Bagian 1: "Kenapa Selalu Aku?"
Doni membuka pintu rumah dengan senyum tipis. Hari yang panjang, macet, deadline, dan bos yang suka nyerocos tanpa koma sudah cukup melelahkan. Yang ia inginkan cuma satu: rebahan.
BLAM!
Sebuah bantal melayang tepat ke mukanya.
"Aku udah chat dari tadi! Kenapa gak diangkat?!" Rina berdiri dengan tangan di pinggang, alisnya melengkung tajam seperti pedang samurai.
Doni berkedip, mencoba memproses situasi. "Aku lagi nyetir, Sayang."
"Alasan!"
Doni mengangkat plastik di tangannya. "Tapi ini aku bawain ayam goreng buat arisan besok."
Rina mendekat, menatap plastik itu seperti detektif yang baru menemukan petunjuk kejahatan. "Kamu beli ayam goreng?"
"Ya."
"Aku mintanya ayam panggang, Don."
Doni mengerjapkan mata. "Tapi di chat kamu bilang ayam..."
"Aku nulis 'panggang'. Kamu pasti gak baca dengan seksama!"
Doni buru-buru mengecek ponselnya, mencari chat terakhir. Lalu terdiam. Ada satu huruf yang nyelip. Rina memang nulis "panggang", tapi autocorrect mengubahnya jadi "goreng".
Doni menarik napas panjang. "Jadi... ini salah aku?"
Rina melipat tangan di dada. "Jelas!"
Doni menatap ayam goreng di tangannya, seakan bertanya pada ayam itu: Kapan hidup jadi serumit ini?
Bagian 2: "Hari Dimana Doni Menolak Disalahkan"
Pagi itu, Doni duduk di meja makan, menyeruput kopi dengan khidmat. Harumnya menghangatkan hati, rasanya... pahit. Dia mengernyit.
"Sayang, kopinya pahit banget," gumamnya sambil melirik Rina yang sibuk di dapur.
Rina menoleh. "Lha, ya salah kamu!"
Doni mengangkat alis. "Aku kan cuma minum, yang bikin kamu."
"Tapi yang beli gulanya kamu!" sahut Rina tanpa ragu.
Doni terkesiap. Ia melihat gula di meja. Sama seperti biasanya. Sama seperti yang mereka beli bertahun-tahun. Apa yang salah? Bagaimana ini bisa terjadi?
Ia menguatkan diri. Tidak, hari ini aku tidak akan kalah!
"Sayang, ini bukan salah aku," katanya tegas.
Rina menoleh perlahan, meletakkan piring dengan gerakan yang begitu tenang—terlalu tenang. "Kamu bilang apa?"
Doni meneguk ludah. Tapi ini sudah terlanjur. "Aku gak salah. Gula tetap gula. Manisnya harusnya sama. Berarti mungkin airnya kebanyakan atau..."
Mata Rina menyipit. "Jadi, aku yang salah?"
Doni mulai berkeringat. "Eh, bukan gitu maksudku, aku cuma bilang..."
Rina melipat tangan di dada. "Oh, jadi kamu udah mulai gak mau disalahin sekarang?"
Doni terdiam. Ada keheningan panjang. Terlalu panjang. Seakan-akan semesta menahan napas.
Lalu, dengan senyum tipis, Rina berkata, "Oke, gak apa-apa."
Doni langsung curiga. Kenapa ini terasa lebih menakutkan daripada disalahkan seperti biasa?
Bagian 3: "Mogok Bicara yang Setengah Hati"
Doni sudah siap menghadapi badai, tapi yang datang malah… keheningan.
Rina, yang biasanya berisik dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, tiba-tiba berubah jadi sunyi senyap. Dia tetap masak, tetap beres-beres, tetap mondar-mandir seperti biasa—tapi tanpa suara. Bahkan ketika Doni pura-pura salah naruh gelas, biasanya sudah dapat ceramah “Don, kalau naruh yang bener dong!”, sekarang? Hening.
Doni melirik ke arah Rina yang duduk di sofa, menonton drama Korea sambil memeluk bantal. Wajahnya cemberut, tapi matanya melirik Doni sekilas.
"Sayang, aku lapar," ucap Doni akhirnya.
Rina diam, hanya menyuap camilan ke mulutnya dengan ekspresi penuh keagungan, seolah berkata cari sendiri.
Doni mendekat, duduk di sampingnya. "Aku bikin mie, mau?"
Rina tetap diam, tapi bibirnya bergerak sedikit. Doni mengenali gerakan itu: dia hampir ngomong.
Doni menahan senyum. "Oke, berarti aku bikinin dua porsi."
Rina menoleh cepat, lalu buru-buru pura-pura fokus ke layar.
Beberapa menit kemudian, Doni kembali membawa dua mangkuk mie. Ia sengaja meniup mie panas itu dengan dramatis, menghembuskan aroma lezat ke arah Rina.
Sampai akhirnya…
Grok grok grok
Suara perut Rina berbunyi.
Doni melirik. "Lho, laper ya?" tanyanya polos.
Rina langsung memelototinya. "SHHHH!"
Doni nyengir. "Ohhh jadi belum makan dari tadi? Kasihan banget, siapa yang salah ya?"
Rina menghela napas panjang, lalu menoleh dengan tatapan tajam. "Aku mau, tapi aku gak akan ngomong makasih."
Doni tertawa sambil menyerahkan semangkuk mie. "Deal."
Rina mengambil mie itu dengan cepat, masih memasang wajah cemberut. Tapi begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, ekspresinya melembut.
Doni memperhatikannya sambil tersenyum. Ngambeknya lucu juga ya?
Bagian 4: "Bawel yang Dirindukan"
Sudah tiga hari. TIGA HARI.
Doni mulai merasakan efek dari mogok ngomong versi Rina. Awalnya, dia pikir ini kesempatan emas untuk hidup damai tanpa ceramah gratis. Tapi ternyata… sepi banget.
Tidak ada lagi suara “Doni, itu baju jangan ditaruh di kursi!” atau “Don, kalau minum jangan tinggalin gelas kosong di mana-mana!”. Tidak ada lagi tatapan menghakimi setiap kali dia salah meletakkan remote.
Doni duduk di meja makan, menatap nasi goreng buatannya sendiri. Rasanya hambar.
"Biasanya ada suara bawel yang ngingetin aku buat pakai kecap lebih banyak," gumamnya.
Dia melirik ke arah Rina yang duduk di sofa, asyik dengan ponselnya. Tatapan dingin, bibirnya masih cemberut, tapi ada sesuatu di matanya… seperti sedang menunggu sesuatu.
Doni menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arahnya.
"Sayang…" ujarnya pelan.
Rina pura-pura sibuk.
Doni duduk di sebelahnya, menatap penuh harap. "Bawelin aku dong."
Rina menoleh, kaget. "Hah?"
"Aku kangen," kata Doni dengan wajah serius. "Gak ada yang nyalahin aku tiga hari ini. Aku merasa kosong."
Rina memutar bola matanya. "Drama."
"Tapi beneran!" Doni meraih tangannya. "Aku baru sadar, hidupku gak lengkap kalau gak ada yang ngomel tiap aku salah naruh sesuatu."
Rina terdiam. Matanya melunak, tapi bibirnya masih cemberut.
Doni tersenyum kecil. "Aku salah lagi, kan?"
Rina akhirnya mendesah. "Banget!"
Doni tertawa lega. "Ah, akhirnya! Rumah ini kembali normal!"
Rina melipat tangan di dada. "Tapi ini belum selesai. Aku masih kesel!"
Doni mengangguk serius. "Baik, silakan lanjut."
Rina berkedip. "Hah?"
"Ayo, ngomel. Aku siap."
Rina menatapnya lama, lalu tiba-tiba tertawa kecil. "Kamu tuh… nyebelin banget!"
Doni tersenyum puas. "Akhirnya, damai dalam kesalahan."
Mereka tertawa bersama. Rina meraih tangannya, menggenggamnya erat.
Lalu, dengan nada santai, dia berkata, "Oh ya, ngomong-ngomong, aku hamil tiga bulan."
Doni langsung kaku. Matanya membesar.
"Hah?"
Senyum jahil muncul di wajah Rina. "Kenapa? Mau nyalahin siapa sekarang?"
Epilog: "Siapa yang Salah?"
Doni masih duduk diam di sofa, menatap ke depan dengan ekspresi kosong. Matanya berkedip sekali, dua kali, otaknya masih mencoba memproses informasi barusan.
"Hamil... tiga bulan?" ulangnya dengan suara lirih.
Rina mengunyah camilan dengan santai. "Iya."
"Tiga bulan?"
"Iya, Don."
"TIGA BULAN?!"
Rina menghela napas panjang. "Iyaaa. Kenapa sih?"
Doni menoleh dengan panik. "Kenapa aku baru tahu sekarang?!"
Rina mengangkat bahu. "Aku udah mau kasih tahu dari kemarin, tapi kamu sibuk ngebela diri terus. Jadi ya... aku diem aja."
Doni teringat tiga hari mogok ngomong, drama mie instan, perdebatan ayam goreng vs panggang, dan momen di mana dia dengan bangga berkata “Aku gak salah.”
Astaga. Jadi selama ini... dia yang gak peka?
Doni memegang kepalanya. "Kenapa rasanya aku yang hamil?"
Rina tertawa kecil. "Santai, Pak Calon Ayah. Ini baru trimester pertama."
Doni menghela napas panjang. Lalu, ia menatap Rina dengan serius. "Berarti aku harus lebih perhatian sekarang. Lebih sabar. Lebih siap mental."
Rina tersenyum. "Nah, itu baru suami gue."
Doni mengangguk mantap. "Mulai sekarang, aku akan lebih tanggung jawab."
"Bagus," kata Rina sambil berdiri. "Oke, sekarang tolong pijitin kaki aku."
Doni refleks menjawab, "Kenapa aku—"
Rina langsung melotot.
Doni buru-buru meraih kaki Rina dan mulai memijat. "Iya, iya, salah aku, salah aku."
Rina tersenyum puas. "Bagus. Latihan yang baik untuk jadi bapak nanti."
Doni menatapnya dengan pasrah. Sepertinya, hari-hari berikutnya akan makin meriah.
***
Terkadang, dalam keluarga, adu argumen itu bukan soal benar atau salah, tapi soal rindu yang nggak tahu caranya minta peluk. Kadang yang cerewet cuma pengen didengerin, dan yang ngeyel cuma pengen diperhatiin. Salah paham bisa muncul dari hal sepele dari mie instan yang lupa dikasih cabai, sampai remote TV yang selalu “hilang” padahal ada di bawah bantal.
Tapi seperti kata orang bijak: kalau semuanya ngotot jadi benar, yang ada malah tambah jauh. Jadi, nggak ada ruginya saling ngalah dan minta maaf duluan. Karena di akhir, bukan soal siapa yang menang debat, tapi siapa yang tetap ada buat rangkul dan bilang, “Udah ah, peluk dulu yuk."
**end**
***
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***