilihan paling masuk akal adalah bikin resepsi di halaman rumah. Tenda digelar seadanya, sisa terpal ditarik supaya cukup naungin tamu. Masalahnya, sebagian tenda itu makan badan jalan.
Warga kampung sih udah biasa. Di sini, hajatan adalah bagian dari hidup, dan jalan umum bisa ‘diikhlaskan’ untuk sehari dua hari. Bagas udah minta izin ke RT dan perangkat desa. Semuanya setuju, asal... Sama-sama ngerti.
Siang itu, musik dangdut lawas diputar dari speaker besar. Tamu berdatangan, karpet merah digelar sampai ke tengah jalan. Anak-anak lari-larian, ibu-ibu duduk melingkar sambil ngobrol dan nyemil pastel. Suasana ramai, hangat, penuh tawa.
Tapi makin siang, jalanan depan acara resepsi makin macet. Motor klakson-klaksonan, mobil berhenti ragu. Beberapa pengendara coba nyelip, beberapa mundur sambil ngedumel. Sampai akhirnya, sebuah ambulans berhenti total.
Di dalamnya, seorang bapak tua terbaring lemah. Anak perempuannya panik, wajahnya pucat. Sopir ambulans bolak-balik buka jendela dan minta jalan. Tapi tenda dan kursi plastik nggak gampang dipindah, apalagi saat lagi rame-rame-nya tamu.
Detik terasa panjang. Lima menit... sepuluh menit... lima belas menit. Ambulans nggak bisa lewat. Dan akhirnya, jalan baru terbuka ketika segalanya sudah terlambat.
Di pelaminan, Bagas masih tersenyum. Ia sibuk menyalami tamu, tertawa saat teman-temannya godain Rini. Ia nggak tahu bahwa di tikungan jalan, ada hidup yang berhenti.
Nggak ada yang cerita ke Bagas masalah itu. Tetangga terdekat tidak ada yang tau masalah yang ada dalam Ambulan, dan tidak mau tau juga. Yang tau dan merasakan hanya yang dirugikan, tapi mereka memilih diam saja.
...
Kadang, yang tertutup bukan cuma jalanan.
Tapi juga kepentingan hidup orang lain.
Bagian 2: Selalu Gagal
Buat sebagian orang, mitos hanyalah cerita bumbu warung kopi. Kualat? Ah, itu cuma senjata orang tua biar anak-anak patuh. Dunia modern butuh logika, bukan bisikan gaib.
Bagas termasuk golongan itu. Orang yang percaya pada usaha, data, dan keputusan rasional. Ia yakin hidupnya akan baik-baik saja selama ia tidak berbuat jahat. Soal tenda resepsi nutup jalan? Ah, itu kan sudah seizin RT. Lagian, semua orang juga pernah begitu.
Tapi hidup punya caranya sendiri untuk bercanda.
Sebulan setelah menikah, Bagas kena PHK. Alasannya: efisiensi.
Ia tidak langsung panik. CV-nya oke, lulusan kampus ternama. Jam terbang kerja pun lumayan. Ia yakin, ini hanya soal waktu.
Tapi ternyata, waktu juga tidak bersahabat.
Hari pertama cari kerja, motor Bagas bocor di tengah jalan. Telat wawancara.
Hari kedua, ia datang ke gedung yang salah.
Hari ketiga, HRD bilang dia overqualified.
Hari keempat, interview dibatalkan sepihak—katanya sistem perusahaan lagi error.
Hari kelima, ia sampai lokasi tepat waktu… tapi gedungnya kosong, semua karyawan WFH karena mendadak ada pemadaman listrik.
"Aneh banget," keluhnya suatu malam sambil selonjoran di teras. "Kayak dunia gak rela aku kerja lagi."
Rini, istrinya, menyahut dari dapur, “Mungkin waktu kecil kamu suka duduk di tengah jalan, makanya rezekinya disuruh minggir dulu.”
Bagas ketawa kecil, meski tawanya hambar. “Lucu sih. Tapi serem juga kalo ternyata bener.”
Ia menatap langit malam yang mendung. Tak ada bintang, hanya pekat dan sunyi.
Dalam hati, ada sesuatu yang mulai berdesir. Ia tidak takut. Ia hanya... penasaran. Kenapa semua seperti serba sulit?
Bagian 3: Segelas Teh Manis
Hari itu panasnya bukan main. Bagas pulang dari wawancara kerja kesekian yang gagal lagi. Kemeja sudah lecek, sepatu berdebu, dan di dompet cuma ada satu lembar sepuluh ribuan yang sudah mulai robek di ujungnya.
Ia berhenti di pinggir jalan, tergoda papan sederhana: “Es Teh Manis, Dijamin Seger!”
Leher kering, kepala pening, dompet pas-pasan. Tapi ya sudahlah, pikirnya. Sekali-kali manjain diri sendiri.
Baru saja ia buka helm, datang seorang kakek dengan pakaian lusuh dan tangan menggandeng bocah kurus berkulit legam. Bocah itu menatap dengan mata besar—bening, polos, dan… kosong.
"Pak, minta sedekah. Buat makan anak ini," kata si kakek pelan.
Bagas diam. Ia sudah sering lihat pola seperti ini. Klasik. Anak kecil dijadikan umpan empati. Tapi entah kenapa, kali ini terasa beda. Mungkin karena sorot mata anak itu—yang seperti minta tolong tanpa suara.
Tanpa banyak pikir, Bagas sodorkan uang terakhirnya. “Nih. Buat makan,” katanya, lalu berbalik, setengah menyesal—hausnya belum hilang, dan sekarang ia bahkan tak punya uang sepeserpun, tapi hati kecilnya berkata "sedekah harus ikhlas, dong!".
Tiba-tiba, dari sebelah kiri, suara lembut memanggil, “Nak, ke sini dulu. Minum dulu, yuk.”
Bagas menoleh. Seorang bapak tua berdiri di balik gerobak es dengan payung lusuh dan senyum hangat.
“Uangnya saya habis, Pak,” ucap Bagas agak malu.
Bapak itu tertawa kecil. “Justru karena itu, kamu dapat segelas ini.”
Ia menyodorkan es teh manis, penuh sampai bibir gelas, dingin berembun.
Karena beneran haus, Bagas malu-malu menerimanya lalu meneguknya. Rasanya sederhana, tapi segarnya seperti oase di tengah padang.
“Alhamdulillah… enak banget, Pak,” katanya, tulus.
Bapak itu duduk di bangku kecil di samping gerobak.
“Rezeki itu bukan soal uang, Nak. Kadang yang kamu kasih itu bukan buat mereka… tapi buat membersihkan hatimu sendiri.”
Bagas mengangguk pelan. Kata-kata itu, entah kenapa, terasa nyangkut.
“Kalau rezekimu seret, coba cek hatimu. Barangkali ada debu-debu dosa kecil yang numpuk. Perbanyak istighfar, sedekah kecil-kecilan, bantu orang yang benar-benar butuh. Insya Allah, jalanmu bakal dibuka pelan-pelan.”
Mereka ngobrol sebentar, tentang hidup, tentang sabar, dan tentang air es yang rasanya beda kalau datang dari keikhlasan.
Bagas pulang hari itu tanpa uang, tapi dengan dada yang lebih ringan dan kepala yang lebih tenang.
Mungkin, kadang hidup tidak butuh solusi rumit.
Cukup satu gelas minuman, dan satu percakapan yang menyegarkan hati.
---
Bagian 4: Jalan yang terbuka
Sejak kejadian es teh manis itu, ada yang berubah dalam diri Bagas. Bukan tiba-tiba jadi alim atau mendadak religius, tapi ia mulai berpikir… mungkin selama ini dia terlalu cuek soal hubungan vertikal. Doa jarang, ibadah seadanya, dan sedekah cuma kalau lagi ada sisa.
Sekarang, dia pelan-pelan mulai berusaha berubah. Sholat lebih rajin, lebih sering istighfar, dan senyum ke tetangga jadi lebih gampang dari biasanya. Meski belum juga diterima kerja, anehnya hatinya enteng. Lebih santai. Lebih cerah. Kalau dulu dikit-dikit ngeluh, sekarang dikit-dikit “Alhamdulillah.”
***
Sore itu, suara ketukan pelan terdengar di pintu.
“Mas Bagas,” suara Bu Rani, tetangga sebelah. “Anak saya butuh les matematika. Di luar mahal-mahal. Bisa nggak dibantu? Tapi... Saya bayarnya seikhlasnya, ya…”
Bagas mengangguk, “Bisa banget, Bu. Mumpung saya lagi nganggur.”
Satu anak datang. Lalu dua. Tiga. Lama-lama, ada yang datang tapi nggak bisa bayar. Tapi Bagas ajari juga. Mau gimana lagi, anak-anak itu semangatnya ngalahin anak sultan. Masa ditolak cuma karena uang?
Ruang tamu yang tadinya sepi berubah jadi ruang kelas dadakan. Meja plastik pinjaman, whiteboard bekas beli di loakan, dan tumpukan buku-buku yang disumbang kakak iparnya. Tapi di dalamnya, penuh suara tawa, cerita PR, dan kadang drama anak-anak rebutan penghapus.
Tanpa sadar, les kecil itu jadi pusat belajar kampung. Tanpa promosi, tanpa spanduk, tanpa feed Instagram estetik. Semua murni dari mulut ke mulut. Bahkan, beberapa murid yang dulu diajar sekarang ikut bantu ngajarin adik-adiknya.
Beberapa bulan kemudian, akhirnya datang juga kabar dari kantor swasta—mereka terima Bagas sebagai staf tetap.
Tapi yang bikin Rini, istrinya, melongo bukan kabar itu.
Melainkan keputusan Bagas.
“Aku tetap buka tempat belajar ini. Siang kerja, sore ngajar. Capek sih… tapi entah kenapa, bahagia aja,” kata Bagas, sambil membetulkan letak whiteboard yang miring.
Rini menghela napas, senyum tipis. “Ya udah, tapi jangan lupa makan, ya.”
Bagas cuma nyengir. “Selama masih ada kamu yang ngingetin, aku aman.”
Bagian 5: Bapak Penjual Es
Suatu Minggu pagi yang teduh, Bagas teringat pada sosok bapak penjual es yang dulu memberinya segelas es teh manis. Dalam hatinya, masih tersisa rasa terima kasih yang belum sempat dibalas.
Ia membawa bingkisan kecil, selembar baju batik baru dan amplop berisi uang sekadarnya. Niatnya sederhana: silaturahmi.
Namun saat tiba di lokasi biasa bapak itu berjualan, tak ada gerobak, tak ada payung kecil. Hanya aspal panas dan suara motor lalu-lalang.
Ia pun bertanya pada pemilik warung terdekat.
“Pak, bapak penjual es yang dulu di sini... ke mana ya?”
“Pak Amin, maksudnya? Wah... beliau udah lama meninggal, Dik.”
Bagas mengernyit. “Lho? Meninggal kapan, Pak?”
“Sekitar delapan bulan yang lalu, kalau nggak salah. Bulan Februari. Saya ingat banget, waktu itu saya baru bayar pajak motor, langsung dapet kabar beliau meninggal.”
Bagas terdiam. Otaknya berusaha mencocokkan waktu.
“Tapi... enam bulan lalu, saya masih sempat dikasih minum es sama beliau. Itu sekitar bulan April…”
Pemilik warung menatapnya lama, lalu menggeleng pelan. “Nggak mungkin, Dik. Pak Amin meninggal dalam ambulans, katanya sih telat sampe IGD. Macet parah di desa sebelah... ada mantenan.”
Bagas mundur selangkah. Suaranya pelan. “Mantenan... tanggal 28 Februari?”
“Lho? Iya, kok adik tahu?”
Bagas tak menjawab. Tenggorokannya kering. Dalam kepalanya, kenangan saat menerima es teh dari tangan hangat Pak Amin berputar kembali. Suaranya. Senyumnya. Kata-katanya.
“Rezeki itu bukan soal uang, Nak. Kadang yang kamu kasih itu bukan buat mereka… tapi buat membersihkan hatimu sendiri.”
“Kalau rezekimu seret, coba cek hatimu. Barangkali ada debu-debu dosa kecil yang numpuk. Perbanyak istighfar, sedekah kecil-kecilan, bantu orang yang benar-benar butuh. Insya Allah, jalanmu bakal dibuka pelan-pelan.”
Bagas menatap langit yang mulai diselimuti awan putih.
Ada penyesalan... Namun mau bagaimana lagi, andaikan waktu bisa berulang, dan dia tahu pernikahannya akan membawa masalah pada orang lain...
Logikanya goyah, tapi hatinya yakin: Tuhan bisa kirim siapa saja—atau apa saja—untuk menyentuh manusia yang butuh diingatkan.
Entah kenapa, di antara bentuk-bentuk yang berarak itu, seolah ada senyum yang ia kenal.
Penutup
Kita tak pernah tahu akibat dari tiap langkah kecil yang kita buat. Kadang kita tanpa sadar menghalangi jalan orang lain, lalu bingung mengapa jalan kita sendiri terasa tertutup.
Kisah Bagas bukan tentang karma. Tapi tentang hati. Tentang dosa-dosa kecil yang kita anggap remeh—yang diam-diam jadi tembok tinggi. Dan tentang sedekah kecil yang bisa jadi pembuka langit.
Serta tentang seseorang—yang mungkin, atau mungkin bukan manusia biasa—datang hanya untuk mengingatkan: bahwa rezeki sejati, bisa datang lewat jalan yang misterius.
***END***
###
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***