Bagian 1: Rian Kesal Sama Aturan
Rian bangun pagi-pagi... dan langsung merasa hidup ini tidak adil.
Belum juga membuka mata sepenuhnya, suara kakaknya, Rafa, udah nyaut duluan dari luar kamar, “RIAN! Mandiii! Udah jam enam lebih empat puluh lima koma dua detik!”
Detik? Emang Rafa jam digital?
Belum sempat protes, kakak perempuannya, Raisa, muncul di pintu kamar sambil nyemprot parfum segalon, “Kalau kamu nggak cepet mandi, kamu bakal telat, terus Mama marah, terus aku juga kena marah, terus dunia kiamat!”
Apa hubungannya telat mandi sama kiamat?
Lalu dari balik kamar, terdengar suara adik kecilnya, Riris, umur lima tahun tapi suaranya kayak sirine ambulans, “Aku duluannn mandi yaaa! Yang terakhir bauuu kejuuuuuu busuk!”
Sumpah, belum lima menit bangun, Rian udah merasa hidupnya kayak dikurung di penjara bernama "Keluarga Penuh Perintah".
**
Di ruang makan, Mama udah siap dengan jurus andalan pagi hari: “Rian, duduk yang bener. Jangan main HP pas makan. Jangan minum dulu sebelum makan. Jangan hanya makan lauk. Jangan ngunyah sambil berdiri. Jangan lempar nugget ke kipas angin kayak kemarin!”
Oke, yang terakhir memang salah Rian. Tapi itu kan eksperimen sains.
Papa juga ikut menambahkan: “Dan jangan lupa, setelah makan, cuci piring sendiri. Piring bukan punya ART, itu punya keluarga. Kamu bagian dari keluarga, artinya kamu yang cuci piring sendiri.”
Kakak-kakaknya manggut setuju. Riris nambahin, “Aku nggak nyuci piring, karena aku masih anak kecil. Aku cuma nyuci tangan. Tapi kadang nggak juga.”
Rian menatap bubur ayamnya yang terlihat lebih lelah daripada dirinya. Bahkan buburnya seperti berkata, “Cepetan habisin gue, sebelum perintah baru muncul.”
**
Di sekolah pun sama. Perintah dan aturan di mana-mana.
"Jangan lari di koridor."
"Jangan makan di kelas."
"Jangan nyontek, walaupun kamu duduk di belakang jenius matematika."
"Jangan panggil Bu Nia dengan panggilan 'Bunda Jutek'."
Rian merasa hidupnya tidak lain tidak bukan adalah robot hidup.
Kenapa semuanya harus diatur? Kenapa hidup nggak bisa kayak... main layangan di lapangan kosong tanpa tiang listrik?
Saat jam pelajaran agama, Bu Nia berkata, “Anak-anak, aturan itu penting. Tanpa aturan, hidup manusia bisa kacau balau.”
Dan Rian, dalam hatinya, langsung jawab:
"Yaelah Bu… kayaknya lebih kacau kalo hidup isinya aturan mulu."
**
Pulang sekolah, Rian duduk di kamarnya.
Sendiri. Sepi.
Dikelilingi oleh suara "jangan", "harus", dan "bolehnya nanti kalo udah gede".
Dia menatap langit sore dari jendela dan berkata dengan dramatis, “Andai saja… dunia ini bebas. Nggak ada aturan. Semua orang ngelakuin apa yang mereka mau. Tanpa disuruh, tanpa dilarang, tanpa harus ini dan itu. Dunia tanpa aturan... itu pasti surga.”
Dan saat itulah, bintang jatuh melintas di langit.
Rian, dengan gaya anak-anak yang nggak tahu bahaya, berbisik, “Aku harap… dunia ini nggak punya aturan sama sekali.”
Langit tetap tenang. Angin bertiup pelan. Seolah berkata:
“Oke, kita lihat seberapa kuat kamu bertahan.”
Bagian 2: Dunia Tanpa Aturan
Besok paginya, Rian bangun dengan rasa... aneh.
Nggak ada teriakan kakak.
Nggak ada parfum semprot segalon.
Nggak ada Riris sirine ambulans.
Nggak ada Mama teriak "MANDI!!", dan yang paling mencurigakan... nggak ada sarapan.
Dia turun ke dapur. Kosong.
Mama? Lagi rebahan sambil nonton drama Korea.
Papa? Main game di HP dengan rambut acak-acakan kayak rumput liar.
Rafa? Makan mi instan langsung dari plastik, mentah.
Raisa? Selfie lima ratus kali tanpa jeda, tanpa makeup, tanpa malu.
Riris? Lagi coret-coret tembok dengan lipstik sambil tertawa jahat seperti penjahat film kartun.
“Eh… ini rumah gue atau taman hiburan yang meledak?” bisik Rian sendiri.
**
Tiba-tiba Mama nyeletuk, “Hari ini Mama nggak masak ya, malas. Lagian, siapa bilang seorang ibu harus masak? Itu cuma... aturan basi.”
Papa angkat tangan, “Betul. Papa juga resign. Nggak mau kerja. Bos tuh suka ngatur-ngatur. Bebas dong! Mau ngapain juga terserah.”
Raisa nyengir, “Aku nggak mau sekolah. Aku mau jadi selebgram sambil tidur-tiduran. Siapa bilang anak muda harus rajin belajar? Kuno tuh! Nggak cocok sama aku yang free soul!”
Rian mengedip pelan. “Oke… ini mimpi atau dunia udah mulai nge-lag?”
**
Keluar rumah, Rian makin shock.
Anak-anak bolak-balik naik motor—tanpa helm, tanpa SIM, tanpa rem!
Pinggir jalan penuh orang jualan, orang bersepeda ngebut lewat trotoar sambil mainan hp.
Warung jualan bebas: gorengan, sabun cuci, dan... petasan ilegal dalam satu etalase. Ambil sendiri, bayar gak bayar bebas.
SMP jadi mall. Mall jadi kebun binatang. Kebun binatang? Dikosongin. Karena semua hewan kabur setelah kandang dibuka dengan alasan, “Kita nggak bisa mengatur hewan. Itu spesiesis!”
**
Di sekolah, lebih parah lagi.
Guru-guru hilang, alih profesi jadi selebgram.
Bangku jadi tempat panjat tebing.
Anak-anak main bola di ruang kepala sekolah.
Dan papan tulis dipakai buat gambar meme.
Rian tanya ke satpam, “Pak, ini sekolah kenapa?”
Satpam jawab sambil tidur di atas karpet, “Saya bukan satpam lagi, Nak. Saya sekarang konsultan rebahan. Aturan jadi satpam terlalu ketat. Harus pake seragam, nggak boleh tidur… Nggak cocok buat saya yang sensitif.”
**
Kekacauan makin parah.
Di TV: Presiden berhenti kerja, katanya capek dengerin menteri debat soal aturan pajak.
Di radio: Negara tetangga ngajak perang gara-gara merasa "dilecehkan secara kreatif" oleh influencer lokal.
Di medsos: Semua trending topic isinya hal-hal absurd, dari "Gerakan Tidur Nasional" sampai "Bakar Buku Pelajaran Challenge".
Rian makin pusing.
Orang tua nggak ngasuh anak. Anak nggak menghormati orang tua. Guru nggak ngajar. Polisi nggak nangkep penjahat. Penjahat bikin seminar motivasi. Tukang parkir jadi gamer nyocokin gambar muter gak cocok-cocok tapi tetap main. Dokter buka toko es krim. Pilot naik becak ke langit-langit fantasi.
Semua orang hidup buat diri sendiri.
Yang lemah, ya nasib.
Yang kuat, makin semena-mena.
Yang baik, dicuekin.
Yang jahat, diundang ke talkshow.
**
Rian akhirnya duduk di atas atap rumah. Sendiri.
Dia lihat ke kota yang makin mirip film bencana.
Asap di mana-mana. Suara klakson dan tawa campur aduk.
Dunia jadi taman bermain tanpa penjaga.
Dan untuk pertama kalinya, Rian berbisik...
“Kayaknya… hidup terlalu bebas itu… malah kayak terkurung di dalam kekacauan.”
Langit menggelap.
Angin berhembus.
Bumi retak sedikit.
Rian memejamkan mata. “Aku cuma mau dunia kayak dulu. Yang ribet, iya. Tapi teratur. Yang nyebelin, tapi jelas arahnya.”
Lalu…
BRAAAKKK!
Rian jatuh dari atap—dan...
Bagian 3: Dunia Kiamat Karena Kebebasan
BRAAK!
Rian jatuh dari atap—tapi anehnya... nggak sakit.
Dia jatuh ke atas kasur.
Kasur?
Di tengah jalan?
Tunggu—jalanannya dari kertas?
Langitnya dari kardus bekas?
Burungnya… remote TV?
"Astaga," gumam Rian, "bahkan mimpi gua pun kayak proyek seni gagal."
Lalu langit tiba-tiba robek.
Secara harfiah.
Sobek kayak plastik Indomie.
Dari atas langit, tumpah mobil-mobil, rumah-rumah, bahkan wajan terbang milik Mama—semua jatuh ke bawah seperti puzzle kehidupan yang kehilangan instruksi.
Dunia benar-benar kolaps.
Anak-anak saling rebut makanan.
Orang tua bingung sendiri.
Negara tetangga ngebom pake sampah karena mereka udah kehabisan senjata (dan logika).
Presiden ngilang, katanya mau jadi nelayan di Mars.
“Ini dia… akhir dari dunia. Karena semua bebas seenaknya. Nggak ada aturan, nggak ada arah, semua mau menang sendiri,” desah Rian sambil jongkok di pojokan, gaya dramatic squat khas sinetron.
Dan saat itulah…
Langit menghitam.
Angin berhenti.
Semua suara hening.
Satu suara muncul, besar dan menggema:
“SELAMAT! INILAH DUNIA YANG KAMU INGINKAN!”
Rian panik. “Eh, siapa tuh? Malaikat? Admin semesta?!”
“NIKMATILAH DUNIA TANPA ATURAN!”
Tiba-tiba bumi bergetar.
Gedung roboh kayak tisu habis dicuci.
Gunung meletus, pohon-pohon goyang kayak joget TikTok.
Laut mendidih, memuntahkan ikan-ikan yang marah karena nggak ada polisi laut.
Rian berteriak, “AMPUNNN! AKU SALAH!! AKU MAU DUNIA DULUUUU!! MAMA!! PAPA!! GURU BK!! SURAT IZIN SEKOLAH!! TUGAS PR!! ATURAN LALIN!! SEMUAAA!!!”
**
Dan…
ZRAAAKKK!
Rian terbangun.
Peluh mengucur. Rambut lepek. Piyama kebalik. Tapi… dia di kamarnya. Di rumah. Di dunia normal.
Di luar kamar, terdengar suara:
“Rian! Bangun! Udah jam setengah tujuh!”
“Gosok gigi jangan lupa yaaa!”
“Tolongin Mama buang sampah dulu dong!”
“Kakak duluan kamar mandiiii!”
Rian duduk. Terdiam. Terharu.
Lalu dia berlari ke ruang tengah.
Peluk Mama. Cium Papa. Minta maaf ke semua.
Raisa sampai speechless, “Ini Rian... atau alien dari planet Toat?”
Rian jawab dengan senyum bijak ala tokoh sinetron religius, “Maaf ya… aku baru sadar… aturan itu bukan belenggu. Tapi pagar. Supaya kita nggak jatuh ke jurang kehancuran.”
Riris cuma nyengir, “Dia ngomong ‘kehancuran’, kayak Thanos.”
Guru-gurunya pun bingung saat Rian besoknya datang lebih pagi dari kepala sekolah, bantu nyapu halaman, dan senyum tiap dikasih tugas.
Rafa sampe bilang, “Lo ngapa, Ri? Minum susu basi?”
Tapi Rian hanya tertawa.
Dalam hati dia tahu:
Hidup memang ribet.
Tapi lebih ribet lagi kalau hidup tanpa arah.
Dan sejak hari itu, Rian bukan hanya anak baik… tapi juga jadi penceramah dadakan tiap ada yang ngeluh soal aturan.
Kadang dicibir.
Kadang dilempar sendal.
Tapi kadang juga bikin orang berpikir.
Dan dia senang.
Karena dia pernah melihat dunia tanpa aturan.
Dan dia tahu persis…
itu bukan kebebasan. Itu neraka yang dibungkus kebebasan.
TAMAT
(dan semoga kita semua tetap taat—meski kadang males banget juga sih... tapi, ya, gitu deh.)
***
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***